Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Tata Kelola Pangan I Kepala Badan Pangan Nasional Harus Setingkat Menko

Perlu Terobosan Besar Atasi Kelangkaan Kedelai

Foto : ANTARA/ADITYA PRADANA PUTRA

KETUA BADAN PANGAN NASIONAL HARUS SELEVEL MENTERI KOORDINATOR I Kehadiran Badan Pangan Nasional yang pimpinannya baru dilantik diharapkan menjadi solusi bagi karut marutnya tata kelola pangan seperti kedelai yang terjadi saat ini. Harapan itu bisa terwujud jika Kepala Badan Pangan Nasional posisinya setara dengan Menteri Koordinator.

A   A   A   Pengaturan Font

» Dengan kekuasaan yang tidak terkonsolidasi, Indonesia sangat rawan hadapi krisis pangan.

» Kalau tidak selevel Menko, Kepala Badan Pangan akan sulit bergerak, kalau menteri tidak setuju maka kebijakan akan stagnan.

JAKARTA - Pernyataan Kementerian Pertanian yang menargetkan produksi satu juta ton kedelai tahun ini guna mencukupi kebutuhan nasional dan tidak bergantung pada pasokan impor dinilai sebagai teriakan yang kesiangan. Kementan menyampaikan target tersebut setelah pengusaha tahu-tempe sudah mogok akibat harga bahan baku yang mencekik.

Atas persoalan pangan yang terus terulang tiap tahun itu, kehadiran Badan Pangan Nasional yang pimpinannya baru dilantik Presiden diharapkan menjadi solusi bagi karut-marutnya tata kelola pangan.

Harapan besar masyarakat pada Arief Prasetyo Adi sebagai Kepala Badan Pangan Nasional sangat wajar. Namun, dia tidak akan efektif bekerja jika posisinya tidak setara dengan Menteri Koordinator (Menko) karena yang akan dia atur selevel menteri seperti Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan.

Dengan kekuasaan pangan yang terpecah belah dan tidak terkonsolidasi maka sangat rawan bagi Indonesia menghadapi krisis pangan seperti kedelai saat ini karena negara eksportir pasti mengutamakan pasar dalam negeri mereka.

Sementara itu, kedelai sebagai sumber protein bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, kalau dibiarkan langka maka gizi rakyat akan terbengkalai, sehingga tingkat stunting tetap tinggi. Jika kondisi tersebut terus dibiarkan, Indonesia berpotensi menjadi terbelakang kembali seperti negara-negara di Afrika.

Pembiaran tata kelola pangan itu sangat kontras dengan yang dilakukan Tiongkok dalam 20 tahun terakhir. Industri mereka maju karena mempunyai program mandiri pangan.

Badan Pangan Nasional harus menghentikan semua praktik oligarki di mana kekuasaan pangan yang semakin merajalela dengan rent seeking yang akan membunuh rakyat.

Pada akhirnya, masyarakat yang kurang gizi sangat rentan terhadap penyakit, sehingga beban Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terus membengkak.

Pemerintah harus mengemis utang 14 miliar dollar AS dan digunakan secara boros sehingga negara akan mati perlahan. Untuk makan saja harus membeli dari luar negeri dan itu pun dibayar menggunakan devisa dari utang.

Guru Besar Ekonomi Pertanian UGM, Masyhuri, saat diminta pandangannya mengatakan negeri Nusantara diberi kesuburan dan curah hujan tinggi, tetapi tidak dioptimalkan dengan menanam komoditas yang sangat dibutuhkan dalam negeri, sehingga akhirnya tidak berdaya setelah komoditas impor mengalami gangguan produksi atau distribusi.

Di tengah kesulitan keuangan, ratusan triliun utang negara tidak ditagih padahal kalau ditagih bisa digunakan untuk bercocok tanam dan buat modal untuk makan. Satgas Penagihan Piutang Negara BLBI tidak ada gaungnya karena penegakan hukum tidak dijalankan secara adil.

Masalah mendasar seperti itu yang tidak diselesaikan secara holistik dan tuntas. Penagihan piutang tidak digenjot, tapi malah mau menaikkan tarif pajak yang menyasar masyarakat ekonomi bawah sehingga makin memperumit masalah.

Perlunya Badan Pangan diberi kewenangan yang luas dan koordinatif karena tidak menutup kemungkinan harga kedelai dunia bisa terus meroket jika terjadi persaingan permintaan dan masih ada masalah logistik khususnya pengapalan. Sebab itu, pemerintah jangan terlalu bergantung pada pedagang dan pengusaha.

Rakyat, kata Masyhuri, jangan dibiarkan dengan kapasitas produksinya yang terbatas hanya ratusa ribu ton, sementara kebutuhan sekitar 3-4 juta ton. "Ini sulit dikejar dan tentu perlu waktu," katanya.

Masalah pangan, katanya, sangat kompleks dari hulu ke hilir dan tersebar di banyak kementerian. Kalau tidak selevel Menko, Kepala Badan Pangan akan sulit bergerak, misalnya kalau menteri tidak setuju dan tidak sejalan maka kebijakan akan stagnan.

"Kepala Badan Pangan mesti menunjukkan taringnya dengan segera menyelesaikan masalah kelangkaan minyak goreng dan kedelai," kata Masyhuri.

Swasembada Kedelai

Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur, Adik Dwi Putranto, sebelumnya mengatakan gejolak di tingkat produsen tahu dan tempe tidak terulang setiap tahun kalau pemerintah serius mewujudkan program swasembada kedelai dalam negeri.

"Swasembada pangan adalah hal mutlak yang harus dicapai sebuah negara untuk menjaga stabilitas ekonomi dalam negeri," kata Adik.

Ia mengatakan, saat ini harga kedelai impor kembali melonjak menjadi 11 ribu rupiah per kilogram (kg) dari harga normal 9 ribu rupiah per kg. Akibatnya, terjadi gejolak pada perajin tahu dan tempe hingga mereka melakukan aksi mogok produksi.

Menurut Adik, komitmen mewujudkan swasembada kedelai bisa dimulai dengan membuat peta besar peningkatan produksi kedelai nasional secara terukur. Namun, dari data yang ada menunjukkan produksi kedelai dalam negeri justru terus menurun.

Di Jawa Timur, misalnya, pada 2018 produksi kedelai mencapai sekitar 240 ribu ton, lalu turun pada 2019 menjadi sekitar 120 ribu ton. Pada 2020, produksi kedelai bertambah turun menjadi 57.235 ton, padahal konsumsi kedelai Jatim tahun 2020 mencapai 447.912 ton.

"Artinya, program swasembada kedelai yang didengung-dengungkan pemerintah tidak jalan. Produksi kedelai justru semakin turun dan defisit kian tinggi. Harusnya, pemerintah memiliki strategi yang terukur melalui peningkatan produksinya dalam negeri setiap tahun," katanya


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top