Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Petani Irak Berinovasi demi Selamatkan Produksi Beras Dalam Negeri

Foto : AFP/Qassem al-KAABI

Tinggalkan Metode Tradisional l Seorang petani di Mishkhab, Provinsi Najaf, Irak, sedang mengatur alat penyiram di lahan pertaniannya pada awal Juli lalu. Setelah musim kemarau panjang dan semakin kecilnya curah hujan, para petani di Irak harus meninggalkan metode tanam padi tradisional dan menggunakan benih padi yang tangguh dan teknik modern yang mengkonsumsi lebih sedikit air untuk lahan persawahannya.

A   A   A   Pengaturan Font

Setelah sawahnya yang subur menyusut dalam beberapa tahun terakhir karena kekeringan yang tiada henti, petani Irak bernama Muntazer al-Joufi melakukan perlawanan dengan menggunakan benih yang lebih tangguh dan teknik irigasi yang hemat air.

"Ini pertama kalinya kami menggunakan teknik modern yang mengkonsumsi lebih sedikit air untuk menanam padi," kata Joufi, 40 tahun, saat mengamati lahannya di Provinsi Najaf, Irak tengah. "Ada perbedaan besar dibandingkan dengan membanjiri lahan," imbuh Joufi, mengacu pada metode tradisional dimana lahan harus tetap terendam sepanjang musim panas.

Namun kekeringan selama empat tahun berturut-turut dan menurunnya curah hujan telah menghambat produksi beras di Irak, yang masih dalam masa pemulihan dari perang dan kekacauan selama bertahun-tahun, dan di mana beras dan roti merupakan makanan pokok.

PBB mengatakan Irak adalah salah satu dari lima negara paling rentan terhadap perubahan iklim di dunia.

Joufi adalah salah satu petani yang menerima dukungan dari Kementerian Pertanian Irak, yang para ahlinya telah mengembangkan metode inovatif untuk menyelamatkan produksi beras di negara berjuluk Negeri 1001 Malam itu.

Tugas para ahli itu meliputi memadukan benih padi yang unggul dengan sistem irigasi modern untuk menggantikan metode banjir di negara yang kerap dilanda kelangkaan air, gelombang panas, dan menyusutnya sungai itu.

Di bawah terik matahari Irak, dengan suhu yang melonjak hingga 50 derajat Celsius, Joufi berjalan dengan susah payah melintasi ladang berlumpur, berhenti sejenak untuk merawat alat penyiram yang tidak berfungsi di lahan seluas satu hektare.

Tanaman padi Irak biasanya membutuhkan antara 10 hingga 12 miliar meter kubik air selama masa tanam lima bulan. Namun, para ahli mengatakan metode baru yang menggunakan alat penyiram dan irigasi tetes menggunakan air 70 persen lebih sedikit dibandingkan praktik banjir tradisional, ketika para pekerja harus memastikan lahan benar-benar tertutup air.

Saat ini, kata Joufi, hanya dibutuhkan satu orang saja untuk menyalakan alat penyiram dan air dapat menjangkau seluruh lahan.

Pakar dari Kementerian Pertanian Irak mengatakan bahwa selama tahun-tahun kekeringan, luas lahan yang ditanami padi menyusut dari lebih dari 30.000 hektare menjadi hanya 5.000 hektare.

"Karena kekeringan dan kelangkaan air, kita harus menggunakan teknik irigasi modern dan benih baru," kata Abdel Kazem Jawad Moussa, yang memimpin tim ahli tersebut.

Mereka telah bereksperimen dengan berbagai jenis alat penyiram, irigasi tetes, dan lima jenis benih berbeda yang tahan terhadap kekeringan dan mengkonsumsi lebih sedikit air dengan harapan menemukan kombinasi terbaik.

"Kami ingin mempelajari genotipe benih mana yang merespons dengan baik terhadap irigasi yang menggunakan alat penyiram dibandingkan dengan metode membanjiri lahan," kata Moussa.

Tahun lalu, Al-Ghari, genotipe yang berasal dari beras kuning Irak yang berharga, dan beras melati Asia selatan, memberikan hasil yang baik bila dibudidayakan dengan alat penyiram kecil, sehingga para ahli menawarkan kombinasi tersebut kepada petani seperti Joufi, dengan harapan mendapatkan yang terbaik.

"Di akhir musim, kami akan memberikan rekomendasi," kata Moussa seraya menambahkan bahwa ia juga berharap bisa memperkenalkan tiga jenis benih baru tahun depan dengan musim tanam yang lebih pendek.

Tahun Baik Terakhir

Selain kekeringan, pihak berwenang menyalahkan bendungan di hulu yang dibangun oleh negara tetangga Irak, Iran dan Turki, yang menyebabkan penurunan drastis permukaan air di sungai Tigris dan Eufrat, yang telah mengairi Irak selama ribuan tahun.

Saat ini kelangkaan air telah memaksa banyak petani meninggalkan lahan mereka dan pihak berwenang telah secara drastis mengurangi aktivitas pertanian untuk menjamin kecukupan air minum bagi 43 juta penduduk Irak.

Pada tahun 2022, pihak berwenang membatasi lahan tanam padi hingga 1.000 hektare di Najaf dan provinsi selatan Diwaniyah, yang merupakan pusat penanaman padi amber (amber rice).

Baru-baru ini, para petani di Diwaniyah melakukan protes dan mendesak pemerintah untuk mengizinkan mereka bertani di lahan mereka setelah terhenti selama dua tahun. Namun meski hujan deras pada musim dingin ini membantu meringankan kekurangan air, pihak berwenang hanya mengizinkan mereka menanam padi di 30 persen lahan mereka.

"Tahun baik terakhir adalah tahun 2020," kata petani bernama Fayez al-Yassiri di ladangnya di Diwaniyah di mana ia berharap bisa terus menanam padi amber dan melati.

Irak adalah produsen minyak terbesar kedua di kartel OPEC, namun meskipun memiliki cadangan minyak dan gas yang sangat besar, Irak masih bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan energinya dan menghadapi pemadaman listrik yang kronis.

Yassiri mendesak pihak berwenang untuk membantu, khususnya dengan menyediakan listrik dan pestisida bagi para petani.

Sepupunya yang bernama Bassem Yassiri juga mengharapkan hal itu. "Kekurangan air telah mengakhiri pertanian di wilayah ini," kata dia. AFP/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : AFP

Komentar

Komentar
()

Top