![Piknik Beda, Retret di Bukit Doa](https://koran-jakarta.com/images/article/phpf2w2qx_resized.jpg)
Piknik Beda, Retret di Bukit Doa
![Piknik Beda, Retret di Bukit Doa](https://koran-jakarta.com/images/article/phpf2w2qx_resized.jpg)
Ini memang bukan gereja karena tidak ada bentuk ataupun atribut gereja. Lebih tepat memang sebagai rumah doa sebagaimana dimaksudkan pemiliknya. Seperti biasa, yang berbau tempat-tempat doa tidak mudah diterima warga. Tempat doa ini pun pernah ditolak warga. Namun setelah menjadi destinasi wisata, kini semua berjalan baik. Malah ada lebih dari 20 warga yang menjadi pekerja.
Kelihatannya, sekarang juga lebih murni tempat wisata. Ketika Koran Jakarta mengamati beberapa waktu, tak ada satu pun orang berdoa. Yang ada kegiatan berekreasi, foto-foto, lihat-lihat dan tentu saja selfie-selfie. Semua pelancong hanya melihat-lihat isi ruangan, tak ada yang masuk ke tempat-tempat doa. Padahal ini dibangun untuk memberi masyarakat sebuah ruang intim dengan Tuhan. Ini juga tepat disebut tempat retret karena lokasinya sunyi dalam ketinggian perbukitan yang tenang.
Berawal dari Mimpi
Semua berawal dari mimpi. Pemiliknya, Daniel, mendapat vision di dalam tidur berdasarkan Alkitab Perjanjian Lama sebagaimana tertulis dalam Kitab 1 Tawarikh 28:10, "Camkanlah sekarang, sebab Tuhan telah memilih engkau untuk mendirikan sebuah rumah menjadi tempat kudus. Kuatkanlah hatimu dan lakukanlah itu." Dari sini, warga asli Lampung itu entah kenapa saat jalan-jalan ke Magelang lalu sampai di bukit itu. Daniel merasa bahwa lokasi ini mirip sebagaimana dalam mimpi yang terjadi tahun 1989 tersebut.
Bukit ini juga disebut punthuk. Dalam bahasa Jawa, punthuk berarti tanah agak tinggi, tidak datar. Dia lalu membeli lahan tersebut, dan dimulailah mewujudkan bangunan seperti diperintahkan dalam mimpi. Lokasi ini hanya sekitar dua atau tiga kilometer ke arah barat lalu ke utara dari Candi Borobudur. Konstruksinya dibuat seperti merpati dengan puncak mahkota duri yang dikenakan bangsa Yahudi saat menyalibkan Yesus.
Halaman Selanjutnya....
Redaktur : Aloysius Widiyatmaka
Komentar
()Muat lainnya