Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Gagasan

"Penumpang Gelap" Arus Balik

Foto : Koran Jakarta/ Ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Arfanda Siregar

Arus balik Idul Fitri mulai ramai. Bukan hanya pemudik yang kembali, banyak kerabat dari kampung halaman menjadi "penumpang gelap" menuju kota. Pergerakan arus balik bukan sekadar membawa pemudik, pendud uk desa yang terpana "penampilan" penduduk kota yang pulang kampung, tergoda ingin mencicipi gemerlap kota dan Ibu Kota.

Penumpang gelap pada arus balik bukan persoalan sepele bagi kota. Jumlah mereka tak sedikit karena bisa mencapai ratusan ribu jiwa menuju kota, seperti Surabaya, Jakarta, Medan, Bandung, dan lain-lain. Kementerian Perhubungan meramalkan sejuta pendatang baru bakal memadati Jakarta usai Lebaran Jakarta yang luasnya hanya sebesar Singapura bakal mendapat tambahan seperempat penduduk kota singa itu.

Padahal dengan kondisi sekarang saja wajah Jakarta sudah semerawut. Apalagi ditambah dengan kedatangan sejuta kaum urban. Dalam sudut pandang kependudukan, keberadaaan penumpang gelap tersebut diistilahkan dengan urbanisasi. Urbanisasi pascamudik sering diistilahkan dengan migrasi berantai karena perpindahan penduduk ke kota disertai kerabat yang memiliki hubungn darah.

Atas dasar jaminan kerabat, pendatang baru ke kota besar berani ambil risiko, meskipun bekal dan keterampilan sangat minim. Padahal, mencari perkerjaan tanpa keterampilan di kota amat sulit. Banyak cerita tentang pencari kerja yang akhirnya jatuh ke lembah "hitam" kehidupan. Kaum wanita terpaksa berkerja di panti pijat dan rumah bordil.

Sementara itu, kaum pria ada yang menjadi pelaku kriminal. Memang, ada juga cerita sukses menyertai kaum urban. Namun, itu hanya sedikit, lebih banyak cerita kegagalan. Di balik kilau, kota mempunyai keterbatasan daya dukung lahan, kapasitas infrastruktur, peluang kerja, atau sarana publik. Orang-orang yang beruntung akan menjadi contoh sukses bagi kerabat di desa.

Sedangkan yang kurang beruntung dituduh menjadi biang ketidaknyamanan kehidupan kota. Celakanya, kebanyakan para pengadu nasib bagian dari cerita gagal tersebut. Akibatnya, para pengelola kota yang sudah kerepotan mengurus mereka yang telanjur berada di kota berusaha keras menangkal kehadiran para pencari kerja baru.

Banyak upaya dilakukan seperti melalui operasi operasi yustisi atau pembuatan KTP lokal. Namun, hasilnya belum signifikan mengurangi laju pertumbuhan penduduk. Buku Cities, Poverty and Development: Urbanization in the Third World karangan Gilbert & Gigler menyebutkan, banyak literatur menemukan bukti bahwa motivasi utama urbanisasi masalah ekonomi. Ini terutama di Asia, Afrika dan Amerika Latin.

Bukti-bukti tersebut ditemukan Simmonz, Diaz-Briquette dan Laquian (1977), yang menguatkan penemuan Shaw (1975) dan Lowder (1978). Bahkan Yap (1990) lebih jauh telah membuat model ekonometri atas korelasi antara perbedaan pendapatan desa-kota dengan arus urbanisasi. Sepanjang pemerintah era reformasi, kemajuan ekonomi selalu diidentikkan dengan pertumbuhan.

Pertumbuhan ekonomi selalu menjadi klaim kesuksesan pemerintah. Namun faktanya, pertumbuhan tersebut bukan merepresentasikan kesejahteraan seluruh rakyat. Pertumbuhan ekonomi hanya dirasakan segelintir rakyat, khususnya orang kaya yang tinggal di kota besar. Sementara itu, mayoritas rakyat negeri ini sama sekali belum merasakan pertumbuhan ekonomi, sehingga setiap tahun, khususnya pascamudik makin banyak urban ke ibu kota.

Saat ini, 60 persen penduduk Indonesia berada di perdesaan dan 40 persen di perkotaan. Artinya, sebagian besar penduduk yang tak menikmati berkah pertumbuhan ekonomi berasal dari desa. Maka, wajar mereka berobsesi pindah ke kota demi mendapat kehidupan yang lebih baik.

Paduan

Selama ini pemerintah hanya bisa menciptakan konsentrasi ekonomi di kota besar Pulau Jawa seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, sehingga orang berbondong-bondong menuju tiga kota itu. Strategi pembangunan yang berorientasi ke desa perlu digalakkan. Salah satu strategi penting yang dapat diterapkan dalam mengembangkan ekonomi perdesaan memadukan antarasektor. Dengan begitu, diharapkan dapat mendorong dan merangsang pertumbuhan sektor-sektor ekonomi perdesaan dan menciptakan peluang kerja.

Selama ini, desa hanya berfungsi sebagai penghasil komoditas. Alangkah lebih baiknya seluruh subsektor penunjang produksi komoditas juga dbangun di desa. Dengan demikian, keterpaduan tersebut mampu menciptakan kaitan-kaitan antara usaha skala kecil dan besar. Keterkaitan seperti ini dapat membantu alih teknologi, peluasan pasar, ataupun bantuan modal kepada usaha kecil.

Menurut Ranis, Stewart, dan Reyes, keterkaitan merujuk pada berbagai macam interaksi dan saling hubungan antarkegiatan ekonomi. Keterpaduan dapat membantu mengidentifikasi sifat dan dampak interaksi antarkegiatan ekonomi. Identifikasi ini mempunyai implikasi kebijakan penting untuk pengembangan ekonomi.

Hal ini tidak hanya dapat meningkatkan keseimbangan pengembangan ekonomi wilayah, tapi juga membantu merangsang pertumbuhan ekonomi baik sektor pertanian maupun nonpertanian (industri perdagangan dan jasa), yang pada gilirannya dapat dipakai sebagai pola dasar pembangunan menyeluruh (Rara : 2011).

Selain itu, pemerintah pusat juga perlu mengembangkan kota-kota kecil di daerah sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru. Cara ini mendapat respons positif dari berbagai negara dan menjadi bahan kajian badan kependudukan dunia dalam rangka membangun kemajuan suatu bangsa. Kajian itu didasarkan atas pemikiran bahwa urbanisasi merupakan salah satu wujud modernisasi, sehingga perlu dikelola secara baik. Dalam jangka panjang, jika pemusatan pembangunan diarahkan ke desa, tidak ada lagi penumpang gelap yang menyertai arus balik.

Penulis Dosen Politeknik Negeri Medan, Doktor PTK UNP

Komentar

Komentar
()

Top