Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Pernyataan Diplomat Tiongkok Menuai Kemarahan Eropa karena Mempertanyakan Kedaulatan Negara-negara Bekas Uni Soviet

Foto : Istimewa

Kementerian Luar Negeri Prancis menyatakan 'kecewa' atas pernyataan kenegaraan Lu Shaye.

A   A   A   Pengaturan Font

PARIS - Negara-negara Eropa bereksi keras atas komentar Duta Besar Tiongkok untuk Prancis, Lu Shaye, yang mempertanyakan status hukum negara-negara bekas Uni Soviet dan kedaulatan Ukraina atas wilayah Krimea, Minggu (23/4).

Dilansir oleh Financial Times, Estonia, Latvia, dan Lituania, yang memperoleh kembali kemerdekaannya dari Uni Soviet pada awal 1990-an, mengatakan, mereka akan memanggil para duta besar Tiongkok pada Senin untuk mengadukan pernyataan Lu Shaye.

"Negara-negara bekas Uni Soviet ini tidak memiliki status efektif di bawah hukum internasional karena tidak ada kesepakatan internasional untuk mengkonkretkan status mereka sebagai negara berdaulat," kata Lu Shaye saat wawancara dengan saluran berita Prancis LCI.

Ketika ditanya apakah Krimea adalah bagian dari Ukraina, Lu mengatakan pertanyaan itu "tidak mudah dijawab dengan beberapa kata" dan menunjukkan bahwa Krimea dulunya milik Rusia, sambil mengabaikan bahwa Rusia secara ilegal mencaplok semenanjung itu pada 2014.

Pejabat Ukraina menolak komentar diplomat Tiongkok itu. "Semua negara pasca-Uni Soviet memiliki status kedaulatan yang jelas yang diabadikan dalam hukum internasional," cuit penasihat presiden Ukraina, Mykhailo Podolyak.

"Aneh mendengar versi absurd dari 'sejarah Krimea' dari perwakilan negara yang sangat teliti tentang sejarah seribu tahunnya," tambah Podolyak.

Kementerian Luar Negeri Prancis juga menyatakan "kecewa" atas komentar Lu.

"Terserah Tiongkok untuk mengatakan apakah pernyataan ini mencerminkan posisinya, yang kami harap tidak," kata Kementerian Luar Negeri Prancis.

"Kami berdiri dalam solidaritas dengan sekutu kami dan mitra yang terkena dampak, yang memenangkan kemerdekaan yang telah lama ditunggu-tunggu setelah puluhan tahun ditindas," ujarnya dengan menambahkan bahwa "pencaplokan Krimea adalah ilegal menurut hukum internasional".

Kehebohan terjadi setelah kunjungan Presiden Prancis, Emmanuel Macron, baru-baru ini ke Beijing, di mana dia mengatakan bahwa rencana Tiongkok untuk Ukraina menunjukkan keinginan untuk memainkan peran yang bertanggung jawab dalam konflik tersebut. Macron kemudian menghadapi kritik karena menyarankan bahwa Uni Eropa harus menghindari terseret ke dalam ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok terkait Taiwan.

"Jika ada yang masih bertanya-tanya mengapa negara-negara Baltik tidak mempercayai Tiongkok untuk 'memperantarai perdamaian di Ukraina, inilah duta besar Tiongkok yang berpendapat bahwa Krimea adalah Rusia dan perbatasan negara kita tidak memiliki dasar hukum," kata Menteri Luar Negeri Lituania, Gabrielius Landsbergisn

Komentar Lu bertentangan dengan kebijakan Tiongkok terhadap negara-negara bekas Soviet. Beijing membuka hubungan diplomatik dengan republik-republik merdeka ini pada September 1991.

"Lu Shaye memiliki opini radikal dan non-mainstream yang menyimpang dari posisi dan praktik resmi Beijing," kata pakar dari China Center di Yale Law School, Moritz Rudolf.

Menteri Luar Negeri Latvia, Edgars Rink?vi?s, menyebut komentar itu "sama sekali tidak dapat diterima.

"Kami mengharapkan penjelasan dari pihak Tiongkok dan mencabut sepenuhnya pernyataan ini," tambahnya.

Kementerian Luar Negeri Tiongkok belum mengomentari pernyataan Lu. Lu, yang berada di tahun keempat penempatannya di Paris, telah menampilkan gaya diplomasi "prajurit serigala" Beijing dengan ucapannya yang blak-blakan sebelumnya.

Duta Besar Ukraina untuk Prancis, Vadym Omelchenko, menyindir bahwa Lu harus ditanya "siapa pemilik Vladivostok?", mengacu pada kota pelabuhan yang dianeksasi Rusia dari Tiongkok pada pertengahan abad ke-19.

Menteri Luar Negeri Estonia, Margus Tsahkna, menyebut, komentar duta besar itu "keliru dan salah menafsir sejarah".

"Negara-negara Baltik di bawah hukum internasional telah berdaulat sejak 1918 tetapi diduduki selama 50 tahun," tegasnya.

Tiga negara Baltik pertama kali mendeklarasikan kemerdekaan pada 1918 setelah Revolusi Rusia. Uni Soviet menduduki dan mencaploknya selama perang dunia kedua pada 1940 dan sekali lagi pada tahun 1944. Sebagian besar negara barat menolak untuk mengakui aneksasi tersebut. Setelah kemerdekaan mereka pada 1990-91, ketiganya bergabung dengan Uni Eropa dan NATO dan menjadi pendukung kuat Ukraina dalam perjuangannya melawan agresi Rusia.

Lituania berada di bidikan Beijing setelah memperdalam hubungan dengan Taiwan pada 2021, yang ditanggapi Tiongkok dengan sanksi pembalasan. Ketiga negara Baltik sejak itu telah menarik diri dari dialog "17+1" Tiongkok sebelumnya untuk negara-negara Eropa tengah dan timur.

Menteri Luar Negeri Taiwan, Joseph Wu, men-tweet dukungannya untuk pernyataan Landsbergis. "Percayalah, dibutuhkan #Taiwan untuk mengetahui dan merasakan seberapa jauh dan seberapa buruk hal itu bisa terjadi," cuitnya.


Redaktur : Selocahyo Basoeki Utomo S
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top