Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Pangan, Infrastruktur dan Manusia

Foto : ISTIMEWA

Sigit Supadmo Arif - Guru Besar Teknik dan Manajemen Irigasi Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogjakarta

A   A   A   Pengaturan Font

Kondisi Republik

Sejak akhir 2022 lalu sampai sekarang media massa Indonesia terutama media cetak diramaikan dengan berita-berita banyaknya kejadian bencana banjir dan impor pangan terutama beras,. Bahkan sekarang ditambah dengan berita kenaikan harga pangan menjelang bulan Ramadhdan. Tentu saja berita-berita itu juga sering masih menjadi selingan berita tentang korupsi, budaya hedon petinggi penjabat birokrasi, dan polisi yang nakal.

Impor Pangan

Sejak 2020 seiring dengan munculnya pandemik Covid-19 secara global, FAO (organisasi pangan dan pertanian dunia) telah memberikan suatu isyarat dan perhatian pada seluruh anggotanya bahwa dunia akan mengalami kekurangan pangan. Peringatan ini menjadi sangat serius setelah terjadinya perang antara Rusia-Ukraina karena akan juga mengganggu produksi pangan global. Keadaan tersebut sangat merugikan negara-negara pengimpor pangan seperti Indonesia dan Filipina. Dari data impor pangan Indonesia yang disampaikan Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa total impor pangan Indonesia untuk mencukupi ketahanan pangan nasional pada semester pertama 2021 telah mencapai nilai total mencapai 6,13 miliar dollar AS atau setara 90 triliun rupiah.

Bahkan sampai pada rempah-rempah yang dulu sempat menjadikan Indonesia mempunyai kedudukan negeri sangat eksotis dan menjadi incaran bangsa-bangsa lain sekarang justru juga harus diimpor.

Apa ada apa gerangan persoalan pangan di negeri yang subur dan kaya ini sehingga harus menghabiskan devisa negara sangat besar untuk menjaga ketahanan pangan bagi penduduknya yang mayoritas adalah keluarga petani.

Berdasarkan data BPS, impor beras Indonesia sebanyak 114,45 ribu ton senilai 51,76 juta dollar AS pada periode September-Desember 2021. Nilai tersebut meningkat 24,4 persen dibanding triwulan sebelumnya hanya 92 ribu ton dengan nilai 40,38 juta dollar AS. Tetapi sejak 2019 impor beras biasa telah ditutup kecuali impor beras premium.

BPS mencatat produksi padi Indonesia mencapai 54,42 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) pada 2021. Jika dikonversi menjadi beras, total produksi GKG tersebut kira-kira setara dengan 31,36 juta ton beras. Angka ini menyusut 0,45 persen dari produksi tahun sebelumnya yang seberat 31,5 juta ton.

Apabila saat ini diketahui bahwa konsumsi beras masyarakat Indonesia per kapita berkisar 109 kg per tahun ( Lokadata.id, 2015) dan jumlah penduduk total sebanyak 270 juta orang maka kebutuhan beras 29,4 juta ton. Dengan demikian masih terdapat selisih sekitar 1,9 juta ton beras. Angka lain menyebutkan dari BPS menyebutkan bahwa konsumsi beras pada rumah tangga di tahun 2019 adalah 20,685 jutaton, atau sekitar 77,5 kg per kapita per tahun. Jadi dari tahun 2015 ke tahun 2019 sudah ada penurunan sekitar 32 kg per kapita per tahun.

Angka tersebut masih sangat rawan sebagai persediaan pangan sebuah negara sehingga pemerintah juga masih impor beras untuk cadangan untuk menghadapi terjadinya kerawanan pangan. Seperti diketahui bahwa kerawanan pangan dapat disebabkan oleh beberapa hal misalnya kejadian perubahan iklim, bencana baik kekeringan, banjir, gagal panen akibat hama, dan penyakit tanaman atau bencana alam lainnya. Bahkan pada akhir 2022 ini, masyarakat petani juga dikejutkan oleh rencana pemerintah mengimpor beras sebesar 200.000 ton. Berita tersebut juga menjadikan sangat ironi setelah Presiden Jokowi baru saja diberi penghargaan dari Lembaga Riset Padi Internasional (IRRI) yang bermarkas di Los Banos, Filipina.

