Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Gangguan Produksi I Petani Sudah Melakukan Berbagai Upaya, tapi Tetap Sulit Atasi Hama

Petani Ngawi Resah, Hama Tikus Merusak Ratusan Hektare Sawah

Foto : ISTIMEWA

Petani Desa Dero, Kecamatan Beringin, Ngawi melakukan upaya “Gropyokan” untuk membasmi hama tikus yang telah menyerang Desa Dero, Kecamatan Bringin, Ngawi, Jawa Timur, sejak tiga tahun lalu.

A   A   A   Pengaturan Font

NGAWI - Setelah sempat dilanda hama wereng batang cokelat (Nilaparvata lugens) pada 2023, petani di Kabupaten Ngawi dan sekitarnya kini kembali mengalami cobaan. Para "pahlawan pangan" itu mengeluhkan maraknya serangan hama tikus yang merusak tanpa henti ratusan hektare lahan padi. Dari pantauan Koran Jakarta, pasakpasak "setrum" (jebakan aliran listrik tikus di lahan) tampak terpasang di sejumlah hamparan sawah dari wilayah Caruban, Kabupaten Madiun, hingga Bringin di Ngawi.

Meskipun pihak berwenang telah melarang penggunaan setrum sesuai Pasal 50 Ayat 1 UU Nomor 22 Tahun 2011 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan, namun petani tetap mengabaikan meskipun ada ancaman hukum pidana atau denda karena cara seperti itu dianggap membahayakan keselamatan manusia.

Bahkan, tanda-tanda maraknya serangan hama pengerat itu juga terlihat dari seringnya dijumpai bangkai tikus yang sudah mengering di jalanan aspal yang membelah persawahan. "Petani kerap membuang tikus-tikus yang sudah mati hasil gropyokan (perburuan tikus) ke jalan. Tidak sempat menimbun karena langsung dilindas kendaraan dan mengering kena matahari," kata Yuli, seorang pengendara ojek di kawasan Caruban.

Awal Musim Tanam

Sukardi, 52 tahun, Ketua Kelompok Tani Rukun Makmur sekaligus Kepala Dusun Kaliwangon, Desa Dero, Kecamatan Bringin, Ngawi, menuturkan setelah terkendalinya hama wereng tahun lalu, para petani saat ini kembali dipusingkan dengan serangan tikus.

Menurutnya, berbagai upaya telah dilakukan oleh para petani Desa Dero yang total lahannya mencapai sekitar 150 hektare, tapi serbuan tikus seolah tetap datang tanpa henti. "Wereng sudah terkendali asal rajin memantau dan semprot (insektisida) seminggu sekali, bisa diatasi. Tapi tikus ini yang parah, bahkan petani yang pakai setrum pun, tetap kesulitan, karena tikus tetap saja menemukan cara untuk masuk ke sawah," ungkap Sukardi barubaru ini.

Ia menjelaskan hama tikus telah menyerang petani desa yang letaknya dekat dengan Waduk Pondok sejak tiga tahun lalu. Berbeda dengan wereng yang biasanya dijumpai setelah umur tanaman mencapai 30 hari, tikus menyerang sawah mereka sejak awal musim tanam. Dia memperkirakan lebih dari 50 persen sawah di Desa Dero terdampak oleh keganasan hewan pengerat itu. "Kalau wereng bisa diprediksi kapan kita mulai menyemprot.

Tapi tikus lebih ngeri karena tebang habis, baru tanam pagi, malamnya langsung rusak semua," ujarnya. "Kalau dulu hasil per hektare biasanya 10 ton, sekarang dengan berbagai hama yang ada hanya 5,5 ton. Hasilnya tidak cukup untuk ditabung, langsung habis karena biaya produksi kami macam- macam," tuturnya. "Meskipun di sini tidak ada pengijon, tetap saja petani harus utang ke bank, sisanya sedikit sekali," kata Sukardi. Dia menjelaskan tikus sawah menyerang tanaman padi dengan cara memotong atau mencabut tanaman yang baru ditanam.

"Serangan ditandai kerusakan tanaman di tengah petak. Kerusakan ini akan meluas ke pinggir dan menyisakan beberapa baris padi di pinggir petak," katanya. Menurutnya, tikus sangat sensitif terhadap kehadiran manusia sehingga jarang ditemukan di sekitar permukiman.

