Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Selasa, 21 Des 2021, 07:09 WIB

Curi Start Pilpres

A woman casts her ballot at a polling center during the regional election in Denpasar on Indonesia resort island of Bali on December 9, 2020.

Foto: SONNY TUMBELAKA / AFP

Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2004 merupakan era baru demokratisasi Indonesia. Saat itu untuk pertama kalinya penduduk Indonesia bisa memilih langsung presiden dan wakil presiden selain anggota legislatif.

Sebelum itu, sejak Pemilu pertama 1955 hingga 1999, masyarakat Indonesia hanya memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Rakyat tidak bisa memilih presidennya secara langsung.

Presiden hanya dipilih oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) yang terdiri dari anggota DPR dari hasil Pemilu ditambah dengan Fraksi Utusan Daerah dan Fraksi ABRI.

Di era itu, masyarakat Indonesia hanya mengenal sekali Pemilu dalam 5 tahun. Itu dilakukan serentak. Ingar bingar Pemilu hanya terjadi lima tahun sekali, hanya menjelang pelaksanaan pemilu, terutama saat kampanye. Selebihnya, rakyat punya kesibukannya sendiri dan tidak ada suasana pemilu, baik itu pemasangan baliho calon legislatif dan calon eksekutif maupun survei yang mengukur popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas calon kontestan.

Sejak 2004, bukan hanya permilihan presiden yang dilakukan secara langsung. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) juga secara langsung, baik itu pemilihan bupati, walikota, maupun gubernur. Pilkada dilakukan serentak tetapi tidak semuanya. Pilkada serentak, terakhir diadakan 2020, yang melibatkan 270 daerah baik itu kabupaten, walikota, dan provinsi dari total 415 kabupaten, 93 kota, dan 34 provinsi di Indonesia.

Meski sudah diusahakan serentak, namun tidak bisa dipungkiri, hampir sepanjang tahun suasana Pemilu dirasakan masyarakat. Terlebih di daerah yang pemilihan bupati atau pemilihan walikotanya tidak bersamaan dengan pemilihan gubernur dan pemilihan presiden. Bisa jadi sepanjang tahun warga daerah tersebut akan disuguhi dengan berita-berita dan suasana pemilu.

Pilpres misalnya, baru akan diadakan pada 2024, namun tidak bisa dipungkiri sejak tahun lalu, bahkan sejak Presiden Joko Widodo dilantik untuk kedua kalinya, persiapan Pilpres sudah dilakukan oleh beberapa kelompok. Bahkan di tahun ini, persiapan Pilpres makin kentara lagi, makin terang-terangan.

Sejumlah relawan sudah mulai mendeklarasikan calon presidennya masing-masing untuk Pilpres 2024. Tentu hal itu bukan tanpa sepengetahuan sang calon. Bahkan bisa jadi itu perintah atau keinginan dari kandidat. Suasana ini pasti akan berlanjut hingga menjelang pelaksanaan Pilpres. Tidak hanya deklarasi, upaya menaikkan popularitas pun dilakukan dengan survei-survei yang dibiayai kandidat.

Beda dengan curi start lomba lari di olimpiade yang langsung didiskualifikasi, curi start untuk Pilpres 2024 seperti deklarasi yang dilakukan oleh pendukung memang sah-sah saja dilakukan, tidak melanggar aturan. Tetapi kurang etis saja dan kenapa harus dilakukan sekarang, di saat Pilpres masih kurang tiga tahun lagi. Kenapa kita tidak menunggu pada saatnya nanti, sesuai dengan jadwal yang ada di Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Persiapan untuk menang boleh-boleh saja, tetapi tidak harus deklarasi. Apa tidak bosan dengan suasana Pilpres? Apa kita mau terus-terusan hidup dengan suasana Pilpres? Terus kapan kita bekerja, berproduksi untuk meningkatkan perekonomian dan mengejar ketertinggalan kita dari negara lain?

Redaktur: Koran Jakarta

Penulis: Koran Jakarta

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.