Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Jum'at, 24 Jan 2025, 01:15 WIB

Pembantu Presiden Harus Jujur dan Lengkap Sampaikan Data Pangan

Pangan Nasional - Pentingnya Kejujuran Agar Masalah Pangan Bisa Dicarikan Solusi.

Foto: antara

JAKARTA - Para pembantu Presiden khususnya menteri yang berkaitan dengan pangan mulai dari Menko Pangan, Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan dan Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) harus jujur menyampaikan informasi kepada Presiden dan publik. Pentingnya kejujuran para menteri itu agar masalah kekurangan pangan selama ini bisa dicarikan solusi dan segera ditagani dengan baik dan tepat. 

Guru Besar Ekonomi Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Dwijono Hadi Darwanto yang diminta pendapatnya dari Jakarta, Kamis (23/1) menyatakan bahwa target swasembada pangan dalam waktu tiga tahun seperti disampaikan Menteri Pertanian dinilai tidak realistis yang menyebabkan masyarakat memperoleh informasi yang kurang tepat.

Sebab, upaya menuju swasembada pangan memerlukan waktu lebih dari sepuluh tahun dengan berbagai tantangan yang kompleks, terutama terkait luas lahan, cuaca, dan kebijakan yang mendukung.

“Swasembada beras saja membutuhkan tambahan areal sekitar 600 ribu hingga 1 juta hektar dengan asumsi kondisi iklim dan cuaca normal. Jika tidak normal, kebutuhan lahan bisa lebih luas lagi,” kata Dwijono kepada Koran Jakarta.

Alokasi lahan untuk padi jelasnya secara otomatis akan mengurangi ruang untuk tanaman lain seperti jagung dan kedelai, kecuali jika dilakukan pembukaan hutan. Namun, ia mengingatkan bahwa pengalaman sebelumnya menunjukkan kegagalan food estate, sehingga membuka hutan belum tentu menghasilkan produktivitas yang optimal.

Lebih jauh, Dwijono menyoroti peningkatan kebutuhan impor gandum, termasuk untuk pakan ternak. Ia menilai pengalihan dari jagung ke gandum untuk pakan ternak bukanlah keberhasilan, melainkan pengalihan masalah.

“Ini bukan swasembada, tapi pengalihan masalah. Jagung masih bisa ditanam di Indonesia, sementara gandum tidak,” tegasnya.

Dwijono juga mengkritisi kebergantungan Indonesia pada impor gandum dan garam. Menurutnya, impor garam tambang dari luar negeri yang lebih murah membuat petani garam lokal sulit bersaing.

“Garam tambang jauh lebih murah dibanding garam rakyat. Bagaimana kita mau mandiri jika tidak ada perlindungan terhadap petani lokal?” katanya.

Dia pun menekankan pentingnya perbaikan teknologi proses garam, terutama terkait impor bahan baku seperti air infus garam. “Kalau hulu tidak diperbaiki, bagaimana bisa memperbaiki hilirnya? Ini bukan persaingan yang adil,” tambahnya.

Perbaikan Sistem Irigasi

Untuk memacu produksi beras, Dwijono pun menyoroti pentingnya perbaikan sistem irigasi tersier dan kuarter yang selama ini kurang mendapatkan perhatian. Pembangunan waduk saja tidak cukup jika tidak diikuti dengan perbaikan jaringan irigasi yang langsung menjangkau petani.

“Sejak reformasi, irigasi tersier dan kuarter ditelantarkan. Kalau hanya bicara waduk tanpa memperhatikan irigasi hingga ke petani, percuma. Selain itu, konsultasi dengan ahli air dari perguruan tinggi juga tidak pernah dilakukan,” ujarnya.

Masalah lain yang disoroti adalah distribusi pupuk bersubsidi yang dinilai tidak efektif. “Pupuk sulit didapat, subsidi tidak sampai, dan sering kali pupuk datang di musim tanam yang salah. Hal ini merugikan petani dan menghambat produksi,” kata Dwijono.

Dia juga mengingatkan pentingnya transparansi data dan informasi kepada Presiden. “Masalah ini harus dilaporkan secara lengkap dan jernih. Jika tidak, ketika target swasembada tidak tercapai, yang rugi adalah bangsa ini karena telah kehilangan waktu,” pungkasnya.

Sementara itu, peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa menegaskan, kalau tidak ada keberanian, kemauan politik, dan terobosan terobosan maka swasembada pangan tidak akan pernah terealisasi.

“Tanpa adanya terobosan tata kelola pangan kita akan tetap dikendalikan para oligarki yang mengeruk keuntungan besar dari impor pangan. Untuk itu, kementerian terkait harus bekerja lebih ekstra mengeksekusi arahan presiden. Harus selaras dan konsisten dengan kebijakan dan arahan Presiden,”tegas Awan.

Dia juga menyoroti masalah masih tingginya impor gandum yang sebenarnya masih bisa didiversfikasi ke sorgum untuk pemenuhan bahan baku dalam negeri. Menurutnya, pemerintah harus serius mengembangkan pangan lokal.

Secara terpisah, pengamat Pertanian, Fakultas Pertanian, Sains dan Teknologi, Universitas Warmadewa (Unwar), Denpasar, Bali I Nengah Muliarta menegaskan kebijakan untuk tidak mengimpor jagung tetapi tetap mengimpor gandum untuk pakan ternak menunjukkan adanya ketidakselarasan dalam strategi pangan.

“Ini bisa dilihat sebagai pengalihan masalah, di mana solusi jangka pendek diambil tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang. Kebijakan yang lebih terintegrasi diperlukan untuk menangani semua aspek produksi pangan,”tegas Muliarta.

Guna mencapai swasembada pangan memerlukan pendekatan berkelanjutan yang melibatkan petani, teknologi, riset, dan dukungan kebijakan. Investasi di sektor pertanian, pelatihan untuk petani, dan inovasi teknologi harus menjadi fokus utama. Pencapaian swasembada pangan tidak dapat dilakukan oleh Kementerian Pertanian saja.

“Dibutuhkan kolaborasi antara berbagai kementerian, sektor swasta, dan masyarakat sipil untuk menciptakan ekosistem yang mendukung pertanian berkelanjutan,” katanya.

Swasembada pangan juga tidak harus terbatas pada produksi darat saja. Dengan memanfaatkan potensi laut yang melimpah, Indonesia dapat mencapai ketahanan pangan yang lebih baik dan berkelanjutan.

Redaktur: Vitto Budi

Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.