Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
GAGSAN

Perkuat Perlindungan Wartawan

Foto : KORAN JAKARTA/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

Pada peringatan Hari Pers Nasional (HPN) tanggal 9 Februari 2019 ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Hari ini disuguhi "duka" bagi dunia pers karena pemerintah memberi remisi atau pengurangan hukuman terhadap I Nyoman Susrama, narapidana kasus pembunuhan jurnalis Radar Bali, AA Narendra Prabangsa.

Ini berdasarkan Kepres No 29 Tahun 2018 tentang Pemberian Remisi Berupa Perubahan dari Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Penjara Sementara. Padahal remisi pada kasus pembunuh wartawan ini sangat mengkhawatirkan dunia jurnalistik. Tak heran, kasus ini menjadi perhatian publik dan sejumlah organisasi jurnalis. Mereka memprotes dan menolak remisi tersebut.

Pemerintah dinilai tak sensitif terhadap perlindungan profesi wartawan dan melemahkan kebebasan pers. Sejauh ini, pemerintah melalui Menkumham bersikukuh bahwa pemberian remisi ini telah sesuai dengan norma dan prosedur. Benarkah demikian? Dari aspek filosofis sesungguhnya fungsi pemidanaan untuk meneguhkan kembali konsep pemasyarakatan, bukan pembalasan aksi jahat.

Maka pemidanaan tidak untuk menderitakan atau boleh merendahkan martabat manusia. Hakikatnya, warga binaan sebagai insan yang harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam satu sistem pemasyarakatan terpadu. Dengan demikian, jika terdapat narapidana yang telah menjalani pemidanaan dan menunjukkan perilaku baik, tidak menutup kemungkinan diberi remisi atau pengurangan masa pidana.

Sesungguhnya, pemberian remisi telah diatur dalam Pasal 14 Ayat (1) huruf i UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Isinya, narapidana berhak mendapat remisi. Selanjutnya diatur dalam Pasal 34 Ayat (1) PP No 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Di sini ditegaskan, setiap narapidana dan anak pidana yang selama menjalani masa pidana berkelakuan baik, berhak mendapat remisi. Kemudian, diatur lebih lanjut dalam Pasal 9 Ayat (1), (2), (3) dan (4) Keppres No 174 Tahun 1999 tentang Remisi yang menyatakan, napi yang dipidana seumur hidup dan telah menjalani paling sedikit 5 tahun, serta berkelakuan baik, pidananya dapat diubah menjadi penjara sementara, sisa waktu pidana yang masih harus dijalani paling lama 15 tahun.

Kemenkumham telah mengkaji, terpidana Susrama (pembunuh jurnalis) telah menjalani penjara 10 tahun dan berperilaku baik, sehingga berhak menerima remisi. Sebab sesungguhnya remisi memang hak terpidana seperti diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf i UU No 12/1995 tentang Pemasyarakatan bahwa napi berhak mendapat remisi.

Karena I Nyoman Susrama (pembunuh jurnalis) ini telah menjalani hukuman pidana 10 tahun dan berperilaku baik sehingga layak untuk diberi remisi sesuai dengan perundang-undangan. Namun demikian, dari aspek sosiologis penegakan hukum tak cukup hanya berdasarkan pertimbangan legal-formal. Harus juga mempertimbangkan aspek-aspek kemanusiaan dan keadaban publik yang di dalamnya terdapat prinsip-prinsip keadilan. Ini seharusnya diperhatikan pemerintah, terutama rasa keadilan korban dan keluargawartawan serta dunia jurnalistik.

Komitmen

Pembunuhan Prabangsa satu-satunya kasus penewasan wartawan yang dapat diungkap tuntas karena dapat menemukan motifnya. Ini terkait dengan liputan-liputan korupsi di Bangli. Pelaku utamanya (mastermind) adalah Susrama.

Sedang pelaku lapangannya, Komang Gede, Nyoman Rencana, I Komang Gede Wardana alias Mangde, Dewa Sumbawa, Endy, dan Jampes. Semua telah menjalani hukuman dan berkekuatan hukum tetap.

Ada delapan pembunuhan wartawan yang belum terungkap tuntas, baik motif maupun pelakunya, di antaranya pembunuhan Fuad M Syarifuddin (Udin), Wartawan Harian Bernas Yogya (1996) dan Herliyanto, wartawan lepas harian Radar Surabaya (2006).

Kemudian, kasus Ardiansyah Matrais, wartawan Tabloid Jubi dan Merauke TV (2010), dan Alfrets Mirulewan, wartawan Tabloid Mingguan Pelangi di Pulau Kisar, Maluku Barat Daya (2010). Maka, kasus pembunuhan wartawan Radar Bali dengan terpidana Susrama ini seharusnya tak diberi remisi karena bisa mencederai rasa keadilan publik.

Biarkan dia tetap menjalani hukuman penjara semur hidup sebagai upaya penjeraan (deterence effect) dan bentuk langkah hukum untuk melindungi pers dari tindakan kekerasan. Sebaiknya pemerintah mencabut Kepres No 29 Tahun 2018 tentang pemberian remisi ini guna memulihkan kepercayaan publik ke pemerintah.

Dari aspek hukum ketatanegaraan, pencabutan Kepres No 29 Tahun 2018 tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan karena presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan memiliki hak prerogatif serta diskresi untuk meninjau setiap Kepres. Ini sepanjang dilakukan menurut asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) dan prinsip karakter konstitusi.

Menurut Dennis F Thompson (2010:24-25) Dalam Constitutional Character: Virtues And Vices In Presidential Leadership, karakter konstitusional adalah prinsip kepemimpinan politik seorang presiden agar tindakan-tindakannya tidak selalu terpaku pada teks-teks tertulis. Dia perlu memandang konstitusi dalam arti luas, sehingga tindakannya dapat melampui teks sepanjang bertujuan agar prinsip-prinsip demokrasi dapat dijalankan dengan baik.

Baca Juga :
Jiwa Kesatria

Selain itu, pemerintah perlu berkomitmen melindungi wartawan agar terjamin hak-haknya untuk bebas menuliskan berita-berita yang konstruktif sepanjang memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik. Pemerintah harus berpihak pada penegakan hukum dan memutus mata rantai praktik impunitas terhadap kasus-kasus kekerasan wartawan yang nyaris tak tersentuh hukum karena bisa memperlemah kebebasan pers.

Tempatkan media sebagai pilar keempat pengawasan yang bersifat unofficial terhadap ketiga cabang kekuasaan (eksekutif, legislatif dan yudikatif). Pemerintah harus menepis dugaan adanya kekuatan politik dan ekonomi tertentu yang sengaja menjadikan negara sebagai tameng untuk berpihak pada kemauan serta dominasi dari kelompok-kelomok tertentu.

Dr Agus Riewanto, Dosen Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum UNS

Komentar

Komentar
()

Top