Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Sejarah Afrika Selatan

Penemuan Emas Ubah Wajah Johannesburg

Foto : Istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Wilayah Johannesburg awalnya hanya berupa wilayah pertanian biasa. Ketika emas ditemukan pada pada tahun 1884, kota ini menjadi sangat ramai.

Dengan penduduk sebanyak 6,5 juta jiwa, Johannesburg adalah kota terbesar di Afrika Selatan dalam hal populasi, meski populasinya tidak seberapa dibandingkan dengan kota-kota besar lain di Afrika seperti Kinshasa, Lagos, dan Kairo, yang masing-masing memiliki populasi lebih dari 10 juta.

Walaupun jumlahnya kalah jauh, Johannesburg sejauh ini merupakan kota terkaya di Afrika. Untuk kota yang masih sangat muda, pertumbuhannya dari kota pertambangan ini menjadi pusat bisnis Afrika sangat pesat dan terus menarik para imigran yang mencari kehidupan yang lebih baik.

Dikenal dengan sebutan sehari-hari sebagai "Jozi" atau "Jo'burg," Kota Johannesburg juga dikenal dengan nama eGoli. Nama ini diambil dari sebuah kata dari bahasa Zulu yang berarti "Tempat Emas". Nama ini dinilai sangat tepat karena kota ini tumbuh berkat adanya pertambangan emas.

Wilayah tersebut telah dihuni oleh para pemburu-pengumpul San dan kemudian orang-orang Sotho-Tswana yang membangun kota-kota di area yang sekarang ditutupi oleh perluasan Johannesburg yang sangat besar.

Pada tahun 1884, emas ditemukan di sebuah pertanian di Witwatersrand. Dua tahun kemudian tepatnya pada 1886, pencari emas dari Australia, George Harrison, menemukan bongkahan emas utama di kota ini.

Dengan cepat, disadari bahwa area tersebut sangat kaya akan emas dan demam emas besar-besaran pun terjadi. Para pencari emas dan buruh berbondong-bondong ke area tersebut. Di tempat itu sebuah kamp penambangan didirikan. Pada Agustus 1886, kamp tersebut telah dihuni oleh hingga mencapai 3.000 penduduk. Pada Oktober, kamp tersebut diberi nama Johannesburg.

Pada Desember, daerah tersebut, yang mencakup beberapa peternakan yang ditetapkan sebagai lokasi penggalian umum, dibagi lagi dan dimasukkan ke dalam blok lelang. Perusahaan pertambangan emas didirikan dan dipindahkan ke daerah tersebut, dan dalam waktu sepuluh tahun, Johannesburg memiliki 100.000 penduduk.

Penduduknya merupakan campuran dari berbagai etnis. Para penambang terampil sebagian besar adalah keturunan Eropa dan berasal dari berbagai wilayah di seluruh dunia. Sementara pria Afrika dipekerjakan untuk pekerjaan tidak terampil.

Segala macam industri pendukung bermunculan. Kaum perempuan Afrika membuat bir, sementara orang Afrikaner yang miskin berbondong-bondong ke wilayah tersebut untuk mencari pekerjaan. Tentu saja, kota ini juga menarik orang-orang yang tertarik pada profesi yang tidak terhormat seperti pelacur dan gangster.

Sejak awal, Johannesburg adalah kota apartheid sebelum konsep apartheid diciptakan sebagai kebijakan politik oleh rezim pemerintahan di di negara Afrika Selatan. Orang-orang dipisahkan berdasarkan ras. Mereka yang berasal dari Eropa tinggal di daerah yang lebih makmur, sementara orang Afrika ditempatkan ke daerah kumuh.

Sistem Apartheid

Pada saat itu, Afrika Selatan bukanlah negara yang bersatu. Wilayahnya terbagi menjadi empat wilayah besar. Pertama adalah Provinsi Cape dan Natal dimiliki oleh Kerajaan Inggris, sementara Negara Bebas Oranye dan Republik Afrika Selatan (juga dikenal sebagai Transvaal) adalah negara-negara merdeka yang dikuasai oleh kaum Boer (petani).

Kaum Boer atau Afrikaner sebagai Uitlanders, adalah orang miskin yang juga mencari kehidupan yang lebih baik di Johannesburg. Kota ini sendiri terletak di Republik Afrika Selatan. Orang Boer menciptakan daerah kumuh di pinggiran kota.

Seiring dengan berkembangnya industri emas, populasi kota Johannesburg pun ikut berkembang. Seiring dengan masuknya orang-orang Inggris, tambang emas tersebut menarik perhatian serakah Kerajaan Inggris. Dengan harapan dapat mempengaruhi dinamika populasi Republik Afrika Selatan, Inggris mendorong migrasi ke Johannesburg dan mereka yang bermigrasi itu disebut dengan istilah Uitlanders.

