Kawal Pemilu Nasional Mondial Polkam Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Otomotif Rona Telko Properti The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis Liputan Khusus

Nukila Evanty Nilai Masyarakat Adat Berhadapan Bisnis dan Pembangunan

Foto : Istimewa

Ilustrasi. Alih fungsi lahan hutan salah satunya tambang batu bara.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Aktivis hak asasi perempuan, feminisme, dan budayawan Indonesia Nukila Evanty menilai masyarakat adat di forum internasional disebut dengan indigenous people adalah bagian dari keberagaman masyarakat Indonesia.

"Sehingga seharusnya hidup masyarakat adat termasuk tanah, hutan, sosial budaya mereka dijamin dan dilindungi konstitusi sesuai dalam pasal 18 B ayat 2 dan undang-undang," kata Nukila pada siaran pers, di Jakarta, Senin (14/11).

Nukila mengatakan sejauh yang dialami saat ini, kedudukan masyarakat adat di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara mengalami banyak kesulitan. Karena masih banyak masyarakat adat terancam, mengalami ekstorsi (Extortion) yaitu terancam, terintimidasi, terdiam karena kekhawatiran dan ketakutan, teraniaya, terusir dari tanah tempat kelahiran mereka sendiri dan kehilangan dan terampas hak-haknya atas tanahnya yang disebut sebagai tanah ulayat.

"Kehilangan air bersih, hutan yang telah dibabat habis, kehilangan sumber makanan yang biasa mereka dapatkan dengan mudah di tanah mereka sendiri akibat penguasaan tanah oleh para pebisnis dan investor," jelasnya.

Nukila Evanty, aktivis hak asasi perempuan, feminisme
dan budayawan Indonesia.

Menurut Nukila, eksistensi masyarakat adat selalu dihadapkan dengan pebisnis dan pembiaran akan nasib masyarakat adat. Mulai dari Tanah dan hutan bagi masyarakat adat adalah darah, jantung dan jiwa mereka.

"Jadi bayangkan ketika investor masuk dan mengambil tanah dan hutan mereka padahal telah didiami dan diperjuangkan masyarakat adat tersebut dari satu generasi ke generasi berikutnya," tuturnya.

Selain itu, kata Nukila, tanah dan hutan mereka telah beralih fungsi menjadi lahan untuk pertambangan seperti batu bara dan minyak bumi atau lahan pertanian seperti salah satunya perkebunan sawit.

"Provinsi Riau, tempat saya dilahirkan dan dibesarkan adalah provinsi dengan luas perkebunan sawit terluas di Indonesia yaitu 3,38 juta ha atau 20,68 persen dari total luas areal perkebunan kelapa sawit yang tersebar di 26 provinsi atau sebesar 16.38 juta hectares, seperti dilansir dari data Kepmentan (Keputusan kementerian Pertanian No.833 /2019). Serta banyak juga kasus-kasus yang tidak terekspose baik oleh media maupun oleh masyarakat sipil," ucapnya.

Ada beberapa contoh kasus, Nukila menyebutkan yang pernah ikuti dalam kampanye dan advokasi adalah izin bagi perusahaan tambang dan pabrik semen di Kampung Lengko Lolok dan Luwuk, Desa Satar Punda, Lambaleda,Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).

"Masyarakat Lengko Lolok menolak karena jika tambang dan pabrik semen itu sampai masuk ke kampung mereka, maka tidak terhindarkan adanya relokasi kampung, termasuk nilai-nilai sosial budaya dan tradisi mereka serta alih fungsi lahan pertanian," sambungnya.

Dalam kajian dan kunjungan, pihaknya ke beberapa masyarakat adat, melihat bagaimana masyarakat adat bergulat dengan kesulitan untuk mengaktualisasikan budaya dan tradisinya sendiri, akan terhenti dengan sendirinya dan tidak bisa diteruskan ke generasi berikutnya.

"Saya pernah penelitian ke suku Akit di desa Titi Akar, di Rupat Utara, tradisi mereka membakar hutan untuk berladang sudah dilarang, padahal menurut mereka berladang padi itu adalah tradisi dan mata pencaharian utama, sehingga mengakibatkan mereka beralih menjadi nelayan," paparnya.

