Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Energi Ramah Lingkungan I Pemanfaatan EBT dari Sisi Ekonomis Lebih Menguntungkan

Pemda Harus Dukung Pemanfaatan EBT secara Luas

Foto : KORAN JAKARTA/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

» Kementerian ESDM diharapkan merealisasikan rencana pemasangan panel-panel surya di kantor-kantor pemda.

» Lambatnya pertumbuhan EBT karena belum dimasukkannya biaya kerusakan lingkungan ke energi fosil.

JAKARTA - Kebijakan pemerintah menggenjot penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) perlu didukung sepenuhnya oleh pemerintah daerah (pemda) agar peralihan dari konsumsi energi fosil ke energi hijau berjalan lebih cepat.

Dukungan itu, misalnya, sudah ditunjukkan Pemerintah Kota Surabaya, Jawa Timur, dengan membangun Instalasi Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL) di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Benowo yang diresmikan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kamis (6/5).

Dalam peresmian tersebut, Presiden mengapresiasi kinerja Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya sehingga PSEL tersebut dapat beroperasi. "Saya sangat mengapresiasi, sangat menghargai instalasi pengolahan sampah menjadi energi listrik, ini yang bagus, berbasis teknologi ramah lingkungan," kata Presiden.

PSEL di Surabaya adalah yang pertama beroperasi dari tujuh kota yang telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 Tahun 2016.

"Kecepatan bekerja Pemerintah Kota Surabaya patut kita acungi jempol. Dari tujuh kota yang saya tunjuk lewat Perpres, ini yang pertama jadi. Yang lain masih maju-mundur, maju, kurang urusan tipping fee, urusan masalah barang daerah, urusan belum selesai," kata Jokowi.

Padahal, kata Kepala Negara, Perpres merupakan payung hukum bagi pemda mendukung program pembangkit listrik berbasis sampah agar tidak khawatir dipanggil pihak-pihak Kejaksaan, Kepolisian dan KPK.

"Saya siapkan Perpres-nya, saya siapkan PP-nya. Untuk apa? Karena pengalaman yang saya alami sejak tahun 2008 saya masih jadi wali kota, kemudian menjadi gubernur, kemudian menjadi presiden, tidak bisa merealisasikan pengolahan sampah dari sampah ke listrik seperti yang sejak dulu saya inginkan di Kota Solo waktu menjadi wali kota," tuturnya.

Perpres Nomor 18 Tahun 2016 sendiri mengatur tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Surakarta, Surabaya, dan Makassar.

Kemudian, Perpres Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Melalui Perpres itu, jumlah kota yang ditunjuk menjadi 12 kota, dengan tambahan lima kota lainnya, yaitu Kota Tangerang Selatan, Bekasi, Denpasar, Palembang, dan Manado.

"Saya gonta-ganti urusan Perpres, urusan PP, bagaimana agar seluruh kota bisa melakukan ini. Karena urusan sampah itu bukan hanya urusan menjadikan sampah menjadi listrik, bukan itu, tapi urusan kebersihan kota, urusan nanti kalau ada masalah pencemaran karena sampah yang ditumpuk-tumpuk, kemudian kalau hujan menghasilkan limbah lindi, problem semuanya," tegas Presiden.

Lebih Menguntungkan

Menanggapi imbauan Presiden, Pakar EBT dari Universitas Brawijaya, Malang, Suprapto, mengatakan pemda harus mendukung program pemanfaataan EBT pemerintah pusat karena secara ekonomis lebih menguntungkan.

"Pada 2018, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ada rencana pemasangan panel-panel surya untuk kantor-kantor milik pemerintah daerah, sudah ada sejumlah daerah yang dilirik sebagai penerimanya. Harapannya, rencana ini direalisasikan dan pemerintah daerah aktif menjemput bola untuk mewujudkannya," kata Suprapto.

Rencana tersebut, jelasnya, membutuhkan dukungan dari daerah, baik dalam bentuk dana pendamping atau lainnya.

Kalau itu bisa berjalan baik, akan mengedukasi dan menarik masyarakat menggunakan energi ramah lingkungan, sehingga pemanfaatan EBT ke depan semakin meluas.

Sebelumya, anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Satya Widya Yudha mengatakan, lambannya pertumbuhan EBT dalam bauran energi nasional tak terlepas dari belum dimasukkannya externality cost atau biaya kerusakan lingkungan ke energi fosil. Meskipun lamban, pemerintah tetap berupaya mengejar target 23 persen porsi EBT dalam bauran energi nasional pada 2025.

Menurutnya, dampak dari belum dimasukkannya externality cost tersebut menjadi kendala dalam penentuan harga keekonomian EBT. "Akibat dari belum dimasukkannya externality cost tersebut EBT masih jauh tertinggal, kendatipun diakuinya bahwa PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) saat ini jauh lebih kompetitif," ujarnya. n SB/ers/E-9


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top