Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Munculnya pandemi Covid-19 telah menuntut perombakan ekosistem sehingga dalam beberapa tahun mendatang akan memudahkan petani tradisional dan modern untuk terlibat langsung dalam mata rantai pasokan pangan dunia.

Pandemi Telah Mendorong Perlunya Revolusi Teknologi untuk Menyiasati Ketahanan Pangan

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Munculnya pandemi Covid-19 telah menimbulkan dampak yang amat luas terhadap sistem pangan dunia sehingga perlu sebuah penyegaran karena jika tak segera diambil tindakan, kita semua kemungkinan besar akan menghadapi masalah-masalah pelik yang tak bisa kita hindari lagi.
Laman berita Bloomberg pernah melaporkan bahwa Prancis akan kekurangan pekerja/buruh di bidang pertanian sepanjang musim panen tahun ini. Coldiretti, sebuah serikat tani dari Italia memperkirakan mereka akan kekurangan buruh asing sebanyak 100 ribu orang.
"Jerman yang biasanya mempekerjakan 30 ribu buruh tani migran pada Maret dan 80 ribu buruh tani migran pada Mei, pada tahun ini hanya sebagian kecil saja buruh tani migran itu yang muncul," ungkap Menteri Pertanian Jerman, Julia Kloeckner.
Sementara itu berdasarkan catatan dari Agricultural Outlook 2018-2027 yang dipublikasikan Badan Pangan Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO), total wilayah daratan di Timur Tengah dan Afrika Utara, hanya sepertiga yang merupakan wilayah pertanian dan hanya 5 persen saja lahannya yang subur dan bisa untuk bercocok tanam, dan sisanya berupa lahan kota dan gurun yang kering.
Karena iklimnya yang kering, sekitar 40 persen dari area tanam di wilayah tersebut membutuhkan irigasi. Hanya 4 persen lahan di wilayah tersebut yang memiliki tanah yang dinilai sangat cocok untuk budidaya tanaman serealia tadah hujan dan 55 persen tidak cocok.
Ini berarti terjadi aspek ketergantungan yang kuat pada impor, tidak hanya dari Eropa tetapi dari negara-negara ekspor utama lainnya seperti India misalnya, yang adalah salah satu negara pemasok buah dan sayuran terbesar untuk kawasan Timur Tengah.
Namun menurut Mumbai Mirror, karena terjadinya pembatalan penerbangan ke Eropa dan Timur Tengah akibat Covid-19, eksportir buah dan sayur di Mumbai telah melaporkan penurunan bisnis sebesar 25 persen. Tetapi, pada saat yang sama, ketika penerbangan mulai beroperasi, biayanya akan naik dua setengah kali lipat dan itu berarti harga buah dan sayuran akan naik pula.
Alternatif lain bisa dengan cara melalui jalur laut, namun opsi itu bukanlah pilihan yang memungkinkan karena biayanya yang mahal. Selain itu, bagi negara-negara yang bagian dari total pendapatan ekspor barang dagangan yang dibelanjakan untuk impor pangan tinggi dan tidak stabil seperti Timur Tengah, stabilitas harga pangan internasional menjadi perhatian utama. Sekalipun pendapatan ekspor dapat dipertahankan, negara-negara tersebut menghadapi risiko yang signifikan terkait dengan lonjakan harga pangan dunia.
Menurut keterangan Kementerian Ekonomi Uni Emirat Arab (UEA) pada 2015, Dubai mengimpor sekitar 11 ribu ton buah dan sayuran per hari, di mana 30 persen hingga 40 persen diantaranya diekspor kembali ke banyak negara tetangga di kawasan tersebut. Menurut Khaleej Times pada 2019, UEA mengimpor 80 persen makanannya, yang juga merupakan tantangan besar bagi ketahanan pangan negara itu.
Angka serupa juga diungkapkan oleh Arab Saudi. Menurut FoodExport, Kerajaan Saudi bergantung pada impor untuk memenuhi sekitar 75 persen kebutuhan pangannya.

