Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Kamis, 25 Jan 2018, 01:00 WIB

Perempuan dan Politik Gender

Foto: koran jakarta/ones

Oleh Agung SS Widodo, MA

Keterlibatan perempuan dalam kancah politik, utamanya dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkda) banyak dibicarakan. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) dari 171 daerah dan 1.145 calon Kepala Daerah, tercatat hanya 101 calon Kepala Daerah perempuan. Bandingkan calon Kepala Daerah laki-laki berjumlah 1.045. Dari jumlah tersebut, bahkan untuk memenuhi terget kuota 30 persen pun belum tercapai. Ini menandakan keterlibatan perempuan dalam ranah politik publik belum maksimal.

Kuota 30 persen diharapkan menjadi pintu masuk perempuan untuk terlibat lebih jauh baik secara kuantitas maupun kualitas. Namun, di sisi lain, masih ada juga masyarakat yang meragukan kemampuan kaum Hawa melaksanakan tugas-tugas politik. Keraguan ini muncul karena masyarakat melihat perempuan yang terjun ke gelanggang politik belum mampu berkontribusi optimal bagi upaya perbaikan politik dan advokasi kepentingan rakyat.

Pandangan demikian tentunya sangat disayangkan, namun juga tidak bisa disalahkan. Tradisi dan budaya politik bangsa disadari atau tidak masih patriarkhis serta oligarkis, meski upaya demokratisasi atas kesetaraan gender dalam ruang politik terus dilakukan.

Menarik sebenarnya jika mengingat kembali ungkapan Soekarno di mana laki-laki dan perempuan layaknya dua sayap burung. Jika kedua sayap itu kuat, maka seekor burung akan mampu terbang tinggi. Sebaliknya jika ada salah satu yang lemah, burung tersebut tidak akan mampu terbang tinggi.

Analog ini bisa dikatakan sangat relevan untuk melihat posisi seharusnya perempuan dalam wilayah politik praksis. Memang tidak bisa dipungkiri, saat ini laki-laki masih mendominasi ruang-ruang politik dan keterwakilan perempuan masih terlalu kecil dari pria. Pertanyaannya, apakah perempuan memang tidak lebih layak? Aataukah sistem kaderisasi partai politik yang masih saja bias gender dan cenderung patriarkis?

Secara umum, tentunya sangat naif jika masih saja berpandangan bahwa perempuan tidak lebih layak duduk sebagai wakil rakyat dan berkecimpung dalam politik praksis. Justru pertanyaan kedua sebagai akar permasalahan yang perlu dilihat lebih serius.

Pascareformasi tahun 1998, bisa dikatakan negara ini sedang mengalami kegalauan demokrasi. Hal ini ditandai dengan tidak semakin jelasnya arah dan tujuan demokrasi bangsa. Efeknya berimbas pada konteks sistem perpolitikan negara, termasuk salah satunya kesetaraan dan kesempatan perempuan dalam mengakses politik praksis.

Dinamika dan problematika keterwakilan perempuan dalam politik secara realitas masih terbentur budaya patron klien. Pada era tahun 90-an PBB pernah melontarkan wacana "Women in Development (WID)" dan Women and Development (WAD). Ini sebagai bentuk kepedulian terhadap perempuan agar berkontribusi secara aktif dan seimbang sebagaimana laki-laki dalam mengambil peran-peran kebijakan pembangunan.

Meski bisa dikatakan sebagai program yang properempuan, pada pelaksanaannya sama sekali tidak mampu mengubah posisi perempuan sebagaimana diharapkan. Lagi-lagi yang menjadi titik persoalan tidak adanya keseimbangan dalam aksesibilitas kekuasaan dan pengambilan kebijakan.

Pelengkap

Praktik keterwakilan perempuan dalam politik tak ubahnya istilah politik konco wingking, dan perempuan tidak bisa melepaskan diri dari pandangan yang selama ini melekat. Dia hanya sebagai pelengkap dan penyedap. Kuota 30 persen perempuan, kalau mau jujur mengakui bisa jadi merupakan strategi politik semata agar terkesan lebih membuka ruang politik bagi wanita.

Pengaturan kuota tersebut jelas-jelas memberi sinyal, kaum Hawa memang berbeda. Masalahnya, hal tersebut selalu dibaca dalam konteks politik sehingga wacana yang keluar pun sangat sulit dinetralisasi dan dimasukkan dalam rangka keadilan. Perempuan di ruang publik memang menjadi pembicaraan yang tidak akan kunjung selesai dan terus menuai perdebatan. Sebab, sejatinya bukan masalah kesetaraan dan keadilan, namun lebih pada cita rasa politik patron klien yang sangat sulit diubah.

Berbicara mengenai peran perempuan di ruang politik publik tidak bisa dilepaskan begitu saja dari akar budaya yang sudah telanjur menjadi dasar kehidupan ekonomi hingga politik. Selain itu, persoalan yang tidak kalah menyedihkan, sistem perpolitikan dan kaderisasi parpol belum juga menunjukkan keseriusannya dalam memberdayakan wanita.

Terkait ini, ada beberapa yang sekiranya perlu diperhatikan. Di antaranya, perlu ada kesadaran kolektif laki-laki maupun perempuan untuk sama-sama mengakses peluang politik, tanpa harus saling membedakan. Ini sudah dijelaskan UUD 1945 Pasal 27 di mana setiap warga negara mempunyai kedudukan sama dalam hukum dan pemerintahan.

Sistem kaderisasi yang diinisiasi parpol hendaknya lebih mencerminkan kesetaraan, sehingga secara struktural perempuan mampu meningkatkan kualitas dan meraih jenjang karir politik setara pria. Untuk itu, perlu regulasi hukum formal yang lebih tegas atas peran perempuan dalam ranah publik (politik). Penekanannya bukan pada persoalan jumlah keterwakilan, namun lebih pada substansi serta pentingya peran perempuan dalam mengartikulasikan kepentingan rakyat sehingga bangsa semakin lebih adil dan sejahtera.

Penulis Peneliti Sosial Politik Pusat Studi Pancasila UGM

Penulis: Arip, CS Koran Jakarta, Dika, Dimas Prasetyo, Dio, Fathrun, Gembong, Hamdan Maulana, Hayyitita, HRD, Ichsan Audit, Ikn, Josephine, Kelly, Khoirunnisa, Koran Jakarta, Leni, Lukman, Mahaga, Monic, Nikko Fe, Opik, Rabiatul Adawiyah, Rizky, Rohmad, Sujar, Tedy, User_test_2, Wahyu Winoto, Wawan, Zaky

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.