Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Peringatan Bagi RI! Menkeu Sri Mulyani Ungkap Konflik Tiongkok-Taiwan Tambah Tekanan ke Perekonomian

Foto : Dok. Kemenkeu

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani.

A   A   A   Pengaturan Font

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menilai perekonomian Indonesia tidak lantas dalam kondisi baik meski pandemi Covid-19 sudah landai. Ia menuturkan akan ada risiko baru yang muncul akibat ketegangan geopolitik antara Tiongkok dan Taiwan.

Padahal, menurutnya pemerintah merasa kian optimistis ekonomi Indonesia pada tahun ini cenderung akan lebih baik dari pertumbuhan positif selama 2021. Hanya saja, harapan itu harus pupus setelah perang Rusia dan Ukraina pecah pada 24 Februari 2022.

Sejak saat itu, Sri menuturkan dunia mulai dilanda berbagai krisis di berbagai sektor, mencakup energi, pangan hingga krisis keuangan.

Seakan belum cukup parah, hal tak terduga kembali terjadi. Ketegangan antara Tiongkok dan Taiwan dikhawatirkan memperparah perekonomian dunia. Sri sendiri menilai konflik antara kedua negara Asia Timur itu mampu memicu tambahan risiko pada terganggunya rantai pasok.

"Dan sekarang ketegangan juga melonjak tinggi di Taiwan. Ini pasti akan menimbulkan tambahan risiko pada disrupsi sisi suplai," ungkap Sri dalam konferensi pers APBN Kita, Kamis (11/8).

Ia menuturkan terganggunya rantai pasok dikhawatirkan akan membuat tekanan inflasi di berbagai negara semakin tinggi. Seperti Amerika Serikat (AS) dan sejumlah negara Eropa yang inflasinya dilaporkan sudah sangat tinggi.

Masalah inflasi selanjutnya berupaya diselesaikan oleh kebijakan moneter yang lebih agresif dengan menaikan suku bunga. Kebijakan inilah yang dinilai Menkeu dapat memberikan dampak yang tidak baik bagi negara di dunia, tak terkecuali Indonesia.

Sri menyebut kenaikan suku bunga negara maju dapat menekan nilai tukar rupiah ke titik yang lebih rendah dari saat ini dan pada akhirnya akan meningkatkan biaya utang negara.

"Tindakan ini menimbulkan efek rambatan ke berbagai negara. Volatilitas pasar keuangan melonjak, capital outflow terjadi di negara berkembang dan emerging dan ini akan menekan nilai tukar rupiah, meningkatkan lonjakan biaya utang," jelasnya.

Masalah ini, dipaparkan Sri telah dialami sejumlah negara. Pasalnya, negara yang sebelum dan selama pandemi kondisi keuangan negaranya memburuk akan semakin memburuk. Sri pun menyebut terdapat sejumlah negara yang rasio utangnya menjadi di atas 60 persen, dan bahkan menembus 100 persen.

"Sehingga IMF menyampaikan bahwa di seluruh dunia ini ada 60 negara lebih yang berpotensi hadapi krisis utang dan ini disebabkan karena biaya bunga utang yang melonjak tinggi," tutur Sri.

Pada akhirnya, Sri menilai kondisi pelemahan keuangan di berbagai negara dengan inflasi tinggi, serta pengetatan suku bunga akan memperlemah kondisi pertumbuhan ekonomi dunia.

"Kombinasi pelemahan ekonomi dunia dan inflasi tinggi adalah sebuah kombinasi sangat rumit dan berbahaya bagi para policy maker dan perekonomian. Inilah yang kita sebut risiko perekonomian bergeser, dari tadinya mengancam dari pandemi, sekarang bergeser menjadi risiko finansial melalui berbagai penyesuaian kebijakan dan lonjakan inflasi yang tinggi," jelasnya.


Editor : Fiter Bagus
Penulis : Suliana

Komentar

Komentar
()

Top