Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
GAGASAN

Pemilu dan Kaum "Oligark"

Foto : KORAN JAKARTA/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

Masyarakat pada umumnya hanya tahu bahwa untuk menjadi calon presiden dan kepala daerah membutuhkan dana yang sangat besar. Mereka tentu tidak tahu asal-usul uang. Pemilihan presiden dan kepala daerah langsung yang selama ini dianggap mengurangi "politik uang" sebenarnya tidak seluruhnya benar. Pemilihan justru menyuburkan praktik oligarki kekuasaan politik.

Secara sederhana, oligarki menunjuk pada sekelompok orang yang mempunyai keunggulan sumber daya material sebagai kekuatan ekonomi dan politik. Oligarki melekat pada kekuasaan dalam suatu pemerintahan. Robinson dan Hadiz (2014) pernah mengatakan, oligarki sebagai "Sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan konsentrasi kekayaan, otoritas, serta pertahanan kolektif atas konsentrasi kekayaan."

Jika kaum oligark terlibat atau sengaja melibatkan diri dalam politik, akan berperan dalam memengaruhi kebijakan pemerintahan terpilih. Dengan kata lain, kaum oligark memberi sejumlah dana untuk mendapat beberapa keuntungan material dari penguasa yang didukung. Beberapa oligark terlibat langsung dalam kekuasaan saat beroperasi dalam partai dan bersaing memperebutkan kekuasaan.

Alasannya, oligark adalah aktor yang diberdayakan oleh kekayaan serta sumber daya paling menonjol di antara bentuk-bentuk kekuasaan lainnya (Winters, 2014). Oligarki adalah produk sistem politik modern yang mengontrol kebijakan politik. Mereka umumnya selalu melihat kecenderungan politik. Kalau perlu bermain di dua atau beberapa kaki.

Jika kaki satunya gagal, masih ada kaki lain. Intinya mendukung lebih dari satu kandidat. Untuk mewujudkan ambisinya, para oligark ini juga menguasai media. Alasannya, media menjadi jembatan paling penting dalam usaha memuluskan keinginan politiknya. Jadi, para oligark ini mendukung kekuasaan seseorang didukung media-media.

Kekuasaan politik di Indonesia setali tiga uang antara pemerintah, media, dan kaum oligark. Perilaku kaum oligark dalam konstelasi politik ada beberapa poin kunci dan asumsi untuk mengamati perilaku mereka. Oligark punya sumber daya kekayaan yang melimpah. Mereka mempunyai kepentingan atas bisnis. Keterlibatan oligark dalam politik hanya jembatan usaha memengaruhi kebijakan agar menguntungkan dirinya. Dalam perseteruan politik yang menang menetapkan oligarki kekuasaan.

Politik dan kekayaan sebagai dua modal utama kekuasaan politik, di samping dukungan rakyat. Itu berarti untuk menjadi penguasa nasional atau daerah dibutuhkan dana tidak sedikit. Modal kekuatan politik saja tidak cukup. Dalam masyarakat mengambang seperti Indonesia, peran dana sangat penting. Politik belum rasional karena perlu dukungan dana besar.

Dana ini akan menentukan tidak saja di tingkat partai politik, tetapi cara seorang kandidat yang sebelumnya tidak diperhitungkan bisa mempunyai elektabilitas tinggi. Saat masih menjadi Wali Kota Solo, Joko Widodo (Jokowi) tidak begitu dikenal dalam lingkup nasional saat diminta Prabowo Subianto menjadi kandidat Gubernur DKI Jakarta.

Bahkan PDIP sekalipun masih ragu mendukungnya. Namun demikian, dengan dukungan politik tinggi dan tentu saja dana yang tidak sedikit, dia dipoles agar layak menjadi gubernur di ibu kota negara. Dalam hal ini peran kaum oligark tidak bisa dipandang sebelah mata. Waktu mendukung Jokowi jadi gubernur, tentu saja Prabowo mengharapkan lebih dari sekadar dukungan politik.

Namun dukungan dalam skala lebih luas, yakni presiden. Meskipun dengan berbagai kepentingan, akhirnya justru Jokowi yang sebelumnya "dibawa" ke Jakarta, akhirnya menjadi seteru utama Pilpres 2014. Tak terkecuali, saat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi kandidat kuat gubernur DKI. Dukungan kaum oligark tentu tidak akan sedikit. Bagaimana dengan Anis Baswedan? Tidak jauh berbeda. Sebagaimana Jokowi dan Ahok, Anis cukup duduk manis dan "mesin politiknya" yang bekerja. Tentu saja, ini tidak mengurangi kapabilitas serta elektabilitas ketiga orang itu.

Perseteruan

Perilaku kaum oligark juga sangat terlihat saat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden. Sejumlah oligark mendukung penuh untuk periode ke-2 SBY menjadi presiden. Kenyataan itu juga akan berlaku bagi Jokowi dan Prabowo saat maju menjadi kandidat presiden, bahkan pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 nanti.

Masalahnya, mengapa kaum oligark berkepentingan dalam politik seperti Indonesia? Mereka tentu berkepentingan atas sumber daya materi Indonesia yang sangat berlimpah. Sejak Orde Baru (Orba) kaum oligark telah diberi kelonggaran untuk mengembangkan bisnis dan menguasai hampir semua sumber daya ekonomi Indonesia.

Untuk melanggengkan posisinya, tidak ada cara lain, kecuali ikut bermain dalam politik. Harapannya akan dapat keuntungan tertentu. Mereka bisa bermain dari tingkat partai atau individu yang akan terjun dalam politik. Mereka harus memainkan uangnya untuk memengaruhi politik, hukum, dan jabatan. Inilah sebenarnya yang perlu dijelaskan kepada masyarakat bahwa hiruk-pikuk politik sebenarnya perseteruan antara kaum oligark dalam memperebutkan kekuasaan ekonomi politik.

Rivalitas Jokowi dan Prabowo juga perseteruan antarkaum oligark. Oposisi ingin merebut. Sedangkan penguasa tetap akan bertahan dengan segala cara. Sementara itu, rakyat akan terus menjadi korban perseteruan. Melihat kondisi begitu, tak heran Indonesia negara demokrasi tanpa hukum (Winters, 2014). Nyatanya, sejak dulu persoalan hukum mandul jika sudah berurusan dengan kekuasaan.

Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Jika berbagai penegakan keadilan tidak bisa dilakukan dan kesejahteraan rakyat tidak meningkat, maka isu agama akan terus menjadi dagangan politik pada setiap pemerintahan. Hiruk-pikuk pemilu mendatang sebenarnya masih menunjukkan perseteruan antarkaum oligark dengan memanfaatkan rakyat sebagai pendukung utama.

Tak heran masyarakat sangat sensitif pada berbagai macam isu karena memang dipermainkan untuk memenangkan kompetisi politik. Jika begitu terus keadaannya, revolusi akan menjadi tujuan akhir untuk mengubah berbagai kepentingan politik yang seharusnya memihak rakyat.

Nurudin, Dosen Universitas Muhammadiyah Malang

Komentar

Komentar
()

Top