"Malah hutan yang sejatinya mereka kelola dengan bijak beralih menjadi milik perusahaan tanpa ada proses berkonsultasi dengan mereka. Kemudian saya penelitian ke Desa Kedabu, Rokan Hulu, ke masyarakat adat Talang Mamak Riau, tahun 2016, Batin (kepala suku) masyarakat adat Talang Mamak, termasuk perempuan dan generasi muda disana sudah berteriak lama kehilangan hutan, kelapa sawit ditanami kurang dari 500 meter dari bibir sungai, sungai menjadi surut bahkan mengering," tuturnya.

Padahal, air sungai adalah segalanya buat masyarakat adat Talang Mamak, ada ritual, kebutuhan minum sehari-hari, mandi dan sebagainya terutama bagi perempuan Talang Mamak yang merasakan langsung dampak dari kehilangan sungai dan terdegradasi lingkungan mereka.

"Masyarakat adat Talang Mamak akhirnya membuat sumur untuk memenuhi kebutuhan akan air bersih," ungkapnya.

Saat ini, lanjut Nukila, masyarakat masih harus berjuang menghadapi pandemi COVID-19, akses terhadap air bersih menjadi lebih penting dari sebelumnya.

"Masyarakat diharuskan menjaga kebersihan dan menjadi salah satu upaya melindungi diri pribadi dari COVID-19 misalnya menjaga higienitas tubuh, kerap mengganti baju dan mencuci pakaian setelah bepergian dan mencuci tangan dengan air bersih," sambungnya.

Disamping itu, Nukila menjelaskan bagi perempuan di masyarakat adat, merekalah penjaga keluarga dalam arti menyediakan air bersih, mencuci, memasak bagian dari sumber mata air dan air sungai buat keluarganya.

"Sehingga semakin sulit saat ini karena air sungai mengering, mengendap, air menjadi tercemar karena limbah dari perusahaan dan kelangkaan air karena bisnis dan perusahaan yang ada di sekitar tempat mereka tinggal belum punya sensitivitas untuk menghormati masyarakat tempat bisnis atau perusahaan mereka beroperasi," paparnya lagi.

Nukila menyarankan bisnis bagaimana yang seharusnya dilakukan oleh bisnis dan perusahaan agar tidak menyebabkan pencemaran dan kerusakan pada sumber air, tanah dan hutan.

"Bisnis yang mengajak masyarakat adat dan masyarakat desa untuk berdialog, berkonsultasi dan mendapatkan persetujuan mereka dalam setiap pengambilan keputusan. Saya kira pebisnis dan perusahaan apalagi perusahaan skala multinasiol sudah mulai memahami prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia (UNGPs)," jelasnya lagi.

Tiga pilar UNGPs yang dikenal bahwa bisnis itu harus melindungi, menghormati, memulihkan sehingga pebisnis atau perusahaan harus menghindari terjadi pelanggaran hak masyarakat adat dan harus memberikan ganti atas kerugian yang diderita oleh korban sebagai dampak dari kegiatan bisnis.

Tidak hanya itu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus lebih maksimal dalam upaya mendorong perusahaan dan pebisnis untuk melakukan upaya menginternalisasi aturan mereka agar lebih patuh untuk penghormatan hak-hak masyarakat adat.

"Tak sekedar hanya mengeluarkan CSR (Corporate Social Responsibility) semua hal akan teratasi dengan baik tetapi perlu upaya yang lebih intens untuk mengadakan riset awal ke daerah tempat perusahaan beroperasi, apa saja budaya sosialnya, lakukan pendekatan dengan berdialog dan komunikasi, konsultasi dengan lebih efisien dan menjelaskan tanggung jawab pebisnis, manfaat bisnis tersebut bagi masyarakat secara transparan," pungkasnya.


Redaktur : Sriyono
Penulis : Yohanes Abimanyu

Komentar

Komentar
()

Top