Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Pacu Kinerja Neraca Perdagangan

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

oleh sri juli asdiyanti

Neraca perdagangan Indonesia kembali terpuruk. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat defisit neraca perdagangan Indonesia sepanjang April 2019 mencapai 2,5 miliar dollar AS dan menjadi rekor terparah sejauh ini. Sejak periode Januari sampai April 2019, akumulasi defisit mencapai 2,65 miliar dollar AS. Menurut Kepala BPS, Suhariyanto, defisit pada bulan ini disumbang defisit neraca sektor migas dan nonmigas. Sektor migas mengalami defisit sebesar 1,49 miliar dollar AS. Sementara itu, sektor nonmigas mengalami defisit sebesar 1,01 miliar dollar AS.

Defisit neraca perdagangan Indonesia bukan baru terjadi tahun ini. Pada 2018, defisit yang terjadi juga cukup tinggi yaitu berkisar 8,57 miliar dollar AS. Hal ini tentu menjadi alarm atau peringatan kurang baik di tengah isu melambatnya perekonomian global. Melebarnya defisit neraca perdagangan akan berimbas pada pasar keuangan, sentimen di pasar modal, serta pertumbuhan ekonomi.

Pembayaran defisit neraca perdagangan berisiko mengikis cadangan devisa negara dan menekan nilai tukar rupiah. Terlebih lagi, perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang belum juga mereda. Tidak dapat dipungkiri, perang dagang antara dua raksasa ekonomi dunia ini berdampak pada Indonesia karena kedua negara tersebut merupakan mitra dagang utama Indonesia.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menekan defisit. Sayangnya, langkah ini masih belum sepenuhnya berhasil. Hal ini boleh jadi karena ada beberapa hal yang perlu dikaji ulang oleh pemerintah. Pertama, defisit neraca perdagangan yang begitu besar mengindikasikan bahwa Indonesia masih belum bisa mengurangi ketergantungannya pada produk impor.

April 2019, BPS mencatat peningkatan impor pada semua golongan penggunaan barang dibandingkan bulan sebelumnya. Peningkatan tertinggi terjadi pada barang konsumsi dengan kenaikan sebesar 24,12 persen. Sementara itu, bahan baku atau penolong naik sebesar 12,09 persen dan barang modal sebesar 6,78 persen.

Tren kenaikan impor secara bulanan sering dijumpai pada bulan Ramadan dan jelang Idul Fitri. Kembali lagi, pengendalian perilaku konsumtif di bulan Ramadan serta antisipasi lonjakan permintaan kebutuhan pokok harus dilakukan untuk mencegah bocornya keran impor selama bulan tersebut.

Kedua, pembenahan komposisi utama ekspor Indonesia. Faktanya, ekspor Indonesia didominasi oleh ekspor bahan mentah yang pergerakan harganya dipengaruhi oleh iklim perdagangan internasional. Defisit April 2019 ini salah satunya juga disebabkan oleh anjloknya harga beberapa komoditas penyumbang ekspor Indonesia. Di antaranya, batu bara, minyak kernel, timah, dan nikel di pasar dunia.

Kinerja sektor industri manufaktur yang masih perlu dioptimalkan juga membatasi kemampuan Indonesia untuk mengekspor barang jadi atau final goods. Geliat pertumbuhan industri masih harus dibenahi melalui kebijakan yang tepat serta pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Implementasi Revolusi Industri 4.0 lewat roadmap Making Indonesia 4.0 harus selalu dikaji dan dievaluasi agar berjalan sesuai dengan harapan.

Selain itu, Indonesia perlu mendongkrak partisipasinya dalam Global Value Chain (GVC). Saat ini indeks kontribusi Indonesia adalah 43,5 masih berada di bawah rata-rata kontribusi agregat negara berkembang yaitu 48,5. Indeks kontribusi Indonesia masih jauh di bawah Malaysia dengan indeks kontribusi yang sangat tinggi mencapai 60,8. Begitu pula dengan Thailand sebesar 54,3 dan Tiongkok sebesar 47,7.

Partisipasi Indonesia dalam GVC perlu ditingkatkan untuk mengurangi dominasi ekspor komoditas mentah. GVC memiliki konsep dasar, melibatkan beberapa negara dalam proses produksi barang, pemasaran, maupun investasi baik berupa input maupun tenaga kerja. Keunggulan GVC, menawarkan efisiensi kegiatan perusahaan. Setiap negara memiliki spesialiasi dan pembagian risiko.

GVC dalam pelaksanaannya memungkinkan sumber daya untuk diolah secara optimal, sehingga dapat meningkatkan kualitas output yang dihasilkan. Melalui keikutsertaan Indonesia dalam GVC memungkinkan untuk dapat bergabung menjadi bagian dalam rantai produksi dunia.

Selain itu, Indonesia akan mendapatkan nilai tambah tidak hanya dari ekspor komoditas mentah, tetapi juga ekspor industri pengolahan. Melalui roadmap Making Indonesia 4.0 peran Usaha Mikro, Kecil dan Menengah untuk mendorong GVC juga seharusnya dapat ditingkatkan. Strategi ini akan efektif karena selain mendorong nilai tambah ekspor, pertumbuhan ekonomi juga dapat berjalan secara inklusif dan hubungan Indonesia dengan negara lain dapat terjalin.

Upaya lain untuk mengurangi defisit neraca perdagangan dengan mengkaji kembali perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement) dengan beberapa negara dan kawasan. Perluasan basis pasar ke beberapa negara nontradisional melalui diplomasi dagang dapat mengurangi dampak perang dagang terhadap Indonesia.

Saat ini Tiongkok dan Amerika Serikat masih menjadi pasar utama ekspor maupun impor Indonesia. Gejolak perekonomian yang terjadi di kedua negara tersebut akan berdampak langsung terhadap perekonomian Indonesia. Penulis Kepala Seksi Statistik Harga Konsumen dan Perdagangan Besar BPS

Komentar

Komentar
()

Top