Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Pilkada Lahirkan Pemimpin Progresif

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Abdul Wahid

"Kemuliaan paling besar bukanlah karena kita tidak pernah terpuruk, tapi karena kita selalu mampu bangkit setelah terjatuh" (Oliver Goldsmith (1730-1774)

Apa yang disampaikan Novelis tersebut mengingatkan kita bahwa dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, siapa pun atau bangsa mana pun pernah terjatuh, apalagi kalau seseorang ini mendapatkan kepercayaan memainkan peran strategis.

Sejumlah daerah belakangan ini mengalami atmosfer "terjatuh" akibat sejumlah calon kepala daerah, baik yang berasal dari petahana maupun yang baru mencalonkan diri yang terjaring oleh OTT Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Masyarakat di daerah itu merasa bahwa keberlanjutan hidup masyarakat atau daerahnya telah terjatuh", sedang terpuruk akibat kehilangan marwah, atau seperti masyarakat tak bertuan.

Pemimpin atau calon pemimpin yang idealitasnya bisa dijadikan ekspektasi publik untuk membangun dan memajukan daerah, terperangkap mengurus problem pertanggungjawaban yuridis yang dihadapinya.

Mereka itu jadi lebih sibuk mencoba meyakinkan publik seperti melakukan sosialisasi (kampanye) kalau dirinya masih layak dijadikan opsi politik, meyakinkan konstituen bahwa dirinya lebih pantas (representatif ) menduduki jabatan sebagai pemimpin daerah, atau sosok nahkoda yang kapabel dalam membebaskan daerah dari "keterjatuhannya".

Istilah "terjatuh" memang bisa bermakna kegagalan atau "ketertundaan" dalam menjalankan peran strategis. Saat seseorang dipercaya memipin daerah, katakanlah menjadi gubernur, wali kota atau bupati, kepemimpinannya tidak selalu berjalan mulus, karena ada beberapa virus yang membuatnya digolongkan sosok yang belum progresif, kecuali yang terjatuhnya" akibat terseret kasus korupsi yang sudah mendapatkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Bagi petahana, belum prestasi di ranah kepemimpinan masih bisa direformasi dengan cara melakukan rekonstruksi terus menerus terhadap program-program pembangunan yang berbasis kepentingan rakyat, jika dirinya dipercaya lagi oleh rakyat untuk jadi nahkoda.

Bagi kandidat baru, pilkada ini merupakan momentum menemukan atau membangun jalan menunju dan mewujudkan kebagkitan dari keterjatuhan" daerah. Pilkada kali ini dapat diorientasikan dan dijadikan spirit oleh pemimpin baru ini untuk membebaskan rakyat dari perasaan inferioristiknya.

Ketidakberhasilan seseorang pemimpin (petahana) menjalankan program pembangunan tertentu masih bisa dinilai sebagai kepatutan, bilamana kegagalan atau keterjatuhan ini tidak meluncur deras menuju kehancuran total akibat kesibukan memproduksi korupsi

Pilkada kali ini bukan hanya dituntut menghadirkan sosok nakhoda pemerintahan yang bersih, tetapi juga dtuntut secara terus menerus menjadi pemimpin progresf atau elitis utama kepemimpinan birokrasi guna mendekonstruksi realitas birokrasi selama ini yang menjadi beban berat bagi rakyat akibat perilaku mesinmesin birokrasi yang terlibat malapraktik struktural.

Dalam ranah kepemimpinan birokrasi itu, kepentingan publik atau hak-hak rakyat terbukti sulit sekali mendapatkan tempat dalam "kamus birokrasi" atau kepemimpinan strukturalnya. Konstruksi pemerintahan dijadikan kendaraan oleh elemen-elemennya ini sebatas untuk memburu dan mengumpulkan keuntungan material dan politik (jabatan), sementara kepentingan masyarakat kurang mendapatkan prioritas. Model seperti inilah yang selama ini "melukasi" rakyat.

Pilkada juga bisa memproduksi penderitaan berlapis atau semakin merana akibat tereliminasi dari rambahan kesejahteraan, bilamana pilkaa ini hanya melahirkan pemimpin daerah, yang seharusnya menjadi generator dan mediator utama mewujudkan kesejahteraan, justru membiarkan kroni-kroninya "berpesta" menjarah uang rakyat atau sibuk "membarterkan" sumberdaya fundamental daerah kepada korporasi-korporasi global yang serakah.

