Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kesetaraan Jender

PBB Kritik Upaya Jepang dalam Pemberdayaan Perempuan

Foto : Japan Times/YOSHIAKI MIURA

Miwa Kato

A   A   A   Pengaturan Font

TOKYO - Selama lima tahun kepemimpinan Perdana Menteri Shinzo Abe terdahulu, sudah banyak langkah- langkah yang dilakukan pemerintah Jepang bagi memberdayakan kaum perempuan secara ekonomi. Sekitar 70 persen perempuan Jepang dengan usia produktif 15 hingga 64 tahun saat ini tercatat sudah bekerja atau sedang mencari peluang kerja di berbagai bidang.

Perkembangan upaya bagi pemberdayaan perempuan semakin digiatkan sepanjang tahun lalu dimana lebih banyak kaum perempuan yang bekerja dari tahun-tahun sebelumnya sehingga saat ini terjadi pergeseran lingkup kerja dan gaya hidup dimana peranan kaum perempuan kian lebih bersinar.

Namun dibalik kecemerlangan yang berhasil diraih pemerintah Jepang dalam pemberdayaan kaum perempuan, direktur regional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Urusan Perempuan, Miwa Kato, yang mengawasi kelompok kerja di 42 negara kawasan termasuk Jepang mengatakan, masih ada isu minimnya pemimpin perempuan yang harus diperhatikan.

"Perlu sebuah pergeseran yang amat dinamis dalam cara berpikir yang tak hanya mengutamakan pemberdayaan kaum perempuan, namun juga peluang mereka agar bisa mencapai cita-citanya," kata Kato seperti dikutip dari JapanTimes edisi Kamis (8/3).

"Pemerintahan pimpinan PM Abe patut diacungi jempol dalam upaya menghadapi kesetaraan jender, bukan sebagai masalah sampingan tapi sebagai strategi inti pertumbuhan nasional. Hanya karena dijadikan strategi di tingkat tinggi pemerintahan, maka sudah seharusnya upaya ini tak memudar hingga jadi sebuah slogan," imbuh Kato.

Sayangnya agenda Jepang untuk pemberdayaan perempuan mulai kehilangan haluannya. Pada 2015 Kantor Kabinet Jepang telah menurunkan jumlah jatah pejabat eksekutif dari kaum perempuan di sejumlah perusahaan seperti yang ditargetkan pada 2020 dari 30 persen hingga kini tersisa 10 persen saja.

Berdasar data yang dipublikasikan oleh kementerian- kementerian di pemerintahan pada Juli lalu menunjukkan bahwa hanya 3,7 persen saja posisi eksekutif di perusahaan- perusahaan yang dipegang kaum perempuan.

Menurut Kato penurunan hingga 20 poin amat kontras dengan tren global yang saat ini menargetkan angka tertinggi hingga 50 persen dengan batas paling bawah ditentukan pada angka 30 persen.

Mencontoh dari Mesir

Walau begitu, Kato masih percaya terhadap kelaikkan agenda Jepang dalam pemberdayaan perempuan seiring dengan semakin kuatnya tren komitmen politik yang tengah terjadi Mesir, dimana disana justru ada kenaikkan yang amat signifikan atas jumlah anggota perlemen perempuan.

Mesir adalah sebuah negara yang terus mengalami pergolakkan politik serta pembatasan hak-hak bagi kaum perempuan yang kerap menerima kritikan secara internasional.

Dalam pemilihan umum Mesir 2015 bagi memperebutkan kursi di parlemen, ada 89 perempuan atau sekitar 14.9 persen kursi yang tersedia di parlemen, terpilih jadi anggota parlemen. Hal ini merupakan rekor dalam sejarah keparlemenan Mesir.

Pada waktu itu, Kato merupakan direktur PBB untuk Mesir. Presiden Abdel Fattah al-Sisi saat itu ingin mendapatkan dukungan suara dari kaum perempuan dan sebaliknya perempuan Mesir ingin mendapatkan keleluasaan sosial.

Menurut Kato, kunci sukses bagi peningkatan pemimpin perempuan di Jepang, negara perlu menggeser landasan cara berpikir di tingkat manejemen atas dan individu. "Jepang membutuhkan pemimpinpemimpin dengan visi tersebut, bukan semata untuk kaum perempuan saat ini, namun masyarakat Jepang di masa depan," papar Kato sembari menekankan bahwa isu kesetaraan jender berbeda penerapan dan nilainilainya di masing-masing negara yang berbeda, dan tak ada solusi yang paling manjur berlaku di setiap negara.

Saat ini ada banyak eksekutif dan pejabat pemerintah berkeluh kesah tak mencukupinya kandidat eksekutif perempuan yang bisa mencapai target 30 persen, namun bagi Kato itu bukan alasan karena akan selalu ada solusi.

"Siapapun mereka, perempuan atau pria, Jepang membutuhkan pemimpin yang kuat dan visioner yang tahu apa yang mereka butuhkan segera demi kemakmuran negara di masa depan. Dengan lebih banyak perempuan di posisi pembuat keputusan akan berkontribusi bagi bertambahnya pemimpin," pungkas Kato.

JapanTimes/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat

Komentar

Komentar
()

Top