Perdagangan Bebas yang Tak Adil Tidak Membawa Damai, Tetapi Bentuk Penindasan Ekonomi
PENGUSAHA KECIL DIRUGIKAN - Perajin tahu di Sentra Produksi Tahu Cibuntu, Babakan Ciparay, Bandung, Jawa Barat, Jumat (30/9) mengeluh karena mahalnya kacang kedelai impor yang saat ini sudah mencapai 12.800 rupiah/kg dari harga 10.500 rupiah/kg yang menyebabkan turunnya jumlah produksi. Terbukti, impor barang konsumsi selama ini merugikan pengusaha kecil dan membuat para pemburu rente (rent seeker) berkuasa.
Foto: ANTARA/RAISAN AL FARISIPemerintah jangan mau ditindas dalam perdagangan bebas karena merugikan bangsa sendiri dan sama dengan bunuh diri secara perlahan sejak era reformasi 1998.
Struktur impor Indonesia kurang strategis karena didominasi untuk barangbarang konsumtif.
JAKARTA - Pemerintah diminta melakukan reformasi struktural terutama di sektor riil agar tidak terus-menerus melakukan impor yang menghabiskan devisa negara dan memiskinkan rakyat. Keikutsertaan Indonesia dalam berbagai blok perdagangan, terbukti tidak memberi manfaat yang optimal.
Perdagangan bebas kebanyakan berjalan tidak adil, tidak membawa damai, malah menjadi praktik penindasan ekonomi. Sebab itu, Pemerintah harus menghentikan impor terutama barang-barang konsumsi yang seharusnya bisa diproduksi dalam negeri.
Impor barang-barang konsumsi selama ini hanya membuat para pemburu rente (rent seeker) berkuasa. Mereka bukannya membantu para petani, tetapi semakin tertindas oleh ulah importir. Selama ini, perdagangan bebas bukannya membuat persaingan pasar berjalan sehat, tetapi jadi ajang penindasan.
Kalau industri nasional pun dihadapkan pada high cost economy atau ekonomi biaya tinggi dari atas sampai bawah, sangat sulit untuk bisa memproduksi barang murah. Perdagangan bebas yang berlangsung dengan tidak adil, tidak akan membawa damai, tetapi penjajahan ekonomi.
Pakar filsafat, sejarah, dan akuntansi di University of Southern California, Jacob Soll, seperti dikutip dari Politico, baru-baru ini mengatakan sejarah menunjukkan pasar bebas menjadi dasar persahabatan antara negara-negara kuat, tetapi mereka kurang berhasil mengamankan perdamaian dan demokrasi seperti yang diharapkan banyak orang.
"Kenyataannya, pembicaraan mulia tentang pasar bebas terkadang hanya menjadi alasan untuk terlibat dalam jenis kompetisi kekuatan besar yang terlalu sering mengarah pada perang dan penjarahan," ungkap Soll.
"Sekarang, kita tiba pada saat yang lebih berbahaya. Demokrasi sedang mundur di seluruh dunia. Ekonomi global tampaknya siap untuk resesi dan perang telah pecah di Eropa, sementara ketegangan meningkat antara AS dan Tiongkok. Sementara itu, skeptisisme publik tentang perdagangan bebas melonjak di momen populis ini. Bisakah pasar bebas menjaga perdamaian? Kita harus berharap mereka bisa," kata Soll.
Namun, sejarah menunjukkan bahwa perdagangan bebas sering kali dipandang sebelah mata. Pada akhirnya, pax berbasis militer atau kepentingan bersama yang lebih dalam mungkin diperlukan untuk menjaga perdagangan dan dunia dengan cara yang lembut.
Semakin Mengkhawatirkan
Secara terpisah, Pengamat Sosial yang juga Guru Besar bidang Kebijakan Publik dari Universitas Brawijaya, Malang, Andy Fefta Wijaya, mengatakan merujuk data yang ada kondisi impor Indonesia semakin mengkhawatirkan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor meningkat hampir 40 persen pada 2022 dibandingkan 2021. Per Juli 2022 impor mencapai angka 21,35 miliar dollar AS. Impor nonmigas naik 25,41 persen per Juli 2022 dibandingkan tahun sebelumnya, sedangkan impor nonmigas sebesar 62,51 persen didominasi logam mulia dan perhiasan/ permata. Adapun impor barang modal seperti mesin atau peralatan mengalami penurunan drastis.