Keniscayaan itu bukan tanpa alasan, pasalnya selama ini, praktik pembocoran anggaran oleh para birokrat, masih bukan menjadi rahasia lagi. Periset Idham Chalid (2015) membenarkan, bahwa kultur birokrasi kita sampai hari ini ternyata belum menunjukkan kinerja dan hasil yang optimal. Ini dapat dilihat dari masih tingginya kasus penyalahgunaan wewenang dalam bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Dalam ranah itu dikonkluasikan, bahwa komitmen birokrasi untuk mengantisipasi tuntutan perkembangan masyarakat masih sangat kurang sehingga kedudukan birokrasi yang seharusnya sebagai pelayan masyarakat cenderung bersifat vertical top down (dari atas) daripada horizontal participative.

Mental Birokrat

Gunnar Myrdal, sosiolog ini pun pernah menyebut , bahwa suatu negara dusebut lembek, ketika mentalitas kerja birokrat atau pejabat- pejabat negaranya lamban, indisipliner, gampang mengabaikan waktu, dan sering menyalahgunakan kewenangan atau jabatannya.

Mentalitas demikian itulah yang membuat kehidupan suatu daerah menjadi carut marut, sehingga rakyat menderita atau menjalani kehidupan kesehariannya dengan segala keprihatinan.

Apa yang disebut Myrdal itu juga sebenarnya tergolong kritik cerdas terhadap setiap pelayan masyarakat, atau birokrat (negara). Daerah akan mampu menjalankan misi agungnya, apabila mempunyai birokrat yang kuat dalam mengemban layanan publik, yang selalu mendahulukan kepentingan masyarakat dibandingkan kepentingan pribadi dan golongan.

Itu menunjukkan, bahwa agenda pembangunan daerah kedepan yang diusung oleh kandidat pemimpin daerah tidaklah ringan. Sosok yang berani mencalonkan pemimpin daerah harus memetakan atau mengagendakan pekerjaan besar secara progresif yang akan dijalaninya saat nanti terpilih.

Pimpinan terpilih nantinya punya kewajiban mengajak rakyat bangkit membangun negeri atau "membangkitkan" etos juangnya dalam memajukan bangsa. Pemimpin terpilih harus memperingatkan dengan "radikal" mesin-mesin kekuasaannya supaya menjadi mesin birokrasi yang militan, andal, atau berintegritas moral tinggi. Kalau pemimpin terpilih terus berupaya membangkitkan" etos juang progresifitasnya, maka kemakmuran atau kesejahteraan masyarakat bukan lagi utopia.

Selama ini misalnya, masyarakat secara umum tidaklah mengerti bahasa kuantifikasi dan obyektifitas APBD. Selain mereka tidak paham lika-liku politik anggaran atau sirkulasi keuangan daerah dan peruntukannya ini, mereka juga terbiasa menikmati kehidupan tanpa banyak menuntut, alias setia pada pakem sabdo pandito ratu yang disosialisasikan sang pemimpin, termasuk ketika dihadapkan pada pesta demokrasi.

Pilkada serentak yang digelar 27 Juni ini seharusnya digunakan rakyat mengubah pakem itu. Rakyat tidak boleh pasip hanya menerima", tetapi harus benar-benar mengkritisi berbagai virus yang ada maupun dimungkinkan terjadi dan mereka dalam ekologi pemerintahan.

Sikap rakyat itu bisa ditunjukkan setidaknya saat pilkada ini digelar. Pilkada ini menjadi eksaminasi hak berpolitiknya secara cerdas, memilih siapapun yang menjadi kandidat pemimpin daerah. Memilih secara cerdas bermaknakan sebagai realisasi hak berpolitik setelah meyakini bahwa kandidat yang dipilihnya merupakan yang terbaik.

Intimidasi politik kalau seseorang yang jadi kandidat haruslah dipilih sudah tidak zamannya lagi, pasalnya yang punya kuasa sejati di ranah demokratisasi adalah rakyat, sehingga rakyatlah yang harus menunjukkan militansi dan kebebasannya dalam menentukan pilihan.

Wakil Direktur I Bidang akademik Program Pascasarjana Universitas Islam Malang dan pengurus AP-HTN/HAN dan penulis sejumlah buku korupsi.

Komentar

Komentar
()

Top