Minggu, 15 Des 2024, 10:43 WIB

Pasangan Ini Mengubah Ide Sederhana Menjadi Destinasi Ikonik

Foto: The New York Times

Di Crown Heights, Brooklyn, sebuah usaha kecil yang dimulai sebagai kedai kopi telah berkembang menjadi destinasi unik yang menghadirkan cita rasa dan budaya Senegal. Rue Dix, yang berarti "Jalan ke-10" dalam bahasa Prancis, adalah karya cinta dari pasangan Nilea Alexander dan Lamine Diagne. Selama lebih dari satu dekade, pasangan ini telah mengubah usaha mereka menjadi lebih dari sekadar tempat makan hingga mereka menciptakan sebuah pengalaman.

Café Rue Dix, yang menyajikan masakan Senegal seperti thiebou jen, campuran nasi jollof, sayuran, dan rebusan ikan kakap merah. Berdampingan dengan Marché Rue Dix, butik yang menjual produk-produk yang langsung diimpor dari Senegal, tanah kelahiran Diagne. Dari teh tradisional Ataya hingga tas ember yang terbuat dari tali dan plastik, Marché Rue Dix dirancang untuk memberikan pengunjung bukan hanya barang tetapi juga cerita.

Nama Rue Dix merupakan penghormatan kepada akar Diagne di Pikine, sebuah kota di timur Dakar. 

“Pasar sangat penting di Senegal,” kata Diagne, yang pertama kali datang ke New York pada usia 14 tahun. 

Bersama Alexander, yang berasal dari Atlanta dan pindah ke Brooklyn pada 2002, pasangan ini menikah pada 2011 dan memulai perjalanan mereka di Crown Heights.

Di masa awal pernikahan, Diagne sering mengendarai skuter ke Harlem, ke area Le Petit Sénégal, untuk mencari cita rasa rumah. Meskipun ada beberapa tempat makan Afrika Barat yang populer, seperti Le Baobab di Fulton Street. Pasangan ini merasa bahwa komunitas mereka kekurangan tempat yang menawarkan menu Senegal tanpa harus bepergian jauh. 

“Saya belum pernah mencicipi masakan Senegal sebelum bertemu Lamine, dan saya tidak memahami keunikan kuliner Afrika. Kami berpikir, jika kami harus keluar dari lingkungan untuk mencarinya, mungkin orang lain juga demikian,” kata Alexander, dilansir dari The Guardian, Selasa, (10/12).

Namun, membangun usaha di New York bukanlah hal mudah. Navigasi birokrasi perizinan kota dan tantangan ritel dengan modal terbatas menjadi hambatan besar. 

“Kami benar-benar tidak punya pengalaman. Ketika kami mulai, kami berada di dua nol besar. Tidak ada uang lagi,” ungkap Diagne. 

Meski demikian, latar belakang mereka menjadi kekuatan. Diagne mengasah keterampilan memasaknya sebagai koki di Soho Bistro L’Orange Bleue, sementara Alexander memiliki pengalaman lebih dari satu dekade di ritel bersama Urban Outfitters dan menjual barang vintage di Brooklyn Flea.

Kini, Alexander mengawasi dekorasi butik dan kurasi produk, sedangkan Diagne mengelola kafe. Pada 2018, mereka menambahkan studio kuku di toko, sebuah penghormatan kepada para perempuan kulit hitam yang telah mempelopori seni kuku. Studio tersebut menawarkan ekstensi kuku dengan desain mencolok, mulai dari emas hingga pola geometris neon. 

Bulan lalu, mereka memperluas usaha dengan membuka salon rambut di butik, yang berfokus pada gaya alami dan kepang tradisional. 

“Pengalaman mengajarkan saya bahwa semuanya datang dalam siklus. Tapi dengan memberikan pengalaman yang berkesan, orang akan terus kembali,” kata Alexander.

Inspirasi untuk butik mereka sebagian besar berasal dari kunjungan Alexander ke Senegal pada 2012. 

“Saya terpesona oleh visual, aroma, kain, semuanya,” kenangnya. 

Dari sana, mereka mulai menjual kopi, teh, dan dupa di restoran. Kopi khas mereka berasal dari kota Tuba, yang diracik dengan lada dan rempah-rempah. Ketika pelanggan memuji saus pedas mereka, pasangan ini mulai membotolkannya. Kemudian, Alexander meluncurkan lini desain DSS-to-JFK, dinamai sesuai dengan bandara di Dakar dan New York, yang terinspirasi oleh gaya unik Diagne dan komunitas Senegal di New York.

Bagi Alexander dan Diagne, pencapaian terbesar mereka adalah menciptakan bisnis yang berkelanjutan. 

“Tujuan kami adalah memiliki bisnis yang bisa bertahan lebih lama dari kami,” kata Alexander. 

Meskipun putri mereka masih muda, Alexander mengungkapkan kebanggaannya bahwa saat ini putrinya ingin menjadi seorang pengusaha seperti mereka.

Redaktur: Muhammad Ihsan Karim

Penulis: Muhammad Ihsan Karim

Tag Terkait:

Bagikan: