Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Perang Dagang AS-Tiongkok

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Ronny P Sasmita

Ketegangan hubungan dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) terus berlanjut. Pada Selasa 3 April 2018 lalu, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump merilis proposal tarif impor hingga sebesar 25 persen terhadap sekitar 1.300 produk asal Tiongkok. Tak butuh waktu lama, hanya dalam hitungan jam, Tiongkok pun terpancing. Beijing langsung mengeluarkan balasan dengan mengumumkan bea masuk impor sebesar 25 persen untuk sekitar 106 produk AS.

Tak kepalang tanggung, proposal tarif impor Tiongkok dikenakan pada produk utama asal AS seperti kedelai, pesawat, mobil, whiskey dan bahan kimia. Jika dihitung, nilainya mencapai 50 miliar dollar AS. Tindakan balasan menjadi bukti pernyataan Kementerian Perdagangan Tiongkok yang akan mengambil langkah sama besar untuk membalas tarif impor AS.

Sebelumnya, US Trade Representative (USTR) merilis daftar usulan pengenaan tarif impor yang bernilai sekitar 50 miliar dollar AS juga terhadap produk Tiongkok. Dalam rincian daftar yang beredar, produk Tiongkok tersebut mayoritas berupa barang teknologi, transportasi, dan medis seperti antibiotik, robot industrial serta produk perakitan pesawat.

Pengenaan tarif impor tersebut selalu disebut sebagai hukuman bagi Tiongkok yang dituduh menjalankan praktik pelanggaran hak atas kekayaan intelektual milik perusahaan AS di Tiongkok. Tak hanya itu, pungutan juga untuk memangkas defisit perdagangan negeri Paman Sam dengan Tiongkok yang tahun lalu saja sudah mencapai 375 miliar dollar AS.

Daftar pajak impor yang diajukan USTR tidak termasuk produk yang berfokus konsumen seperti ponsel dan laptop yang dirakit di Tiongkok. Namun, tarif tersebut akan berdampak pada kendaraan bermotor listrik maupun berbahan bakar bensin dan komponen televisi layar datar. USTR menetapkan produk Tiongkok yang terkena tarif impor melalui algoritma yang didesain untuk memilih produk terdampak paling besar terhadap ekspor Tiongkok. Produk yang sekiranya akan mengganggu perekonomian AS dikecualikan dari daftar 1.300 tersebut, sedangkan produk yang masuk daftar, diperingkat sesuai dengan besarnya dampak bagi konsumen AS.

Tak pelak, aksi perang datang AS Tiongkok tersebut menggoyang bursa Asia. Sehari setelah aksi saling jegal, 4 April 2018, mayoritas bursa Asia memerah. MSCI Asia Pacific Index menurun 0,4 persen ke level terendah dalam lebih dari tujuh pekan. Ternyata, tanggapan Tiongkok lebih keras harapan pasar. Menurut beberapa analis pasar Asia, memang investor tidak memperkirakan reaksi Tiongkok seperti itu. Sehingga ketika kebijakan Trump berbalas, pasar langsung bereaksi negatif karena semakin diliputi ketidakpastian.

Transfer Teknologi

Harus diakui, di balik isu tarif tersebut, bagi AS terpenting dalam perdangangan dengan Tiongkok keprihatinan tentang kebijakan transfer teknologi yang diterapkan Beijing. Jadi, bukan pada ekspor baja dan alumunium yang disubsidi, misalnya. Walaupun subsidi tersebut merugikan produsen baja dan aluminium AS, harga lebih rendah juga membantu perusahaan AS yang menggunakan input baja dan alumunium. Ini juga menguntungkan konsumen yang membeli produk tersebut.

Tetapi, Tiongkok benar-benar merugikan kepentingan AS ketika dianggap telah mencuri teknologi yang dikembangkan perusahaan AS. Beberapa tahun lalu Tiongkok menggunakan keahlian cyber Peoples Liberation Army's (PLA) menginfiltrasi perusahan AS dan mencuri teknologinya. Pemerintah Tiongkok membantah tuduhan tersebut. Sampai akhirnya Presiden AS Barack Obama dan President Xi Jinping bertemu di California Juni 2013. Obama menunjukkan pada Xi detail bukti-bukti yang diperlihatkan cyber espionage AS. Akhirnya, Xi setuju bahwa Tiongkok tidak lagi menggunakan PLA atau institusi lainnya untuk mencuri teknologi AS.

Sejak itu, pencurian teknologi AS oleh perusahaan Tiongkok melalui cyber turun drastis. Namun, cara pencurian teknologi oleh Tiongkok pada perusahaan AS mengalami transformasi. Perusahaan AS yang ingin berbisnis di Tiongkok diharuskan melakukan transfer teknologi sebagai syarat masuk. Perusahaan AS terpaksa transfer teknologi agar dapat masuk ke pasar dengan 1,3 miliar penduduk dengan skala ekonomi terbesar kedua dunia itu.

Namun, para pengusaha AS mengeluhkan bahwa syarat transfer teknologi tersebut merupakan bentuk lain pemerasan Tiongkok terhadap AS. Bahkan mereka mengkhawatirkan, Tiongkok sengaja menunda persetujuan sedemikian rupa sehingga perusahaan domestik dengan menggunakan transfer teknologi tersebut telah menguasai pangsa pasar terlebih dulu. Pemerintah AS tidak dapat memakai cara tradisional untuk mengatasi perselisihan perdagangan dengan Tiongkok tersebut atau menggunakan prosedur World Trade Organization untuk menghentikan praktik culas Beijing tersebut.

AS juga tidak dapat membalas agar perusahaan Tiongkok yang beroperasi di AS melakukan transfer teknologi. Maklum Tiongkok tidak memiliki keunggulan teknologi melebihi AS. Maka, pemerintah AS kini menggunakan kebijakan tarif untuk menekan Tiongkok agar patuh dengan praktik bisnis yang sehat. Tim perunding AS akan menggunakan ancaman tarif lainnya pada Tiongkok untuk menekan agar kebijakan transfer teknologi perusahaan AS dihapuskan.

Kalau itu berhasil dan perusahaan AS yang melakukan bisnis di Tiongkok tanpa dipaksa membayar ongkos kompetisi yang sangat mahal, maka kebijakan ancaman tarif akan menjadi alat perdagangan internasional sangat mujarab. Tentu praktik ini akan berdampak pada perekonomian nasional. Produk-produk Tiongkok yang tidak dapat masuk ke AS akan mengalir ke negara lain, termasuk Indonesia.

Maka, perumus kebijakan publik Indonesia harus memperhatikan kepentingan industri nasional agar tidak gulung tikar. Sebab jika industri nasional dari hari ke hari kian menunjukkan tanda-tanda kebangkrutan, tidak hanya ketahanan industri nasional yang semakin lemah. Ini juga terkait tambahan pengangguran yang akan semakin berat di tengah pertumbuhan ekonomi yang terbilang kurang progresif.


Penulis Staf Ahli Komite Ekonomi dan Industri Nasional

Komentar

Komentar
()

Top