Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
PERSPEKTIF

Pidana Kebiri Kimia

Foto : ANTARA.

Ilustrasi.kekerasan.

A   A   A   Pengaturan Font

Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020, tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak. Tujuanya untuk mengatasi kekerasan seksual terhadap anak, memberi efek jera terhadap pelaku, dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak.

PP No 70 Tahun 2020 ini sekaligus sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 81A Ayat (4) dan Pasal 82A Ayat (3) Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2OL6 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2OO2 tentang Perlindungan Anak menjadi UU.

Tindakan kimia bagi pelaku predator seksual yang dimaksud, yakni pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi dikenakan terhadap pelaku persetubuhan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kemudian, dalam ayat dua dijelaskan bahwa tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik dan rehabilitasi juga dikenakan terhadap pelaku perbuatan cabul berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Berdasarkan fakta persidangan yang ada saat ini, maka Muh Aris, 20 tahun, pemuda asal Mojokerto, Jawa Timur, adalah orang pertama yang akan mendapatkan hukuman kebiri kimia. Hukuman itu dijatuhkan oleh Pengadilan Tinggi Surabaya setelah Aris dinyatakan terbukti melakukan pemerkosaan terhadap sembilan anak. Selain hukuman kebiri kimia, Aris dihukum 12 tahun penjara dan denda 100 juta rupiah subsider enam bulan kurungan.

Sampai saat ini, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur masih menunggu petunjuk dari Kejaksaan Agung untuk mengeksekusi hukuman tersebut. Petunjuk teknis eksekusi hukuman kebiri kimia belum ada, mengingat vonis ini baru pertama kali dijatuhkan.

Teknis eksekusi vonis kebiri kimia sempat menjadi perbincangan ketika Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyampaikan sikap resmi menolak menjadi eksekutor hukuman ini. IDI mendukung kebijakan pemerintah untuk menjatuhkan hukuman seberat-beratnya kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Namun, sikap IDI ini menimbulkan dilema, mengingat hanya dokter yang memiliki kompetensi untuk memasukkan zat kimia ke tubuh manusia.

IDI menolak menjadi eksekutor hukuman kebiri kimiawi karena dinilai melanggar Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Kebiri kimia merupakan bentuk hukuman dan bukan pelayanan medis, sehingga tidak berkaitan dengan tugas dokter dan tenaga kesehatan. IDI juga menilai hukuman kebiri kimia tak menjamin hilangnya hasrat pelaku untuk mengulang perbuatannya. Sementara itu, jaksa juga tidak dapat melakukan eksekusi karena hal itu berada di luar kapasitas profesionalnya.

Setelah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020, teken, kini saatnya kita menyamakan persepsi tentang pidana kebiri kimia tersebut. Semua pihak perlu membangun sinergi dalam pelaksanaan eksekusi itu. Idealnya, selain pemerintah menerbitkan aturan pelaksanaannya, pihak yang terkait, seperti kejaksaan dan IDI, perlu merumuskan detail teknis petunjuk pelaksanaan eksekusi tersebut.

Ini seperti pelaksanaan hukuman mati. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah mengatur jenis pidana hukuman mati. Jaksa selaku eksekutor juga memiliki petunjuk pelaksanaannya sehingga hukuman tersebut dapat dieksekusi. n

Komentar

Komentar
()

Top