Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
GAGASAN

Persulit Bangun Tempat Ibadah Intoleransi Paling Parah

Foto : KORAN JAKARTA/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

Intoleransi paling parah adalah menghalang-halangi pihak lain untuk beribadah atau membangun tempat ibadah. Maka, sayang sekali jika di negeri ini masih sering terjadi kasus tersebut, seperti kasus penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, belum lama ini.

Oleh karena itu, jika memang hendak mengikis intoleransi yang makin meluas dan kompleks di negeri ini, pemerintah bersama segenap masyarakat perlu mendiskusikannya dengan rasional. Diskusi perlu digelar di tiap rukun tangga (RT). Selain itu, semua pihak perlu menghapus kesan buruk bahwa di negara ini beribadah atau membangun tempat ibadah sangat sulit (bagi kaum minoritas).

Sebaliknya membangun tempat hiburan sangatlah mudah. Semua pihak juga perlu mengerti bahwa ibadah sudah jelas sebagai manifestasi untuk meningkatkan iman kepada Tuhan (sesuai dengan agama masing-masing). Sedangkan hiburan fungsinya berbeda. Ini lebih sebagai tempat mencari hiburan duniawi.

Malahan bisa-bisa kadang disalahgunakan. Sangata disesalkan, kasus kekerasan terkait aktivitas ibadah atau pembangunan tempat ibadah masih saja terus terjadi. Sebab, hal itu menimbulkan kesan negeri ini masih adanya pemasungan terhadap kekebasan beragama. Padahal, UUD 1945 dengan tegas menjamin kebebasan beragama bagi semua warga negara Indonesia.

Pemerintah sudah selayaknya memberlakukan peraturan mendirikan tempat ibadah dengan pertimbangan situasi dan kondisi. Dalam hal ini, peraturan harus dapat diterima semua pihak, jika situasi dan kondisi yang ada memerlukannya. Sebagai contoh, jika di suatu kawasan perumahan ada sejumlah umat beragama yang membutuhkan tempat ibadah, sedangkan di sekitar perumahan tersebut tidak ada tempat ibadah, maka rumah seorang warga bisa digunakan sebagai tempat ibadah untuk menjalankan ibadah bersama, meski jumlah mereka hanya beberapa orang.

Sangat kasihan jika umat minoritas hanya dibolehkan beribadah bersama (di tempat ibadah) jika jumlahnya sudah banyak. Rasanya juga kasihan jika umat minoritas terpaksa harus menempuh jarak jauh ke luar dari kampungnya untuk beribadah bersama Pemerintah, aparat, dan masyarakat harus lebih arif. Untuk memuji Tuhan, jangan dilarang-larang. Berilah peluang seluas-luasnya untuk beribadah. Sebab beribadah sesuatu yang mulia, tidak perlu dilarang-larang.

Tempat Hiburan

Kita layak membandingkan antara tempat hiburan dan tempat ibadah. Di mana-mana orang cenderung sangat mudah, bahkan tanpa kendala untuk membangun tempat hiburan. Tapi, sebaliknya, seringkali kesulitan atau ada kendala bagi warga yang ingin mendirikan tempat ibadah hanya karena jumlahnya minoritas.

Bahkan alasannya sering dicari-cari untuk mempersulit pembangunan tempat ibadah kaum minoritas Padahal, beribadah merupakan kewajiban bagi umat beragama yang dijamin undang-undang. Sedangkan menikmati hiburan sering berlangsung gaduh dan liar. Juga tidak jarang muncul kasus perkelahian dan penyalahgunaan narkoba.

Bahkan tempat hiburan tidak jarang mendorong orang untuk berlaku maksiat, sehingga jatuh ke dalam dosa. Membandingkan tempat hiburan dengan tempat ibadah, agaknya cukup relevan sebagai sebuah kritik terhadap sikap umat mayoritas yang suka mempersulit umat minoritas. Dalam hal ini, peraturan mengenai pembangunan tempat hiburan telah lama bersifat elastis.

Misalnya, semula cuma warung atau kafe biasa. Lama-lama lalu berubah menjadi tempat hiburan di mana pengunjung tidak hanya datang untuk makan dan minum, tapi juga berdansa, berjudi, atau bahkan mungkin pesta miras, narkoba, dan seks. Dalam praktiknya, banyak tempat hiburan yang tidak berizin.

Bahkan cenderung dibiarkan berkembang menjadi tempat segala kemaksiatan yang sangat rentan merusak moral masyarakat sekitarnya karena dibekingi oknum penguasa setempat. Dengan demikian, jika peraturan mendirikan tempat hiburan selalu bersifat elastis, maka peraturan mendirikan tempat ibadah harus juga bersifat elastis.

Seharusnya, pemerintah bisa membina masyarakat untuk membangun sikap toleran terhadap pembangunan tempat ibadah. Sebab tidak akan muncul tempat ibadah, kecuali untuk menjalankan perintah agama yang dapat mendukung pembangunan moral dan etika kehidupan berbangsa dan bernegara. Sikap toleran sangat penting karena faktanya hampir semua perkampungan dihuni warga dengan agama yang berbeda-beda atau ditinggali masyarakat plural.

Bahkan, sekarang banyak bermunculan perkampungan baru dengan penghuni yang pluralistik. Sedangkan dalam masyarakat yang pluralistik selalu ada pihak mayoritas dan ada pula pihak minoritas. Oleh karena itu, diperlukan sikap toleran dalam masalah tempat ibadah Misalnya, jika pihak mayoritas mempunyai masjid besar, maka pihak minoritas mungkin cukup memiliki tempat ibadah dengan ukuran setara rumah tipe 21.

Sangat tidak adil jika pihak minoritas dilarang memiliki tempat ibadah untuk beribadah bersama di lingkungan kampungnya sendiri, hanya karena jumlahnya masih sangat kecil. Idealnya, kebebasan beragama tidak terkendala tempat ibadah bagi semua pemeluk agama.

Setiap tempat ibadah dikelola dengan bijaksana agar selalu nyaman bagi semua pihak yang memakainya maupun pihak lain yang tidak memakainya. Atau, yang lebih ideal lagi: umat mayoritas bersedia membantu umat minoritas dalam membangun tempat ibadah yang diperlukan dan selalu menjamin kedamaian hidup bersama, meski berbeda agama.

Siti Siamah, Ibu Rumah Tangga dan Peneliti Global Data Ref

Komentar

Komentar
()

Top