Tikus biasanya bersembunyi dan menggali lubang di dekat saluran irigasi utama. "Mereka beraksi malam hari dengan aktivitas tinggi menjelang senja dan subuh," ujarnya. Para petani, lanjutnya, sudah melakukan berbagai upaya untuk mengusir dan memberantas hewan itu, namun gelombang serbuan tikus seolah datang tanpa henti. "Ada yang pakai obat tikus, gropyokan, malam ronda pakai senapan angin, burung hantu, sampai listrik, tetap saja datang," tuturnya, sambil memberi catatan bahwa penggunaan cara setrum tahun ini di desa tetangga telah memakan korban satu orang tewas.

Meskipun dianggap paling efektif, tapi setrum ini juga banyak kendalanya. Tidak praktis karena harus ditungguin dari malam sampai pagi. Petani tidak punya waktu hingga akhirnya banyak yang dimatikan jam 9 malam. Tapi tikus instingnya kuat, mereka langsung datang. Tikus juga cepat merespons dengan menghindari penggunaan racun makanan yang ditebarkan oleh petani. Obat ada yang kontak, makan langsung mati dan sistemik, induknya makan obat ulegan, nanti anak-anaknya menyusui lalu mati.

Tapi tikus lebih pintar, mereka bisa belajar, akhirnya tidak mau makan obatnya. "Banyak juga cara-cara lain yang akhirnya 'diakali' oleh tikus, dironda pakai senapan angin, begitu lihat sinar senter, langsung lari masuk lobang. Ada yang sawahnya memasang jaring, mereka 'ngerong' (menggali terowongan) atau 'dikerikiti' (digigit)," katanya. Sedangkan penggunaan musuh alami tikus yakni burung hantu seperti yang sering disosialisasikan, tidak banyak menekan jumlah populasi tikus.

"Burung hantu kurang efektif karena hanya makan sedikit tikus, padahal jumlahya tikus ribuan, dan juga ada burung yang sampai kena jebakan setrum," kata Sukardi. "Ular musuh tikus, tapi sejak petani banyak memakai bahan kimia, ekosistem terganggu, ular jadi jarang muncul," tambahnya. Bahkan, langkah pengasapan menggunakan ramuan belerang "lirang" atau juga disebut "ngubus" yang awalnya efektif, mulai dikenali oleh tikus dan hewan ini dapat menghindarinya.

"Jika terkena lirang, tikus keluar dari lubang dan matanya tikus kabur terus mati. Tapi sekarang ada yang pintar, membuat tameng di lobanganya sehingga asap tidak bisa tembus. "Meskipun diasap lirang, seminggu kemudian tikus sudah banyak muncul karena satu ekor anaknya bisa 10, dan itu terus berkembang biak," jelas Sukardi.

Perlunya Perencanaan

Sejumlah ahli pertanian mengatakan, penanganan hama tikus harus dilakukan secara terpadu, mulai menerapkan pertanian berkelanjutan yang ramah lingkungan untuk memulihkan ekosistem yang rusak, sampai cara-cara pengendalian tikus seperti yang telah gencar dilakukan, namun harus lebih terencana.

Pakar pertanian dari Universitas Trunojoyo, Bangkalan, Madura, Ihsannudin mengatakan, hama tikus yang sedang merebak di kawasan Ngawi dan sekitarnya disebabkan karena ada perubahan ekosistem di kawasan area pertanian.

"Termasuk perubahan fungsi ataupun introduksi infratruktur dan pemukiman. Lalu karena pola tanam yang tidak serentak," tuturnya baru-baru ini. Menurutnya, saat ini kerusakan ekosistem juga menyebabkan rantai makan alami, predator tikus seperti ular dan burung juga mulai terdegradasi.

"Namun berbicara ekosistem (rantai makan tikus) pasti akan bertabrakan dengan kepentingan antroposentris (seperti keberadaan ular, pasti akan diusir karena dianggap menganggu manusia)." Untuk itu Ihsannudin menyarankan, perlunya perencanaan pola tanam dan perencanaan pembangunan infrastruktur yang lebih matang untuk menghambat perkembangbiakan tikus. Masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan slogan-slogan. Dan terbukti slogan-slogan yang dicanangkan pemerintah tidak efektif membantu petani meningkatkan produksinya.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top