Bagi kaum Boer, hal ini merupakan bahaya. Jika kaum Uitlanders dapat memilih pemerintahan yang bersimpati kepada Kerajaan Inggris untuk berkuasa, itu akan berarti berakhirnya kemerdekaan. Hubungan antara kaum Boer dan Uitlanders pun memburuk karena ketegangan politik.

Pada tahun 1899, Republik Afrika Selatan bersama dengan sekutunya, Negara Bebas Oranye, berperang dengan Kerajaan Inggris. Pada pertengahan tahun 1902, Perang Inggris-Boer Kedua berakhir. Itu adalah peristiwa yang sangat berdarah yang ditandai dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

Meskipun demikian, Inggris telah menang, dan Republik Boer, beserta deposit emas mereka yang melimpah, kini berada di bawah kendali Kekaisaran Inggris. Setelah Inggris mengambil alih, protokol ketat diberlakukan yang semakin memperparah kesenjangan rasial.

Orang kulit hitam dipaksa menerima upah apapun yang bersedia ditawarkan orang kulit putih. Sebagai akibat dari praktik pembayaran upah yang rendah, terjadi kekurangan tenaga kerja. Untuk mengatasinya Inggris mendatangkan 60.000 pekerja dari Tiongkok.

Pada tahun 1910, Uni Afrika Selatan menjadi wilayah kekuasaan yang memerintah sendiri di dalam Kerajaan Inggris. Kota Johannesburg yang sebelumnya sudah sarat dengan isu ras pada tahun-tahun pertama abad ke-20 menjadi tempat bagi Mohandas Gandhi menemukan jati dirinya.

Undang-undang ras terhadap orang India menjadi perhatian utamanya, dan sebagai seorang pengacara, ia merasa berkewajiban untuk memperjuangkan dan melawan undang-undang yang menurutnya tidak adil. Selama bertahun-tahun, ia memimpin gerakan perlawanan tanpa kekerasan.

Upaya Gandhi itu mengakibatkan ia ditangkap dan dipenjara sebelum akhirnya mencapai kesepakatan dengan pemerintah. Hasilnya, Undang-Undang Bantuan bagi Orang India tahun 1914 disahkan. Setelah usahanya tercapai, Gandhi kembali ke India.

Ketika Perang Dunia Pertama meletus, Afrika Selatan menyatakan perang terhadap blok Sentral (Jerman, Austria-Hongaria, Turki Utsmani, dan Bulgaria). Selama empat tahun berikutnya, ekonomi Afrika Selatan diarahkan untuk mendukung peperangan.

Setelah perang, penurunan harga emas menyebabkan perusahaan mencoba mengurangi biaya mereka dengan menurunkan upah dan mempekerjakan orang Afrika dengan mengorbankan pekerja kulit putih. Pada tahun 1920, 70.000 pekerja Afrika melancarkan aksi mogok untuk menuntut upah yang lebih baik. Aksi mogok tersebut kemudian dipadamkan oleh tentara.

Dua tahun kemudian, api kembali berkobar ketika Partai Komunis Afrika Selatan (SACP) mendorong aksi mogok lainnya. Kali ini oleh orang kulit putih yang menentang pelemahan batasan warna. Tindakan ini menyebabkan SACP menonjol dalam lingkup politik Afrika Selatan. Partai tersebut terus memegang pengaruh politik yang signifikan dalam politik Afrika Selatan hingga saat ini.

Jatuhnya apartheid dan pemilihan umum tahun 1994 menandai dimulainya era baru bagi Afrika Selatan. Undang-undang ras di Johannesburg menghilang seperti halnya di seluruh negeri, dan kelompok ras mulai bercampur lagi.

Namun, tahun-tahun setelah apartheid tidak sepenuhnya menyenangkan dan membahagiakan. Kejahatan menjadi masalah akut yang terus berlanjut hingga saat ini, yang menyebabkan banyak bisnis berpindah dari pusat kota ke pinggiran kota.

Dalam beberapa tahun terakhir, Johannesburg memiliki reputasi negatif sebagai kota dengan daerah kumuh yang luas, kekerasan, dan polusi. Namun, ada sisi lain kota ini yang menjadikannya tujuan wisata populer. Kota ini merupakan rumah bagi tidak kurang dari 150 situs warisan, banyak diantaranya merupakan monumen nasional yang memperingati sejarah kota dan keberagaman multiras. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top