Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Ngeri! Indonesia Pencemar Laut Terbesar Kedua Dunia, Pemulung dan Bank Sampah Harus Diberdayakan

Foto : Koran Jakarta/KPNas

WWF Indonesia menggelar diskusi Policy & Advocacy bertajuk: Posisi dan Peran Pemulung Dalam Dinamika Perkembangan Sirkular Ekonomi di Jakarta, (12/9). Acara diikuti WWF Indonesia, pengelola Bank Sampah Jakarta dan Depok, aktivis lingkungan.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - WWF Indonesia menggelar diskusi Policy & Advocacy bertajuk: Posisi dan Peran Pemulung Dalam Dinamika Perkembangan Sirkular Ekonomi di Jakarta, (12/9). Acara diikuti WWF Indonesia, pengelola Bank Sampah Jakarta dan Depok, aktivis lingkungan, dan lainnya.

Andik Hardiyanto dari WWF Indonesia mengatakan, diskusi digelar untuk memfasilitasi pelaksana dan mitra Plastic Smart Cities (PSC) dalam memahami posisi dan peran pemulung dalam dinamika perkembangan Sirkular Ekonomi.

Program PSC, kata Andik, bentuk dukungan WWF terhadap penanganan sampah, terutama sampah plastik di kawasan Kali Ciliwung. Mtra kerja WWF di wilayah Bogor, Depok, Jakarta akan melakukan pendampingan pemulung.

Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) Bagong Suyoto yang menjadi narasumber di acara itu menyatakan, saat ini pengelolaan sampah di kota besar, di darat dan laut masih buruk. Indonesia adalah pencemar laut terbesar kedua setelah Tiongkok akibat sampah plastik.

Pria yang juga Ketua Umum Asosiasi Pelapak dan Pemulung Indonesia (APPI) ini memaparkan laporan National Plastic Action Partnership dari Kemenko Marves 2019 yang menyatakan bahwa Indonesia sebagai pencemar laut terbesar kedua setelah RRT akibat sampah plastik.

Laporan itu juga menyatakan, Indonesia menghasilkan sampah plastik 6,8 juta ton/tahun, terus tumbuh 5%/tahun. Sekitar 4,8 juta ton/tahun sampah plastik salah kelola. Sebanyak 48% sampah plastik dibakar secara terbuka. Sebanyak 13% sampah plastik dibuang di tempat penimbunan terbuka resmi. Sementara sampah plastik yang mengalir ke laut sekitar 30%.

"Kondisi yang dialami berkaitan dengan pengelolaan sampah sekarang ini, diantaranya kekurangan data riel, akurat, dan valid yang dibutuhkan guna penyusunan kebijakan yang baik. Masih tergantung pada TPA yang mayoritas dikelola secara open dumping. Sampah belum dipilah dari sumber dan TPA," paparnya.

Selain itu, Leachate di TPA belum dikelola dengan baik. Sampah di TPA open dumping sering longsor dan ketika musim kemarau sering terbakar akibatnya tingkat pencemaran makin massif. Pendekatan konvensional "Kumpul-Angkut-Buang" masih diterapkan. Sejumlah TPA di kabupaten/kota menuju situasi darurat sampah, terutama metropolitan Jabodetabek.

"Sebetulnya, sudah banyak yang peduli sampah seperti bank sampah, pemulung, komunitas, dan lainnya. Pemulung menangani sampah an-organik, seperti plastik, kertas, logam, beling, busa hingga tulang hewan. Semua sampah yang laku dijual dipungut pemulung. Pemulung bekerja dengan motif murni ekonomi," katanya.

Posisi dan peran pemulung sebagai salah satu pelaku ekonomi sirkular. Yaitu meminimalisasi sampah yang masuk ke lingkungan dan mengembalikan sampah menjadi sumberdaya untuk dimanfaatkan industri.

Di sini ada solusi ekologi dan ekonomi. Sejak tahun 1970-an, 1980-an pemulung sudah menjalankan 3R (reduce, reuse, recycle) sampah. Pekerjaan utama pemulung, yakni mengais, memilah sampah, dll.

"Namun, nasib pemulung masih menyedihkan. Mereka tinggal di gubuk-gubuk kumuh dan bacin, tanpa air bersih, MCK seadanya, hidup di lingkungan tercemar, hidupnya sangat tergantung pada bos, banyak terjerat utang dan rente, tidak ada keamanan dan jaminan kerja. Ketika terjadi kecelakaan bosnya tidak peduli," ungkap Bagong.

"Pemulung minta diakui keberadaannya oleh pemerintah pusat dan daerah, minta dukungan permodalan, teknologi, pasar daur ulang dan informasi yang cepat," katanya.

Sementara itu pengurus Bank Sampah dari Jakarta dan Depok mempertanyakan dukungan infrastruktur, permodalan dari pemerintah setempat. Bahkan tidak terdaftar di Dinas Lingkungan Hidup sudah berdiri beberapa tahun.

Kepada mereka, Bagong menyarankan agar melakukan pendekatan ke kepala Dina LH setempat, Direktorat Pengurangan atau Penanangan Sampah KLHK, Asosiasi Bank Sampah Indonesia (ASOBSI), dll. Juga melakukan kegiatan dan publikasi agar pemerintah, publik, dunia usaha, media massa mengetahui keberadaan bank sampah.

"Ada beberapa bank sampah berhasil di Jakarta bisa dicontoh. Sesulit apa pun situasinya, kita harus bekerja sungguh-sungguh, jangan pantang menyerah. Tak banyak bicara, diskusi, rapat di ruangan bagus, lebih baik anggarannya untuk kegiatan nyata. Semua harus berupaya keras mengurangi sampah, membangun pilot project pusat-pusat pengolahan sampah. Dan, pusat-pusat pengolahan sampah itu didukung dengan multi-teknologi dengan melibatkan warga sekitar," katanya.

"Kita harus bisa membuat pilot project pengolah sampah satu, tiga, lima titik hingga lima puluh atau seratus titik. Nanti, akan ditiru atau diadopsi pihak lain. Mulai sekarang lebih keren dan hebat mengolah sampah daripada banyak bicara, banyak kritik yang hanya memalukan diri sendiri!" tandasnya.


Redaktur : Lili Lestari
Penulis : Lili Lestari

Komentar

Komentar
()

Top