"Potret ini memperlihatkan struktur impor Indonesia kurang strategis karena didominasi untuk barang-barang konsumtif. Padahal itu menguras cadangan devisa negara kita. Apabila untuk barang-barang modal masih bisa ditolerir, apalagi untuk memproduksi output yang akan dijual ke luar negeri," kata Andy.
Namun, jika impor barang konsumtif seperti perhiasan/ permata akan merugikan masyarakat. Hal itu, katanya, merupakan bentuk penindasan baru dalam perdagangan bebas. Devisa yang dikumpulkan hanya terkuras untuk barang-barang konsumtif.
"Pemerintah harus melakukan reformasi sektor riil untuk mencegah hal tersebut. Pemerintah juga harus berkomitmen melindungi rakyatnya terutama para petani dan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dari rent seeker yang menempel di birokrat," kata Andy.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Rossanto Dwi Handoyo, meminta pemerintah untuk melakukan reformasi di sektor riil, khususnya bidang logistik. Sebab, dampak dari tak kunjung dibenahinya sektor logistik harga komoditas pangan dari daerah di luar Jawa begitu sampai di industri sudah terlampau mahal.
Pada akhirnya, hasil produksi mereka kalah dengan barang impor. Jagung misalnya, meskipun harga di sentra produksi seperti di Gorontalo (Sulawesi) hanya 3.000-an rupiah per kilogram, tetapi begitu sampai di Jawa sudah mahal.
Industri akhirnya berpikir kalau mengambil produk lokal tidak efisien, sehingga memilih impor karena lebih murah. Begitu juga ketika mendatangkan ikan pelagis ataupun gurita dari Wakatobi, Sulawesi Tenggara, yang sangat kaya akan hasil lautnya, karena ongkos logistik yang mahal tadi akhirnya industri lebih memilih impor dari luar.
Akibatnya, Wakatobi yang sebenarnya bisa menghasilkan 75 ribu ton ikan per tahun hanya memproduksi 20 ribu ton saja, karena kendala logistik dan pasar tadi. "Percuma daerah punya produksi, tetapi tidak diserap pasar sehingga percuma," papar Rossanto kepada Koran Jakarta, Kamis (6/10).
Intervensi seperti mendatangkan sapi dari Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), ke Jakarta dengan kapal pengangkut ternak sekali seminggu berlabuh ke Jawa dinilai bagus diterapkan pada komoditas lain sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi regional.
Di industri, reformasi struktural juga perlu karena kebanyakan industri di sektor hilir bahan bakunya bertumpu dari impor seperti otomotif dan elektronik.
Sementara itu, Pakar Pertanian dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Surabaya, Ramdan Hidayat, mengatakan kebijakan-kebijakan yang hanya menguntungkan importir atau rent seeker harus diakhiri. Sebagai gantinya, pemerintah harus menggenjot pengembangan subtitusi impor guna mencapai kemandirian pangan.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Daftar Nama Jemaah Haji Khusus Akan Transparan
- 2 Jangan Lupa Nonton, Film "Perayaan Mati Rasa" Kedepankan Pesan Tentang Cinta Keluarga
- 3 Sekolah Swasta Gratis Akan Diuji Coba di Jakarta
- 4 Perlu Dihemat, Anggaran Makan ASN Terlalu Besar Rp700 Miliar
- 5 Tetap Saja Marak, Satgas PASTI Kembali Blokir 796 Situs Pinjol dan Investasi Ilegal pada Oktober-Desember 2024
Berita Terkini
- Rel Kereta Ambles, KAI Daop Semarang: 10 Perjalanan KA Dibatalkan
- Gelar Kuliah Umum, PIP Semarang Hadirkan Ketua Alumni Lintas Kampus Pelayaran
- Wapres Gibran Serahkan 1.000 Paket Sembako untuk Warga Terdampak Bencana Pekalongan
- 6 Cara Menjaga Kesehatan Jantung Menurut Ahli Jantung
- Menag Nasaruddin Umar: Pesan Terpenting dari Peristiwa Isra Miraj adalah Shalat