Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
PERSPEKTIF

Perang Dagang Lagi?

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

Mulanya semua pihak optimistis perseteruan dagang Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok segera berakhir setelah keduanya berunding. Namun, mendekati tenggang waktu "gencetan bersenjata" berakhir, ternyata Presiden Donald Trump memberikan isyarat batal bertemu Presiden Xi Jinping sebelum tenggak waktu 1 Maret 2019.

Informasi itu seketika direspons negatif sejumlah bursa saham seperti Bursa Efek Indonesia (BEI) yang berakhir melemah sebesar 14,79 poin atau 0,23 persen menjadi 6.521,66. Demikian pula indeks Nikkei melemah 418,11 poin atau 2,01 persen ke 20.333,17, dan indeks Hang Seng melemah 43,89 poin atau 0,16 persen ke 27.946,32.

Investor tampaknya khawatir perang dagang akan membuat perekonomian menjadi tidak pasti. Betapa tidak, sebelum tensi perang dagang menurun, banyak negara terkena imbas perang tarif yang dilontarkan AS dan Tiongkok. Ya, waktu keduanya hampir habis untuk mencapai kesepakatan sebelum batas waktu yang ditetapkan, Trump memberlakukan kenaikan tarif atas barang-barang impor Tiongkok sebesar 200 miliar dollar AS.

AS mengatakan, tenggat waktu itu sulit. Trump juga telah menyarankan untuk memperpanjang negosiasi di luar akhir bulan jika ada kemajuan. Apalagi, Kepala Perunding Perdagangan AS, Robert Lighthizer, mengatakan, tidak ada kesepakatan yang bisa dicapai.

Namun, pejabat senior administrasi pemerintahan Trump mengatakan, keputusan tidak melanjutkan pertemuan Xi dan Trump sebelum 1 Maret, tidak boleh dibaca sebagai tanda perundingan macet. Namun, banyak pekerjaan yang masih perlu dilakukan oleh negosiator. Menurutnya, kedua presiden juga bisa berbicara melalui telepon.

Ada kekhawatiran di kalangan pejabat Gedung Putih bahwa Trump dapat menyetujui kesepakatan yang tidak membahas masalah inti seperti dugaan pencurian kekayaan intelektual Tiongkok. Tetapi, presiden dan pejabat senior lainnya telah secara terbuka menyatakan, negosiasi berjalan dengan baik dan kedua pihak terus menjembatani perbedaan di setiap pembicaraan.

Semoga kedatangan Kepala Perunding Perdagangan AS, Robert Lighthizer, dan Menteri Keuangan, Steven Mnuchin, pekan depan ke Beijing, akan memberi sentimen positif perekonomian global. Namun, kita mesti mencermati laporan Badan Perdagangan dan Pembangunan PBB (UNCTAD), beberapa waktu lalu, tentang rencana AS menaikkan tarif ke Tiongkok bulan depan dapat memicu kemerosotan ekonomi dan membiarkan negara-negara lain mengambil alih sekitar 200 miliar dollar AS ekspor Tiongkok.

Artinya, kenaikan tarif AS dan langkah pembalasan Tiongkok akan memicu penurunan ekonomi karena ketidakstabilan di pasar komoditas dan keuangan. Sementara itu, langkah-langkah perusahaan untuk beradaptasi akan memberikan tekanan pada pertumbuhan global. Ujung-ujungnya, akan ada perang mata uang dan devaluasi.

Atau stagflasi yang mengarah pada kehilangan pekerjaan dan pengangguran yang lebih tinggi. Runyamnya, negara-negara yang lebih kecil dan miskin akan kesulitan mengatasi guncangan eksternal itu. Selain itu, biaya yang lebih tinggi dari perdagangan AS-Tiongkok akan mendorong perusahaan-perusahaan beralih dari rantai pasokan Asia Timur saat ini.

Sebaliknya, dampak tarif akan menguntungkan perusahaan-perusahaan AS. Menurut UNCTAD, perusahaan-perusahaan AS akan menangkap 6,0 persen dari 250 miliar dollar AS ekspor Tiongkok yang terpengaruh. Sedangkan perusahaan-perusahaan Tiongkok akan mempertahankan 12 persen, meskipun biaya perdagangan lebih tinggi.

Negara-negara lain diperkirakan akan merebut 82 persen dari nilai ekspor Tiongkok 250 miliar dollar AS dan 85 persen dari ekspor AS senilai 85 miliar dollar AS yang terkena tarif. Lalu, apakah Indonesia mendapat apa dari kondisi ini? Semoga peluang itu ada sehingga perekonomian nasional tetap stabil dan makin kuat.

Komentar

Komentar
()

Top