Penerapan Teknologi demi
Kemandirian Pangan
Mengacu pada angka-angka statistik ini, sangat penting bagi negara-negara Timur Tengah untuk menemukan cara agar bisa mandiri di bidang produksi pangan, terutama pada kategori yang menghasilkan produktivitas lebih tinggi per tetes air, seperti buah-buahan dan sayuran.
Jawaban atas tuntutan itu salah satunya adalah perlunya evolusi teknologi pangan yang menekankan kekuatan pendorong bagi mengalihkan minat pada teknologi pangan termasuk penyebaran pandemi, perubahan iklim, pertumbuhan populasi, peluang digitalisasi, serta konsumsi makanan organik, dan konsumen yang berfokus pada kesehatan.
Evolusi diperlukan karena dalam beberapa tahun lagi, industri yang secara tradisional berteknologi rendah dan kompleks seperti pertanian, bisa membuka berbagai aplikasi ke mata rantai global.
"Industri rintisan (startup) foodtech dan agtech, berhasil mengumpulkan hampir 20 miliar dollar AS pada 2019, berarti ada peningkatan sebesar 250 persen selama lima tahun," menurut laporan baru dari perusahaan AgFunder, salah satu perusahaan modal ventura (VC) foodtech dan agtech paling aktif di dunia.
Untuk menyiasati keterbatasan lahan dan hambatan pertanian lainnya, AgFunder memfokuskan diri pada sistem pertanian vertikal.
Ternyata startup foodtech dan agtech telah diikuti oleh perusahaan-perusahaan lain seperti Softbank yang pada 2017 lalu menginvestasikan dana sebesar 200 juta dollar AS bagi sebuah startup di Silicon Valley. Pada tahun yang sama, IKEA dan seorang pebisnis Dubai, H.H Sheikh Mohammed bin Rashid Al Maktoum, menginvestasikan 40 juta dollar AS di AeroFarms. Kemudian pada 2018 Google Ventures telah menginvestasikan dana sebesar 90 juta dollar AS ke Bowery Farming.
Pada 2019, Ocado, pengecer grosir daring asal Inggris, bahkan telah menginvestasikan lebih dari 20 juta dollar AS untuk menanam sayuran hijau dan rempah-rempah di sebelah pusat distribusinya melalui pertanian dalam ruangan.
Menurut laporan yang dipublikasikan Allied Market Research berjudul Vertical Farming Market by Component, Structure, and Growth Mechanism, pada 2018 pangsa pasar global dari pertanian vertikal mencapai 2,23 miliar dollar AS dan diproyeksikan akan terus meningkat hingga mencapai 20 miliar dollar AS pada 2026.
Pertanian vertikal diharapkan menjadi pengganti yang lebih baik dari pertanian tradisional, karena menghasilkan 70 persen lebih banyak tanaman dan menggunakan hampir 90 persen lebih sedikit air dibandingkan dengan pertanian tradisional.
Selama beberapa tahun terakhir, teknologinya telah sangat berkembang sehingga pertanian vertikal meningkatkan efisiensi model bisnisnya dengan menghadirkan ekosistem penuh yang menunjukkan manfaat signifikan pada mata rantai di hilir.

Ekosistem Otomatis dan
Berkelanjutan
Menurut Thomas Ambrosi, CEO ONO Exponential Farming, sebuah startup inovatif yang aktif di sektor agri-teknologi dan fokus pada solusi pertanian vertikal berteknologi tinggi, menjelaskan bahwa model bisnis rintisannya tidak semata didasarkan pada penyediaan infrastruktur pertanian, melainkan menyediakan sebuah ekosistem nyata dengan memanfaatkan platform di mana mekanik, robotika, teknologi informasi, kecerdasan buatan (AI), pembelajaran mesin, realitas virtual, dan pengetahuan agronomi dasar, dicampur bersama sehingga memungkinkan siapa saja, menumbuhkan apa saja, dan di mana saja.
Model bisnis Pertanian Eksponensial ONO itu sendiri difokuskan untuk memberikan solusi robotik paling canggih yang memungkinkan untuk membantu pertanian bergerak maju, berdasarkan mesin berbasis awan (cloud).
Berkat penerapan teknologi canggih ini, ONO Exponential Farming mengklaim tingkat produktivitasnya meningkat secara amat luar biasa. Untuk produksi sayur selada misalnya, produktivitas per meter persegi adalah sekitar 8.000 persen jika dibandingkan dengan sistem pertanian lapangan terbuka, dan 241 persen jika dibandingkan dengan konsep pertanian vertikal yang dikembangkan beberapa tahun lalu.
Selain itu, solusi yang diberikan ONO Exponential Farming menunjukkan adanya tingkat keberlanjutan (sustainability) yang tinggi, menghemat sekitar 70 persen konsumsi per kw/ton dibandingkan dengan pertanian vertikal tradisional serta menghilangkan kontaminan terakhir yang ada dalam proses produksi yaitu keberadaan manusia.
Selain itu ketahanan pangan terutama yang bergantung pada ketersediaan, aksesibilitas, dan keterjangkauan pangan, yang dapat dengan mudah dicapai melalui pertanian vertikal. Dengan kemajuan teknologi, pertanian vertikal di supermarket dan pusat ritel akan secara positif meningkatkan pertumbuhan industri, yang tidak hanya akan mengurangi waktu dan biaya transportasi, tetapi juga akan meminimalkan kemungkinan pembusukan.
Kelangkaan sumber daya produksi dalam negeri dan ketergantungan pada pihak ketiga telah menyoroti kebutuhan mendesak akan solusi teknologi yang inovatif, hemat biaya, dan otomatis dalam proses produksi pangan.
Di kancah global, inovasi pertanian dalam ruangan menarik minat besar untuk kesempatan menjamin hasil baik dari segi kuantitas maupun kualitas, dan banyak inisiatif telah diluncurkan untuk menemukan solusi teknologi dan operasional yang paling efektif.
Keadaan darurat yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 juga telah menggarisbawahi perlunya mengurangi ketergantungan pada kehadiran manusia dalam proses produksi makanan, dan juga memperjelas fakta bahwa otomatisasi robot tidak lagi menjadi alternatif, tetapi sebuah kebutuhan.
n entrepreneur.com/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Ilham Sudrajat

Komentar

Komentar
()

Top