Persoalan pangan saat ini menjadi persoalan yang sangat krusial dan selalu dibahas dalam terbitan beberapa harian nasional di akhir 2022, bahwa ketersediaan pangan juga berkaitan dengan akses masyarakat terhadap gizi, dan tengkes, dan angka Stunting anak-anak Indonesia. Data BPS dan berita tersebut secara tidak langsung juga menyebutkan bahwa Indonesia sangat rapuh menjaga kemandirian pangan secara nasional.

Ironí Diversifikasi dari Beras Ke Terigu 100 Persen Impor

Setelah 78 tahun RI Merdeka, kedaulatan pangan seperti yang dicita-citakan masih terlalu jauh untuk diraih dengan memberikan substitusi dan diversifikasi pangan pada masyarakat. Masyarakat lebih memilih gandum yang 100 persen diimpor menghasilkan tepung terigu, daripada menggunakan tepung-tepungan bahan pangan lokal sebagai substitusi pemenuhan karbohidrat. Padahal gandum merupakan bahan pangan yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri.

Sejak masa kolonial dan sampai pada masa kemerdekaan pemerintahan RI, impor tepung terigu mulai dilakukan pemerintah dan dari tahun ke tahun untuk memenuhi kebutuhan roti khususnya bagi masyarakat elite. Menurut catatan Kolonel Raden Mas Gonnie Soegondo dalam Ilmu Bumi Militer Indonesia-Volume 1 (1954:168), impor tepung gandum pada 1948 sebesar 63.223 ton; tahun 1949 sebanyak 68.617 ton; tahun 1950 sebesar 53.979 ton; dan tahun 1951 mencapai 126.231 ton (Petrik Matanasi 11 Januari 2020. https://tirto.id/ep9u) .

Setelah itu dari tahun ketahun impor gandum semakin lama semakin besar.

Bahkan Pemerintah Orde Baru memutuskan untuk membangun sebuah pabrik penggilingan gandum di bawah satu monopoli perusahaan swasta. Keputusan ini nantinya akan menjadi tonggak sejarah yang berakibat pada perubahan menu pangan dan budaya kulineari masyarakat hampir di semua lapisan masyarakat. Selain itu dan juga meminggirkan menu kulineari masyarakat berbasis makanan lokal dengan singkong dan umbi umbian.

Makanan Tradisional Dihilangkan Secara Budaya dan Sistematis oleh Negara Sendiri

Di aras menengah ke atas menu karbohidrat berubah dari beras ke roti (gandum) sedangkan di aras masyarakat ekonomi bawah mulai meninggalkan menu beras atau tepung-tepungan lain sebagai menu makanan tradisional ke mie instan. Sebenarnya makanan tradisional yang masih tersisia sangat sesuai dengan adat istiadat masyarakat serta lingkungan fisiknya dan tumbuh secara optimal. Tetapi justru dihilangkan secara budaya dan sistematis oleh negara sendiri.

Peningkatan Produksi Pangan Gagal Tercapai Jika Abai pada Unsur Manusianya

Peningkatan potensi produk pangan sangat tergantung pada beberapa faktor yaitu : (i) daya potensi ketersediaan tanah dan air sebagai bagian dari sumberdaya alam yang tersedia, (ii) teknologi infrastruktur yang dipakai saat ini dan kemungkinan perkembangannya, (iii) tata kelola sistem, (iv) institusi yang terlibat, (v) manusia pelaku, serta perubahan lingkungan sistem yang terjadi baik lingkungan strategis maupun lingkungan ekologis , kedua lingkungan sistem tersebut berkembang secara cepat dan dinamis.

Untuk memecahkan masalah pangan, pemerintah kemudian membangun beberapa pusat pangan nasional (food estate). Sayangnya pemerintah sangat menggantungkan pada pembangunan infrastruktur dan menafikan keberadaan keempat unsur sistem pangan lainnya terutama unsur manusia.

