Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Pendanaan Terorisme

Foto : ISTIMEWA

Romli Atmasasmita, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran

A   A   A   Pengaturan Font

Diawali oleh International Convention for the Suppression of the Financing Terrorism pada 1999, Indonesia telah meratifikasi konvesi tersebut dengan Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2006. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan untuk memperkuat UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, UU Nomor 15 tahun 2003 yang telah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2018.

Sehubungan dengan perkembangan terorisme yang semakin meningkat, dengan sarana prasarana, termasuk pendanaan yang kuat, maka politik hukum pemberantasan tindak pidana terorisme harus berubah, dari yang awalnya fokus pada perorangan atau kelompok orang, kemudian beralih pada pendanaannya.

Di dalam UU Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme telah diatur definisi pendanaan terorisme. Pendanaan terorisme yaitu segala perbuatan dalam rangka menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan dana, baik langsung maupun tidak langsung dengan maksud untuk digunakan dan/atau yang diketahui akan digunakan untuk melakukan kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris.

Makna di balik definisi tersebut adalah pendanaan terorisme secara hukum merupakan delik formil, seketika selesai perbuatan tersebut dalam definsi tersebut maka perbuatan pendanaan dianggap sempurna dan lengkap (voltoid).

Fokus atau objek sasaran UU Pendanaan Teroris berbeda dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Teroris, yaitu antara lain definisi tindak teroris merupakan delik materiil. Delik menjadi sempurna jika telah terjadi akibat dari perbuatan, seperti menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan satu kehancuran pada objek vital yang strategis atau fasilitas publik atau lingkungan hidup atau fasilitas internasional.

Ancaman pidana tindak pidana terorisme paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup atau pidana mati. Sedangkan tindak pidana pendanaan terorisme diancam pidana paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

Pengumpulan Dana

Perkembangan terorisme semakin meningkat telah terbukti tidak hanya gerakan orang-orang penganut terorisme, akan tetapi juga gerakan pengumpulan dana dengan berbagai cara.

Contoh di Indonesia, melalui gerakan kemanusiaan seperti organisasi HASI dan gerakan serentak pengumpulan dana melalui seminar dan menempatkan "kencleng" di setiap diskusi dengan topik konflik Suriah atau di masjid-masjid tertentu yang berafiliasi dengan JI dan HASI.

UU Pendanaan Terorisme harus diperkuat dengan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencucian Uang; jika tidak didakwa dengan pencucian uang akan sulit mendeteksi aliran dana (flow of money) sampai kepada sumber resmi atau tidak resmi asal-usul sumber pendanaan yang dilengkapi dengan prinsip mengenal nasabah perbankan atau know your customer atau customer due diligence.

Begitu pula dengan UU tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dapat dilakukan pembekuan dana yang dicurigai untuk kegiatan terorisme dan dilakukan pembekuan dana dimaksud atau freezing dilanjutkan dengan penyitaan dan pencekalan pelakunya.

Sekalipun Undang-Undang terkait terorisme dan pendanaan terorisme telah memadai, akan tetapi karena masyarakat Indonesia umumnya beragama Islam maka tidak mudah untuk melumpuhkan gerakan JI dan terorisme, memerlukan kehati-hatian. Contohnya, di Kabupaten Garut sejumlah santri di sebuah pondok pesantren telah dibaiat tentang jihad yang menyesatkan santri-santrinya tanpa diketahui dan disadari kegiatan tersebut telah meningkat dan meluas, satu dan lain hal penyebabnya, dukungan dari dalam maupun negara lain seperti Suriah dan Yaman.

Di Indonesia, semula gerakan terorisme menggunakan kelompok miskin dan berpendidikan rendah untuk melakukan bom bunuh diri, setelah peristiwa bom Marriott dan Surakarta, telah diubah dengan menyusup ke dalam kelompok menengah dan kalangan intelektual /terdidik sehingga perubahan strategi adalah membangun generasi muda Islam melalui pondok pesantren di pelosok wilayah seperti di Kabupaten Garut baru-baru ini dengan tujuan mempersiapkan pembentukan Negara Islam Indonesia (NII).

Di kalangan pemuda, seperti organisasi HTI yang telah dibekukan, telah berhasil merekrut jutaan pengikut dengan pekik perjuangan jihad dan saat ini telah menjadi organisasi bawah tanah dan diperkuat oleh organisasi HASI dengan kedok organisasi kemanusiaan internasional (humanitarian international organization) dipimpin tokoh intelektual sekaligus pemimpin JI, dr Sunardi (almarhum) dan pengurus lain yang banyak berprofesi sebagai dokter karena label organisasi kemanusiaan tersebut.

Bagaimana peraturan perundang-undangan terorisme mengantisipasi dan mencegah serta melakukan penindakannya. Sampai saat ini, keberhasilan penindakan dan penghukuman telah menunjukkan keberhasilan maksimal dari Densus 88 Antiteror sejak Bom Bali sampai terakhir, melumpuhkan pimpinan "organisasi kemanusiaan" HASI di Surakarta.

Namun, disadari kegiatan terorisme berkelindan di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, terutama umat Islam dengan ajaran berkedok Islam, diperlukan perubahan srategi yaitu pencegahan proaktif-preventif yaitu dengan melakukan program sosialisasi dan program deradikalisasi dibantu rohaniwan dan mantan teroris yang telah bertobat dan setia kepada Pancasila dan UUD 1945 diperkuat melalui pembentukan Badan Nasional Pencegahan Terorisme atau BNPT.

Dua lembaga yang berhubungan dengan terorisme, BNPT dan Densus 88 Antiterror Mabes Polri, kini berjalan berdampingan untuk bersama-sama mewujudkan strategi pencegahan dan pemberantasan dengan harapan meminimalisasi pertumbuhan jarigan terorisme sekaligus mengurangi kegiatan terorisme.

Tiga peraturan perundangan yang kini berlaku yaitu UU Nomor 15 Tahun 2003 yang diubah UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; UU Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, selalu menjadi back-up mencegah dan menindak gerakan terorisme beserta pendanaan terorisme dan menelusuri (tracing), pembekuan dan menemukan sumber pendanaan terorisme.

Harapan masyarakat Indonesia adalah terorisme menghilang dari Tanah Air kita dengan semboyan bahwa Islam dan ajaran Islam bukan terorisme dan terorisme bukan Islam dan ajaran Islam.


Redaktur : -
Penulis : -

Komentar

Komentar
()

Top