Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Negara dan Distopia Demokrasi

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Agung SS Widodo, MA

Sir Thomas More, seorang humanis berkebangsaan Inggris, pernah menulis buku fiksi (filsafat politik) berjudul Utopia. Tulisan tersebut cukup relevan dengan konteks situasi negara, utamanya berkaitan dengan sengkarut demokrasi yang baru saja terjadi. Thomas More menggambarkan, utopia tidak lain perwujudan dari suatu masyarakat yang hidup di sebuah pulau di mana mereka hidup dengan tertib teratur. Mereka bebas dari berbagai kelemahan dan kekurangan.

Pertanyaannya, mungkinkah (suatu saat) bangsa ini mengonversi kehidupan masyarakat tersebut dengan pulau bernama Indonesia. Jawabannya, tentu sangat bergantung pada seberapa besar kemauan negara memahami dinamika citizenship, di mana rakyat menjadi aktor yang sebenarnya dalam praksis kenegaraan. Semua menyadari sepenuhnya, alih-alih ingin meraih angan atas ide (utopis) demokrasi, yang terjadi justru sebaliknya: distopia. Ini dimengerti ada kesalahan dan kesesatan dalam nalar demokrasi.

Nalar distopia sudah mengejawantah dalam praktik demokrasi. Salah satunya ditandai kematian kritik dan kontrol publik atas elite politik setelah UU MD3 disahkan. Persoalan ini bisa jadi muncul karena hilangnya ruang kesalehan dan keutamaan, sebagaimana pemikiran Thomas More yang tertuang dalam buku The best state of a commonwealth and the new island or utopia (1516).

Kesalehan dijelaskan sebagai ajaran agama yang didasarkan pada kasih sayang dan keutamaan yang berarti kekuatan moral dari kesadaran manusia. Inilah yang secara filosofis menjadi pondasi paling elementer untuk menuju suatu negara ideal. Bacaan atas negara ideal tentunya bisa dipahami dengan membaca relasi negara-rakyat di mana tiap-tiap orang memiliki wilayah hak dan kewajiban tanpa saling menegasikan. Ini sebagaimana telah teregulasi secara konstitusional dalam Undang-Undang Dasar.

Dalam kontestasi politik, publik sangat mengharapkan sebuah idealisme demokrasi yang barangkali referensi mereka atas idealisme tersebut terbayang-bayang gambaran Utopis Thomas More. Penyelenggara negara, eksekutif dan legislatif, jangan sampai alpha dan gagap melihat realitas citizenship yang berkembang sekarang. Mereka mengharapkan suatu tuntunan demokrasi yang mencerahkan dan mendorong partisipasi.

Bukan justru sebaliknya, warga selalu diperlihatkan tontonan politik yang tidak beradab dan keluar dari etika kesalehan serta keutamaan. Beberapa contoh kegagalan negara membangun keutamaan mulai dari tereduksinya aspek moralitas sosial masyarakat, sehingga merebak tindakan-tindakan intoleran yang digiring pada perspektif sentimen SARA. Contoh, kasus pembunuhan ulama, persekusi, dan penyerangan tempat ibadah.

Kemudian hilangnya moralitas para elite politik yang ditandai dengan matinya ruang kritik. Hal ini membuat disparitas kepentingan rakyat atas kerja-kerja wakil rakyat semakin lebar dan sangat dimungkinkan tidak lagi tersentuh.

Memihak Rakyat

Pemahaman atas demokrasi salah satunya terletak pada pemegang kedaulatan yaitu rakyat. Maka, nalar demokrasi seharusnya mengejawantahkan proses keberpihakan pada rakyat. Ini seturut dengan adanya kontrol atas lembaga-lembaga negara yang diberi amanah untuk mewujudkan kedaulatan tersebut dalam bentuk kebijakan strategis yang melindungi hajat hidup masyarakat. Sikap antikritik dalam ruang demokrasi adalah banalitas yang akan menjadi penyakit dan membawa bibit demokrasi buruk di masa mendatang.

Negara, secara de facto harus hadir memberi keberpihakannya atas kepentingan bangsa. Salah satunya dengan mendorong pemahaman sebagai warga negara. Literasi politik dan kewarganegaraan inilah yang akhirnya akan berkorelasi positif dengan upaya demokratisasi kenegaraan yang lebih beradab, sebagaimana kemudian Thomas More melihatnya sebagai suatu keutamaan. Lebih jauh bicara mengenai kesalehan, persoalan ajaran agama dalam ruang negara. Wuthnow (1999) dalam tulisan Saiful Mujani: Muslim Demokrat, menjelaskan justru ada dasar logika yang kuat antara agama dan partisipasi politik. Studi kasus di Amerika, para anggota gereja yang aktif cenderung diperkenalkan dengan ajaran agama yang mendorong menjadi warga negara yang bertanggung jawab.

Adapun dalam pandangan McDonough, Shin, dan Moises, dengan mengambil contoh Brazil dan Korea Selatan. Agama menjadi faktor penggerak demokratisasi. Posisinya tidak hanya menjadi pendorong bahkan menjadi salah satu faktor utama bagi aksi kolektif. Ini artinya membaca keterlibatan agama sebagai amunisi politik bukan sesuatu yang perlu ditabukan secara berlebihan.

Pada situasi seperti ini, kiranya tepat jika wacana yang ditawarkan memperkuat peran warga negara dalam bacaan politik sebagai prakondisi kelahiran iklim demokrasi yang lebih sehat dan beradab. Sekiranya pemikiran seperti ini jauh lebih rasional daripada deligitimasi kesalehan atas negara. Nalar ini tentunya tidak berdiri di ruang kosong.

Baca Juga :
Curi Start Pilpres

Dengan kata lain, dibutuhkan kesadaran untuk melek politik. Dengan begitu tidak ada lagi yang secara gegabah atau serampangan melakukan upaya demoralisasi politik, sehingga berujung pada distopia demokrasi. Bangsa ini harus lebih cerdas memahami kemauan rakyat dengan menyajikan narasi demokrasi yang humanis.

Penulis Peneliti Sosial Politik Pusat Studi Pancasila UGM

Komentar

Komentar
()

Top