Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Pendidik di Tahun Politik

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Tri Pujiati

Masalah klasik yang kerap menghantui dunia pendidikan adalah politisasi guru (pendidik). Pendidik kerap kali menjadi objek yang tidak menguntungkan. Di satu sisi, ketika pendidik ikut berpolitik secara langsung dianggap telah "melacurkan" fungsinya sebagai pencerdas bangsa, namun ketika tidak berpolitik (apolitis), karier sebagai guru menjadi pertaruhan.

Inilah mengapa posisi pendidik menjadi sangat dilematis. Lebih jauh lagi, keterlibatan pendidik juga menentukan arah kebijakan di dunia pendidikan. Jika tidak berpolitik, bisa-bisa kebijakan pendidikan juga menjadi korban kepentingan politik.

Diakui atau tidak, kebijakan sektor pendidikan merupakan hasil kerja-kerja politik. Mustahil Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang melimpah sebesar 20 persen terealisasi andai tidak ada lobi-lobi politik. Edward Fiske dalam bukunya Decentralization of Education (1998) mengemukakan bahwa pendidikan merupakan konsensus politik.

Namun sayang, dari setiap kandidat yang bertarung dalam kontestasi politik, baik kepala daerah maupun pemilihan presiden, isu pendidikan kerap dianaktirikan, kecuali berkaitan dengan lumbung suara. Ketika kandidat dihadapkan pada problem pendidikan, mereka kerap tidak memiliki desain utuh untuk mereformasi pendidikan. Akhirnya, pendidikan hanya menjadi komoditas politik sesuai dengan kehendak penguasa.

Lain pendidikan, beda pula dengan pendidik yang tetap menjadi lahan basah untuk dipolitisasi. Padahal, jumlah guru tidak begitu signifikan. Lalu, apa yang bisa diharapkan dari seorang pendidik di tahun politik? Tidak ada jalan lain, kecuali mengincar pengaruhnya di hajatan demokrasi. Disadari atau tidak, pendidik memang tidak seberapa dibanding suara lain seperti buruh atau petani. Hanya, pengaruh pendidik di daerah sangat tinggi. Ini memungkinkan menarik massa.

Contoh, jika ada seorang pendidik di desa dan sudah mendapat kepercayaan masyarakat, mereka tidak hanya dipercaya mendidik buah hatinya. Mereka juga bisa menjadi referensi politik masyarakat. Anasir tersebut dengan mudah diamati di perdesaan yang banyak wali murid menyerahkan suaranya hanya karena pertimbangan karismatik seorang pendidik. Masyarakat menganggap pilihan pendidik merepresentasikan kebaikan.

Ini tentu saja bukan pendidik biasa layaknya guru sekolahan. Mereka biasanya tokoh yang memiliki karisma kuat. Jadi tidak mengherankan bila posisi pendidik tersebut sangat diperhitungkan dalam strata sosial. Maka, tidak mengherankan jika politisi ingin menggaet.

Pendidik memiliki massa pemilih dewasa dan pemula. Kedekatan pendidik terhadap pemilih pemula tidak bisa hanya dimaknai sebagai interaksi antara guru dan siswa, tapi sebagai trah seorang pendidik. Sebagai pemilih pemula, siswa lebih rela mengikuti arahan pendidik. Mereka takut "kualat" apabila membangkang.

Banyak Suara

Jadi, banyak suara yang dapat dikeruk kandidat kepala daerah atau capres jika berhasil menggoda pendidik menjadi tim suksesnya. Selain eksistensi pendidik yang berdiri otonom, ada juga ikatan atau organisasi keguruan yang bisa dijadikan ladang pendulang suara. Misalnya, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).

Organisasi ini juga memiliki ranting yang menjalar sampai tingkat kecamatan. Selain itu, ada juga Ikatan Guru Indonesia, Federasi Serikat Guru Indonesia, Federasi Guru Independen Indonesia. Mereka memang tidak seberapa. Akan tetapi jika organisasi keguruan dapat "dipolitisasi" dengan berbagai kontrak politik, bisa jadi suara mereka sangat menentukan.

Apalagi, sejauh ini keberadaan pendidik non-PNS kerap kali tercekik oleh persoalan kesejahteraan. Jika ada kandidat mampu meyakinkan mereka, bukan tidak mungkin bisa menjadi pundi-pundi suara di pilkada ataupun pilpres.

Menjadi pendidik memang sangat dilema. Di satu sisi, jika berperan aktif di dunia politik atau bahkan menjadi tim sukses dan menang, kariernya akan cemerlang. Di sisi lain, jika seorang guru tidak larut dalam politik kekuasaan, bisa jadi kariernya biasa-biasa saja. Bahkan posisi pendidik yang sudah nyaman, namun tidak ada membantu penguasa, lambat laun akan diganti yang memenangkan penguasa. Lalu, bagaimana seharusnya posisi pendidik di tahun politik?

Bagi seorang pendidik, politik merupakan instrumen penting untuk mengelola kesejahteraan serta mencerdaskan publik. Sebab seorang pendidik tidak hanya bertugas di ruang kelas.

Namun, juga harus berkecimpung di tengah-tengah masyarakat. Mustahil bagi seorang guru jika lepas dari dunia politik. Bagaimanapun, mereka merupakan soko guru yang bisa dipercaya mentransfer pendidikan politik kepada warga. Sebagai seorang pendidik, menyedihkan rasanya apabila ada siswa atau masyarakat yang bertanya tentang politik, tapi guru tidak paham.

Baca Juga :
Olahraga dan Politik

Seorang guru tentu tidak boleh terlibat langsung dalam politik praktis, apalagi mendukung langsung kandidat. Mereka harus memberi politik edukatif kepada publik. Warga tidak bisa menaruh harapan besar kepada politisi ataupun parpol dalam pendidikan politik. Bagaimanapun, mereka memiliki kepentingan pragmatis seperti mendulang suara. Dalam posisi ini, politisi dan parpol sulit untuk independen dalam pendidikan.

Organisasi atau serikat guru dinantikan perannya untuk mengampanyekan pendidikan politik, jangan hanya mengurusi kesejahteraan guru. Seorang pendidik membawa dan menyebarkan kabar baik, termasuk dalam politik. Sebab ini juga sebagai bagian mencerdaskan bangsa.


Penulis Dosen IAIN Kudus

Komentar

Komentar
()

Top