Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kudeta di Myanmar I Organisasi Biksu Myanmar akan Berkonsultasi dengan Junta

Paus Fransiskus Kembali Serukan Diakhirinya Kekerasan

Foto : AFP

Rintangi Pasukan Keamanan l Para pengunjuk rasa membakar ban bekas sebagai upaya merintangi pasukan keamanan Myanmar yang ingin menumpas aksi protes di Yangon, Selasa (16/3). Aksi kekerasan oleh pasukan keamanan Myanmar hingga saat ini telah mengakibatkan 200 orang tewas.

A   A   A   Pengaturan Font

VATICAN CITY - Pemimpin Gereja Katolik Roma, Paus Fransiskus, pada Rabu (17/3) kembali menyerukan diakhirinya kekerasan di Myanmar. Seruan itu dilontarkan untuk menanggapi laporan seorang biarawati yang berlutut untuk memohon belas kasihan polisi bersenjata.

"Saya juga akan berlutut di jalanan di Myanmar dan berkata 'Akhiri kekerasan'," ucap Paus Fransiskus dalam audiensi mingguannya. "Saya juga akan mengulurkan tangan dan berkata 'Mari berdialog. Pertumpahan darah tidak akan menyelesaikan apa pun'," imbuh Paus.

Foto biarawati bernama Ann Rose Nu Tawng yang memohon kepada sekelompok polisi untuk mengampuni para pengunjuk rasa muda dan sebagai gantinya ia bersedia mengorbankan jiwanya pada awal bulan ini, menjadi viral dan mencuat jadi simbol keberanian yang kuat di tengah protes massa terhadap kudeta militer.

Paus Fransiskus sendiri telah berulang kali menyerukan diakhirinya kekerasan di Myanmar sejak kudeta 1 Februari, ketika militer menggulingkan dan menahan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi.

Seruan bagi diakhirinya kekerasan juga disuarakan Organisasi biksu Buddha paling berpengaruh di Myanmar. "Dalam seruannya, para biksu itu juga menuduh pihak militer sebagai minoritas bersenjata yang melakukan penyiksaan dan pembunuhan warga sipil tak berdosa menyusul kudeta bulan lalu," tulis sebuah media lokal pada Rabu.

Sementara itu portal berita Myanmar Now yang mengutip seorang biksu, menulis bahwa komite Sahgha Maha Nayaka berencana akan mengeluarkan pernyataan akhir setelah berkonsultasi dengan Menteri Agama junta, Kamis (18/3).

Dalam kecamannya atas tindakan keras militer terhadap demonstran, organisasi biksu yang ditunjuk oleh pemerintah itu juga menyerukan anggotanya untuk menghentikan segala aktivitas. Anggota Mahana belum dapat dimintai komentarnya, tetapi sikap mereka ini menandakan adanya keretakan antara mereka dengan pihak pemerintah.

Lebih dari satu dekade lalu yakni pada 2007, para biksu pernah berada di garis depan dalam "Revolusi Saffron" yang melawan junta militer yang saat itu berkuasa di Myanmar. Perlawanan ini kemudian membantu membuka jalan bagi reformasi demokrasi.

Bagai Medan Perang

Hingga saat ini kemelut di sejumlah wilayah di Myanmar belum mereda. Junta dilaporkan semakin banyak mengerahkan kekuatan pasukan keamanan untuk memadamkan aksi unjuk rasa yang menolak kudeta.

LSM pemantau lokal, Assistance Association for Political Prisoners, menyatakan sejak 1 Februari sudah ada lebih dari 200 pengunjuk tewas dalam tindakan keras tersebut.

Di sejumlah distrik di Yangon kini berlaku status darurat militer dan ribuan penduduk telah meninggalkan kawasan industri Hlaing Thayar, setelah aparat keamanan membunuh 40 orang pada Minggu (14/3) dan sejumlah pabrik dilalap api.

"Di sini seperti medan perang, mereka menembak di mana-mana," kata seorang organisator tenaga kerja di distrik itu seraya menambahkan bahwa sebagian besar penduduk terlalu takut untuk keluar rumah. AFP/DW/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Ilham Sudrajat

Komentar

Komentar
()

Top