Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Tata Kelola I Secara Global Rerata Stagnan dalam Enam Tahun Terakhir

Pemberantasan Korupsi Mengalami Kemerosotan

Foto : Sumber: Transparency International – Litbang KJ/an
A   A   A   Pengaturan Font

» Ada empat negara anggota G20, yaitu Indonesia, Argentina, Brasil, dan Turki yang skor CPI-nya di bawah rerata global.

» Gerakan bersih-bersih perlu dimotori oleh bidang politik sebagai leading sector.

JAKARTA - Praktik korupsi di Indonesia masih terus merajalela tanpa ada pembenahan yang berarti. Hal itu terlihat pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI) Indonesia pada 2021 yang hanya naik tipis 1 poin menjadi 38 dari sebelumnya 37 pada 2020, sekaligus menempatkan Indonesia di posisi 96 dari 180 negara yang disurvei.

Deputi Transparency International Indonesia (TII), Wawan Suyatmiko, dalam konferensi pers secara daring di Jakarta, Selasa (25/1), mengatakan skor yang diraih Indonesia itu masih berada di bawah skor rata-rata CPI global yaitu 43.

TII merilis IPK Indonesia 2021 yang mengacu pada sembilan sumber data dan penilaian ahli untuk mengukur korupsi sektor publik di 180 negara dan teritori. Skor dari 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih.

"Secara global rerata ini stagnan dalam jangka waktu sepanjang enam tahun terakhir, sedangkan di Asia Pasifik rerata skor CPI berada di angka 45 atau sama dengan tahun lalu. Stagnasi rerata skor CPI ini mengungkapkan terjadi kemerosotan dalam pemberantasan korupsi dalam situasi pandemi," kata Wawan.

"Ada empat negara yang merupakan anggota G20, yaitu Indonesia, Argentina, Brasil dan Turki. Artinya, ini perlu ada perhatian tersendiri bagi G20 yang anggotanya masih punya skor di bawah CPI rata-rata global," ungkap Wawan.

Di Asia Tenggara, Singapura menjadi negara yang dinilai paling tidak korup dengan skor 85 dan menempati peringkat keempat dunia, diikuti Malaysia dengan skor 48 di peringkat 62.

Dia menyebutkan tiga data yang mendorong kenaikan skor CPI Indonesia yaitu Global Insight Country Risk Ratings (risiko individu/perusahaan dalam menghadapi praktik korupsi dan suap untuk menjalankan bisnis) naik 12 poin menjadi 47, World Economic Forum EOS (suap dan pembayaran ekstra pada impor-ekspor, pelayanan publik, pembayaran pajak tahunan, kontrak perizinan dan putusan pengadilan) juga naik 7 poin menjadi 53 dan IMD World Competitiveness Yearbook (suap dan korupsi dalam sistem politik) naik 1 poin menjadi 44.

Sementara tiga data yang stagnan adalah "Economist Intelligence Unit Country Ratings" (prosedur yang jelas dan akuntabilitas dana publik, penyalahgunaan pada sumber daya publik, profesionalisme aparatur sipil, audit independen) tetap di skor 37, Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Asia Risk Guide juga stagnan di angka 32 serta "World Justice Project - Rule of Law Index" (pejabat di eksekutif, legislatif, yudikatif, kepolisian dan militer menggunakan kewenangannya untuk keuntungan pribadi) skornya tetap di 23.

Sedangkan tiga indikator yang menurun yaitu "Political Risk Service" (korupsi dalam sistem politik, pembayaran khusus dan suap ekspor-impor dan hubungan mencurigakan antara politikus dan pebisnis) turun dari 50 menjadi 48. Begitu juga dengan Bertelsmann Foundation Transformation Index (pemberian hukuman pada pejabat publik yang menyalahgunakan kewenangan dan pemerintah mengendalikan korupsi) turun dari 37 menjadi 33, "Varieties of Democracy" (kedalaman korupsi politik, korupsi politik di eksekutif, legislatif, dan yudikatif, korupsi di birokrasi, korupsi besar dan kecil yang mempengaruhi kebijakan publik) juga menurun dari 26 menjadi 22.

Korupsi Politik

Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan, mengatakan kunci meningkatkan IPK Indonesia adalah pembenahan korupsi politik. "Politik paling sulit dilakukan pencegahan korupsi. Kalau orang pikir pilkada jadi sumber korupsi, ya memang ada masalah di pemilihan kepala daerah dan provinsi. UU Pilkada perlu diganti, tapi itu tidak langsung terkait dengan korupsi. KPK berharap TII juga mendorong untuk perbaikan partai politik," kata Pahala.

Dana untuk partai politik hanya dianggarkan pemerintah seribu rupiah per suara, padahal menurut KPK dibutuhkan 25 ribu rupiah per suara agar bisa menutup biaya politik.

Guru Besar ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto, mengatakan gerakan bersih-bersih perlu dimotori di bidang politik sebagai leading sector.

"Demokrasi kita perlu merekrut elite-elite yang berintegritas untuk mengemban amanat publik. Tanpa itu, mereka akan selalu mencari celah aturan atau menciptakan aturan yang menguntungkan dirinya dan kelompoknya," kata Wibisono.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top