Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Pilkada dan Transaksi Mencurigakan

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Marlis Kwan

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan ribuan transaksi mencurigakan terkait Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2018 yang terbagi atas 53 transaksi elektronik dan 1.066 tunai. Wakil Ketua PPATK, Dian Ediana Rae, mengatakan aliran dana mencurigakan berasal dari beberapa rekening. Ini diduga kuat berkaitan dengan calon kepala daerah Pilkada 2018.

Berdasarkan data PPATK, mulai periode tahun 2017 sampai dengan kuartal pertama tahun ini, terdapat 52 Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) dengan nilai sekitar 41 miliar rupiah yang didominasi petahana (Koran Jakarta, 8/6/2018). PPATK masih dalam tahap mendalami transaksi mencurigakan tersebut. Dia menelusuri dugaan pelanggaran dan memprosesnya lebih lanjut. Tulisan ini pun bermaksud menganalisis kemungkinan muara aliran dana mencurigakan dari Pilkada Serentak 2018 tersebut.

Pesta politik tahun 2018 berbarengan dengan kedaluwarsanya hampir seribuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di berbagai daerah. Menurut data Direktorat Mineral dan Sumber Daya Alam Kementerian ESDM, paling tidak ada 906 sebaran perizinan tambang atas 17 provinsi penyelenggara Pilkada 2018.

Izin-izin tambang tersebut beberapa di antaranya telah habis dan sisanya akan habis masa berlakunya dalam rentang tahun 2017-2022. Tak berlebihan bila timbul kekhawatiran publik, para kontestan pilkada dapat memanfaatkan momen tersebut guna membuat permufakatan korup. Mereka mencari dana kampanye dengan menjanjikan pemberian izin tambang (baik yang baru maupun perpanjangan) pada perusahaan. Ini yang kemudian lebih dikenal dengan ijon politik.

Ada tiga alasan hal itu dapat saja terjadi. Pertama, terlalu banyak IUP bermasalah di negeri ini. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengidentifikasi jumlahnya ada 3.772 IUP. Berbagai persoalan mulai dari izin yang tumpang tindih, status non-CNC (clean and clear), dan tidak taat pajak. Kemudian, tidak sedikit pula dicurigai terjadi korupsi yang melibatkan kepala daerah sebagai pemberi izin.

Kedua, kontestasi politik kerap memakan biaya demikian besar. Dalam sebuah studi bertajuk Potensi Benturan Kepentingan dalam Pendanaan Pilkada 2015, ditemukan bahwa cost politic untuk menjadi wali kota atau bupati bisa memakan biaya 20 miliar sampai 30 miliar rupiah. Sementara itu, untuk posisi gubernur antara bisa mencapai 100 miliar rupiah. Sedangkan harta kekayaan para politikus yang mencalon jadi kepala daerah rata-rata hanya 6,7 miliar rupiah. Lalu dari mana kekurangan dana ini mau didapat?

Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah memang memungkinkan sumbangan dana kampanye baik dari perseorangan maupun badan hukum, namun tentu ada batasnya. Paling banyak 75 juta rupiah bagi perorangan dan 750 juta rupiah untuk sebuah organ, perusahaan, atau badan hukum.

Ketiga, sumber masalah tidak berhenti pada kontestan politik baru dengan elektabilitas tinggi yang potensial memberi izin tambang bila terpilih, namun juga bagi para inkamben. Contoh, di antaranya, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.Tiba-tiba saja saat menyelenggarakan pilkada tahun 2010, pemerintah daerah kabupaten itu mengeluarkan IUP baru yang amat signifikan. Angkanya mencapai 191 IUP. Padahal setahun sebelumnya hanya diterbitkan berjumlah 93 IUP.

Tak jauh berbeda dengan Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Pada tahun 2010 juga, pemerintah daerah setempat membuat peningkatan penerbitkan IUP yang signifikan dari jumlah IUP dibanding tahun sebelumnya. Dari 7 IUP tahun 2009 ke 54 IUP pada tahun berikutnya.

Peraturan terbaru tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu bara memperlebar jangka waktu permohonan perpanjangan IUP. Paling cepat lima tahun dan selambat-lambatnya satu tahun sebelum berakhirnya izin. Pemerintah pusat merevisi dengan jangka waktu yang lebih lama untuk mengurus permohonan perpanjangan guna memperlancar pengembangan investasi tambang.

Sebelumnya, jangka waktu permohonan paling cepat diberikan dua tahun sebelum kedaluwarsa. Tapi dengan ini jelas makin banyak lagi IUP yang bisa digarap oleh para pemegang kuasa. Tak sedikit kepala daerah dijerat KPK dalam kasus korupsi tambang. Saat ini kewenangan pemberian izin memang tidak lagi di tingkat kabupaten/ kota namun pemerintah provinsi. Tapi pemegang baru kewenangan itu juga tak jauh beda tabiatnya.

Putusan terbaru Pengadilan Tipikor Jakarta pada Kamis (8/3) memvonis mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, dengan hukuman 12 tahun penjara. Yang bersangkutan terbukti menerima gratifikasi sebesar 40,268 miliar rupiah untuk pemberian IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi di Sulawesi Tenggara.

Partai politik sebagai lembaga penyuplai koruptor terbanyak tak punya daya untuk memunculkan pemimpin yang sudah dikenal masyarakat. Ini penting untuk menghemat biaya baliho, iklan, pencitraan, politik uang dan segala macamnya untuk yang biasa untuk memperkenalkan calon yang belum populer.

Moratorium

Sementara itu, persoalan izin tambang bisa menggumpal dan kian sulit diselesaikan. Ada langkah-langkah yang perlu diamb i l seperti moratorium (penghentian sementara) perizinan tambang. Ini mesti ditempuh demi memperbaiki tata kelola. Tiap daerah yang pengelolaan sumber daya alamnya masih centang perenang mau tak mau mesti membereskan lebih dulu tanggung jawabnya sebelum membuka IUP baru.

Provinsi Aceh punya preseden bagus dalam hal ini. Sudah tiga tahun (2014-2017), provinsi yang pernah didera tsunami hebat itu memoratorium izin tambang demi membenahi tata kelola, rencana tata ruang dan pemulihan lingkungan. Hasilnya, dalam masa itu, 138 IUP dengan luas 841 ribu hektare menyusut menjadi 317 IUP dengan luasan 156 hektare.

Lalu yang terakhir, aliran dana kampanye mesti dibuat dalam transparansi yang ketat. Tiap transaksi pun mestinya dibatasi. PPATK telah menyusun Rancangan Undang-Undang untuk membatasi transaksi tersebut dan sudah menyerahkannya ke presiden untuk dibahas. Ada alasan-alasan kiranya perlu mendukung PPATK mendorong pembatasan transaksi uang kartal antara lain mengingat adanya peningkatan tren transaksi uang kartal itu sendiri.

Menurut seorang pengamat, tren tersebut disinyalemen untuk mempersulit upaya pelacakan asal-usul uang dari tindak pidana. Pelaku berusaha memutus pelacakan aliran dana kepada penerima dana dengan melakukan transaksi tunai. Ini berbeda dengan transaksi nontunai dalam jumlah besar yang bisa dilacak PPATK.

Selain kebutuhan penegakan hukum--untuk mengeliminasi sarana yang dapat digunakan untuk melakukan gratifikasi, suap, dan pemerasan-pembatasan transaksi uang kartal juga sejalan dengan pengaturan untuk menjaga keselamatan sistem pembayaran.

Penulis Alumna UNSW Sydney, Australia

Komentar

Komentar
()

Top