Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Prospek Ekonomi I Tidak Lebih Baik dari 2023

Pemerintah Realistis Pertumbuhan Ekonomi 2024

Foto : ISTIMEWA

SRI MULYANI INDRAWATI Menteri Keuangan - Risiko penurunan pertumbuhan ekonomi berasal dari berbagai faktor, yakni inflasi yang bertahan tinggi, pelemahan ekonomi Tiongkok, volatilitas harga komoditas, serta eskalasi geopolitik global seperti konflik Hamas-Israel di Gaza, Timur Tengah.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Rilis Badan Pusat Statistik (BPS) tentang angka pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan III-2023 sebesar 4,94 persen secara tahunan atau year on year (yoy) atau melambat dibanding periode yang sama tahun sebelumnya 5,17 persen, membuat pemerintah lebih realistis mengenai proyeksi ekonomi pada tahun ini.

Dalam beberapa kesempatan, pejabat pemerintah mengakui kalau beberapa faktor ketidakpastian dari eksternal perlu diwaspadai karena berpotensi menyebabkan pelambatan ekonomi.

Terakhir, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengingatkan meskipun proyeksi ekonomi Indonesia oleh berbagai lembaga internasional masih di kisaran 5 persen, namun masih terdapat risiko penurunan yang berasal dari berbagai faktor, yakni inflasi yang bertahan tinggi, pelemahan ekonomi Tiongkok, volatilitas harga komoditas, serta eskalasi geopolitik global seperti konflik Hamas-Israel di Gaza, Timur Tengah.

Risiko lainnya seperti fragmentasi geoekonomi, kejutan akibat perubahan iklim, terbatasnya ruang kebijakan global, hingga peningkatan risiko kesulitan utang.

"Inflasi global meskipun sudah mulai menurun, masih relatif tinggi dibandingkan level histori dalam satu dekade terakhir," jelas Menkeu.

Salah satu pertimbangan sehingga prospek ekonomi Indonesia masih baik hingga saat ini karena masih ekspansifnya aktivitas sektor manufaktur, dengan Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur sebesar 51,5 pada Oktober 2023.

Dengan demikian, Indonesia masuk dalam 30,4 persen negara G20 dan Asean-6 yang mencatat PMI Manufaktur ekspansif, selain Filipina, Singapura, India, Amerika Serikat (AS), Meksiko, dan Russia.

Sementara sebesar 69,6 persen negara mencatatkan PMI Manufaktur yang kontraksi, yakni negara-negara Eropa, seperti, Jerman, Perancis, Inggris, Italia. Begitu pula Jepang, Tiongkok, Korea Selatan, Thailand, Malaysia, Vietnam, Kanada, Brasil, Afrika Selatan, Turki, dan Australia.

"Ini artinya sektor riil terutama manufaktur masih mengalami tekanan yang terus berlanjut dari mulai pandemi hingga berakhirnya pandemi sekarang ini," katanya.

Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudisthira, yang diminta pendapatnya mengatakan ekonomi Indonesia diproyeksikan tumbuh 5 persen tahun 2024 mendatang karena masih besarnya porsi konsumsi domestik.

"Tahun depan, ekspor dan investasi agak sulit diandalkan karena berbagai tantangan di level global," kata Bhima.

Pemilu AS pada November 2024 juga akan memberikan efek geopolitik yang signifikan dan memicu pengalihan aset ke dollar AS. Oleh sebab itu, pemerintah harus all out menjaga konsumsi domestik terutama dari inflasi pangan dan volatilitas harga energi.

"Untuk menopang konsumsi mau tidak mau pendapatan masyarakat harus lebih tinggi lagi agar berada di atas angka inflasi sehingga memberikan ruang daya beli yang lebih besar," kata alumni UGM tersebut.

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, YB Suhartoko, mengatakan ekonomi Indonesia pada 2024 tidak akan lebih baik dari 2023.

"Walaupun secara relatif kinerja ekonomi masih lebih baik dari negara lain, namun pada tahun 2024 kita perlu mewaspadai risiko politik yang mungkin terjadi eskalasi. Pesta demokrasi Februari mendatang seperti pisau bermata dua," kata Suhartoko.

Di satu sisi mendorong belanja sehingga menciptakan pertumbuhan, namun di lain pihak adanya saling tidak percaya di kalangan elite tertinggi partai akan mendorong meningkatnya risiko politik yang berdampak pada meningkatnya risiko ekonomi dan juga keuangan.

Tidak Progresif

Dari Surabaya, Guru Besar Ekonomi sekaligus Rektor Universitas Airlangga (Unair), M Nasih, mengatakan peringatan akan ketidakpastian dari global sangat beralasan, terutama terkait tekanan kurs dollar akibat kebijakan suku bunga di AS. Dia berharap otoritas moneter melakukan upaya agar rupiah tetap terkendali.

"Dampak akan cukup terasa (keluarnya nodal asing) kalau tidak diimbangi dengan kebijakan suku bunga yang kurang lebih sama di Indonesia. Kalau kebijakan moneter tidak cukup progresif, bisa dipastikan akan banyak terjadi outflow dan rupiah otomatis terdampak," kata Nasih.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top