Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebijakan Pemerintah - HTI Rutin Kampanye Pembubaran Negara

Perppu Ormas Sangat Diperlukan

Foto : ANTARA/WAHYU PUTRO A
A   A   A   Pengaturan Font

YOGYAKARTA - Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (Perppu) tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) sangat diperlukan di tengah situasi kebangsaan akhir-akhir ini yang mengarah pada pemaksaan kehendak di luar koridor dasar negara Pancasila dan UUD 1945. Protes terhadap Perppu dianggap sesuatu yang wajar dan bisa ditempuh melalui jalur hukum yang tersedia, yakni menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Demikian diungkapkan oleh beberapa pakar yang hadir menjadi pembicara dalam Kursus Pancasila, di Balai Senat Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Jumat (21/7). Guru Besar Fisipol UGM, Tajuddin Noor Effendi, mengatakan Perppu Ormas sangat penting sebagai shock therapy bagi ormas-ormas yang selama ini dengan seenaknya mengecam demokrasi, NKRI, Pancasila, dan UUD 1945.

Bagaimana bisa mereka mengecam, namun menikmati semua yang disediakan oleh negara. Menurut Tajuddin, mengampanyekan antidemokrasi dan Pancasila secara terang-terangan kepada masyarakat luas melalui jalur-jalur demokratis, seperti demonstrasi, selebaran, website adalah tindakan yang memalukan.

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dibubarkan pemerintah, kalau tidak ditindak sekarang, sangat bahaya. "HTI kampanye mengganti negara ini jadi negara Islam. Itu tindakan politik yang berbahaya. Hal itu harus mendapat tindakan politik dari pemerintah," kata profesor yang juga pakar kependudukan itu.

Rutin Kampanye

Tajuddin menerangkan, HTI dan beberapa organisasi lain yang rutin kampanye pembubaran negara, penggantian Pancasila dan UUD 1945 ke masyarakat luas, bukanlah sebuah tindak akademis yang bisa diadili hanya sebagai pertukaran gagasan yang sah dalam negara demokrasi. Harus diingat, meski mereka belum membentuk angkatan bersenjata, namun tindakan merekrut massa, kampanye terbuka, adalah tindakan-tindakan politik.

"Coba lihat bagaimana kampanye mereka memecah belah TNI dengan pemerintah, negara Islam, dan perhatikan dokumen resmi mereka terkait khilafah, jelas mereka mesti hidup di luar Indonesia," jelas Tajuddin. Tajuddin mengingatkan gerakan seperti HTI juga ada di sekte Nasrani yang disinyalir oleh banyak peneliti rutin melakukan pemurtadan di desa- desa terpencil. Menurutnya, janji surga sekte-sekte tersebut sangat berbahaya karena menawarkan agama lain dengan iming-iming materi pada umat yang sudah menganut agama.

Sementara pakar pendidikan, Wuryadi, yang menjadi pembicara dengan tema "Sila Kemanusiaan" mengatakan bahwa sebagaimana yang diungkapkan oleh fakta-fakta telanjang, seperti Ketua HTI yang terus mengatakan dia antikebangsaan dan antidemokrasi karena tidak sesuai khilafah, maka cukup jelas bahwa mereka bukan bagian dari bangsa dan negara Indonesia. "Kalau cuma gagasan, ya debat di kampus, research, bukan kampanye ke masyarakat awam. Ini berbahaya.

Saya lihat sendiri di sebuah televisi nasional, ketua HTI mengaku antidemokrasi, antikebangsaan. Ini kan jelas melecehkan Pancasila," kata Wuryadi. Sementara itu, Fahmi Radhi yang menjadi pembicara "Sila Kerakyatan" mengingatkan bahwa elemen utama berbangsa adalah keadilan ekonomi. Maka mengeluarkan kebijakan politik yang menimbulkan prokontra sedemikian besar, sementara ekonomi butuh stabilitas politik, sesungguhnya itu bukan tindakan yang efisien.

Mestinya, menurut Fahmi, pemerintahan Jokowi cukup mengajukan HTI dan Ormas serupa ke pengadilan dan biarkan pengadilan yang bekerja. "Saya bukan ahli politik, saya melihatnya dari sisi ekonomi kebijakan itu tidak efisien. Yang diperlukan sekarang adalah manuver ekonomi yang jitu bukan tindakan politik berlebihan yang memancing debat keras di masyarakat," kata Fahmi.

YK/N-3


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Eko S

Komentar

Komentar
()

Top