Selain dengan food estate, pemerintah juga membangun sistem irigasi secara signifikan. Paling tidak akan dilakukan pembangunan 65 waduk, 1 juta ha jaringan irigasi baru, 3,5 juta ha rehabilitasi jaringan. Saat ini total luas sistem irigasi permukaan di Indonesia mencakup lahan seluas 7,23 juta ha (Soekrasno dkk, 2015) tersebar di Jawa (46 persen), Sumatera (28 persen), Sulawesi (12 persen), Kalimantan (7 persen), NTB dan NTT (4 persen), Bali (2 persen), Maluku dan Papua (2 persen). Dengan sebaran data tersebut maka dapat diketahui bahwa pulau Jawa akan tetap menjadi penyumbang produksi padi di Indonesia.

Namun sayangnya bahwa pembangunan infrastruktur irigasi tidak diiringi dengan peningkatan pelaksanaan Operasi dan Pemeliharaah irigasi (OP). Dana OP masih jauh dari kebutuhan, jumlah kebutuhan tenaga petugas , status dan kesejahteraan petugas OP juga masih sangat kurang. Padahal pengeloaan irigasi berbasis lima pilar sebagai bagian proses produksi pangan selalu harus dilakukan secara tersistem.

Kritik terhadap pemerintah yang terjebak dalam pragmatisme telah dilakukan beberapa pihak (Ekayanta, 2022). Bentuk pragmastime yang dilakukan adalah bahwa masing-masing pihak masih berpikir secara birokatris tanpa pendekatan sistem dan terbatas pada pelaksanaan alokasi anggaran. Selain itu pembangunan nasional juga dibiayai oleh utang yang diboroskan secara tidak produktif dan semakin lama semakin besar (Koran Jakarta 20 Maret 2023).

Wajah Indonesia pada Kemerdekaan 100 Tahunnya

Para pemimpin kurang berpikir secara kritis dan mendalam. Kurang dapat berpikir jauh ke depan. Bagaimana wajah Indonesia di segala bidang pada saat berumur 100 tahun ke depan?.

Katakanlah untuk irigasi ke depan pada saat itu bagaimana wajahnya? Mungkin belum ada yang berpikir ke sana .

Perut Rakyat Indonesia

Dari kebijakan pemerintah yang dilakukan saat ini, sebenarnya manusialah yang harus dibangun bersamaan dengan pembangunan infrastruktur. Perlu dipahami bahwa manusialah makhluk paripurna yang diciptakan Allah di muka bumi ini karena diberi akal untuk berpikir dan berpengetahuan. Tetapi sangat disayangkan apabila justru hal hakiki ini dinafikan oleh pemerintah yang medapat mandat kepercayaan dari rakyat untuk memerintah.

Upaya bertindak untuk melakukan sinergisitas masing-masing pelaku selalu terkendala. Para pihak dan pelaku bertindak sangat sektoral serta tidak ada satupunlembaga yang bertidak sebagai koordinator produksi pangan. Akibatnya adalah sistem produksi pangan kurang dapat berjalan secara semestinya. Apabila Presiden dalam kunjungan kerja di Kalimantan Selatan beberapa waktu yang lalu menyerukan bahwa pemindaah Ibu Kota Negara ke IKN tidak hanya sekadar memindahkan urusan pemerintahan dan harus menjadi tanggung jawab seluruh anak bangsa karena juga menyangkut sosial-politik dan budaya, maka seruan itu juga dapat diteruskan untuk urusan pangan yang adalah urusan perut rakyat Indonesia.

Dengan kemampuan pemerintah dalam pembiayaan untuk impor pangan, jangan sampai memberikan kesempatan oligarki untuk berkembang dengan memberikan kebijakan impor pangan yang sangat timpang pada mereka.

Oleh sebab itu perlu direnungkan kembali peringatan Romo Magnis bahwa apabila kemiskinan terus terjadi dan kesenjangan terbuka lebar maka jangan disalahkan apabila kaum miskin itu meninggalkan Pancasila (Koran Jakarta 20 Maret 2023). Apabila hal tersebut terus menerus terjadi maka persoalan tercapainya swasembada pangan akan menjadi sebuah utopia. Hanya sebatas angan-angan.


Redaktur : M. Selamet Susanto
Penulis : M. Selamet Susanto

Komentar

Komentar
()

Top