Basa-Basi Akhiri Batu Bara di COP26
Britain's President for COP26 Alok Sharma is applauded after making his concluding remarks during the COP26 UN Climate Change Conference in Glasgow on November 13, 2021. - Fourteen days of gritty negotiations by 20,000 diplomats from nearly 200 countries -- and the hopes of salvaging a deal at COP26 -- boiled down to cash, coal, compensation and the willingness to speed up the drawdown of fossil fuels.
Foto: Paul ELLIS / AFPKonferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-26 atau COP26 yang berlangsung di Glasgow, Skotlandia dari 31 Oktober telah berakhir Sabtu (13/11). Draf penting yang dihasilkan adalah tetap mengacu pada menurunkan secara bertahap penggunaan batu bara, bukan menghapus.
Menurut Menteri lingkungan dan iklim India, Bhupender Yadav, penggantian kata menghapus menjadi menurunkan secara bertahap diperlukan karena itu mencerminkan keadaan nasional negara-negara sedang berkembang. Dan juga sebagai upaya untuk membuat konsensus yang masuk akal untuk keadilan iklim.
Namun negara-negara maju seperti Uni Eropa, Swiss, dan negara-negara kepulauan kecil yang kelangsungannya terancam oleh naiknya permukaan air laut, kecewa dengan perubahan tersebut.
Swiss pantas kecewa dengan kesepakatan yang dihasilkan COP26 soal PLTU Batu Bara. Bagaimana tidak, di negara yang tidak mempunyai laut tersebut, salju mulai banyak menghilang. Hal itu besar kemungkinan karena pemanasan global.
Studi University of Geneva mengungkapkan bahwa salju secara bertahap menghilang dari dataran tinggi dan juga menjadi makin langka di tempat yang lebih tinggi. Zona salju abadi antara 1995-2005 yang masih tertutup ada sekitar 27 persen, sepuluh tahun kemudian wilayah tersebut telah turun menjadi 23 persen, hingga 2.100 km 2 atau setara dengan tujuh kali ukuran daerah kantung Geneva.
Bagi negara-negara kepulauan seperti Kiribati, Maldives, Fiji, Palau, Mikronesia, Vape Verde, Kepulauan Solomon, dan Kepulauan Marshal, meningkatnya permukaan air laut karena mencairnya gunung-gunung es di kutub akibat pemanasan global juga mengancam kehidupan mereka. Ribuan orang yang kehilangan tempat tinggal terpaksa mengungsi karena adanya bencana gelombang besar.
Pulau-pulau yang mereka diami perlahan tenggelam. Pulau Kiritimati di Samudera Pasifik yang merupakan bagian dari negara Kiribati, terancam tenggelam dan hilang dari peta dunia. Titik tertinggi Kiribati hanya 2 meter di atas permukaan laut (mdpl). Prediksi awal menyebutkan, Kiribati diperkirakan tenggelam 50 tahun lagi. Prediksi itu bisa lebih cepat jika pemanasan global yang salah satunya disebabkan masih beroperasinya PLTU Batu Bara.
Meski tidak separah yang dialami Swiss dan negara-negara kepulauan di Samudera Pasifik, pemanasan global juga dirasakan Indonesia. Di Jakarta Utara misalnya, masuknya air laut ke daratan atau dikenal dengan rob yang tadinya hanya menggenangi beberapa wilayah, kini sudah meluas hingga depan pintu masuk Tama Impian Jaya Ancol. Waktu surutnya pun kian panjang. Rob yang melanda Kaliadem, Jakarta Utara, sudah seminggu belum surut juga.
Melihat fakta tersebut, Indonesia seharusnya juga kecewa dengan keputusan COP 26 yang dalam draf-nya mengganti kata "menghapus" dengan "menurunkan" secara bertahap penggunaan batu bara.
Sangat disayangkan, draf terakhir pernyataan COP26 tidak menunjukkan komitmen yang tegas penentuan berakhirnya penggunaan batu bara, terkesan hanya basa-basi saja. Ini tidak beda jauh dengan komitmen G20 dalam pertemuannya di Roma 2 hari sebelum pembukaan COP26. Keputusan yang dicetuskan tidak memperbaiki masalah apapun untuk perubahan iklim.
Berita Trending
- 1 Mai Hang Food Festival Jadi Ajang Promosi Kuliner Lokal Labuan Bajo
- 2 Prabowo Dinilai Tetap Komitmen Lanjutkan Pembangunan IKN
- 3 Otorita Labuan Bajo: Mai Hang Food ajang promosi kuliner lokal
- 4 Gelar Graduation Development Program Singapore 2024, MTM Fasilitasi Masa Depan Lebih Baik untuk Pekerja Migran
- 5 Natal Membangun Persaudaraan