Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Narasi Ekonomi Pilpres 2019

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Amalia Sustikarini

Delapan bulan menjelang perhelatan pemilihan presiden, perang narasi telah dimulai. Mari lupakan sejenak hiruk-pikuk keseharian yang sarat dengan muatan ideologis dan identitas primordialisme. Pertarungan narasi Pemilu 2019 berangkat dari elemen mikro kegelisahan para ibu atau yang kemudian disebut "emak-emak". Mereka gelisah karena kenaikan harga barang pokok.

Dimulai dari cuplikan pidato cawapres Sandiaga Uno, narasi ini diulang Ketua MPR, Zulkifli Hasan, dalam pidato kenegaraan menjelang hari kemerdekaan. Narasi ini secara lebih luas sebenarnya tentang partisipasi politik perempuan.

Partisipasi politik memiliki wujud sangat luas. Verba dan Nie mendeskripsikannya sebagai aktivitas legal warga negara yang sedikit banyak secara langsung memengaruhi pemilihan pejabat pemerintah atau keputusan-keputusan yang mereka ambil. Aktivitas ini bervariasi lebih dari sekadar memberikan suara saat pemilu. Namun, juga dapat berupa terlibat aktif di organisasi politik, bekerja dalam kampanye, dan melakukan kontak dengan pejabat pemerintah. Juga, membuat petisi, demostrasi, atau protes.

Di dunia politik yang sering diindetikkan dengan budaya patriarki, perempuan memang masih terus berjuang dan diperjuangkan agar setara dengan pria. Di Amerika dan beberapa negara lain seperti Selandia Baru, kaum perempuan harus berjuang untuk dapat memilih dalam pemilu lewat gerakan "Women Suffrage".

Perempuan Indonesia sebenarnya lebih beruntung karena dalam pemilu pertama tahun 1955, dapat langsung memilih. Namun, dalam perjalanan waktu, aspek partisipasi politik lain seperti keterlibatan di parlemen atau dalam jabatan publik dirasa belum optimal. Padahal, adanya anggota legislatif atau kepala daerah perempuan diharapkan dapat mendorong dikeluarkannya kebijakan-kebijakan yang memperhatikan kepentingan perempuan.

Pada tahun 2003 lewat Undang-Undang No 12 Tahun 2003 tentang Pemilu, keterwakilan perempuan di legislatif dicoba ditingkatkan dalam kebijakan affirmative action. Partai politik diminta memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.

Potensi pemilih perempuan Indonesia sangat besar. Dalam Pilpres 2014, jumlah total pemilih laki-laki dalam dan luar negeri 95.220.779, sedangkan jumlah pemilih perempuan terpaut tidak terlalu jauh, yaitu sebesar 95.086.335. Data jumlah pemilih Pilkada Serentak 2018 menunjukkan bahwa pemilih perempuan berjumlah 76.165.258. Ini lebih besar dari pemilih laki-laki sejumlah 75.927.052.

Selain dari faktor jumlah, karakteristik berjejaring dan hubungan sosial yang erat di kalangan perempuan memiliki efek penyampaian pesan yang cepat dan berpengaruh. Ini terutama ditunjang dengan maraknya penggunaan sarana komunikasi melalui internet. Perempuan juga berperan sebagai agen ekonomi terkecil di keluarga. Ini bisa lewat perencanaan keuangan rumah tangga, sehingga menjadi target strategis kampanye politik berkaitan dengan masalah ekonomi.

Hal inilah yang sepertinya ditangkap dengan sangat baik oleh pasangan kandidat capres-cawapres. Saat narasi identitas primordial menjadi kurang relevan untuk diangkat kembali, maka isu ekonomi mendapat tempat dengan target kalangan pemilih perempuan atau "emak-emak". Harus diakui ini sebuah strategi pemasaran politik yang baik. Kebijakan ekonomi petahana lewat program andalan infrastruktur yang dijelaskan dengan bahasa teknokratis seakan tenggelam dengan harga telur yang memberatkan rumah tangga.

Namun di luar strategi ini, banyak yang harus dikaji kembali, terutama agar perempuan tidak hanya digunakan sebagai target kampanye politik berorientasi jangka pendek. Penggunaan isu ekonomi seyogianya dibarengi penjelasan rasional sederhana tentang ekonomi mikro dan makro.

Perempuan harus paham faktor-faktor penyebab fluktuasi harga, dan cara menghadapinya. Juga informasi tentang pengaruh ekononomi global ke ekonomi domestik agar para emak mendapat pengetahuan tentang perekonomian global. Dengan begitu, mereka tidak terjebak pada analisis konspiratif saat terjadi krisis.

Diperlukan pula program-program pemberian akses ekonomi yang lebih luas kepada perempuan agar dapat melakukan penguatan ekonomi keluarga, Kuatnya akses dan kemandirian ekonomi akan membuat perempuan lebih berdaya dan memiliki peran dalam pengambilan keputusan ekonomi rumah tangga.

Cukup banyak cerita sukses dari negara lain tentang pengaruh positif micro-credit untuk pemberdayaan ekonomi perempuan seperti Grameen Bank Bangladesh yang diinisiasi peraih nobel, Muhammad Yunus. Menurut Yunus, perempuan relatif lebih berhasil memanfaatkan micro-credit, di antaranya karena mereka mampu memanfaatkan pinjaman dengan menginvestasikannya pada sektor produktif daripada membelanjakan untuk barang-barang konsumtif.

Perempuan juga memiliki track record pengembalian pinjaman yang baik. Wanita yang berdaya secara ekonomi juga akan berdampak positif bagi perbaikan gizi, kesehatan, dan pendidikan anak-anaknya.

Di luar pemberdayaan ekonomi level keluarga, para kandidat sebaiknya memahami emak emak pun harus memasuki sektor sektor ekonomi berbasis teknologi dan industri kreatif. Perempuan didorong untuk paham tekfin (fintech), pembelian saham, dan strategi investasi, berjualan secara daring, dan memahami prosedur ekspor impor.

Beri Edukasi

Pada intinya, fokus para politikus pada kegelisahan kaum ibu atas kenaikan harga-harga seyogianya dibarengi juga dengan program pemberian pengetahuan alias edukasi tentang perekonomian nasional dan global. Juga, pemberdayaan ekonomi, perluasan akses modal, serta akselerasi menuju ekonomi digital dan industri kreatif.

Apabila hanya berhenti di retorika kenaikan harga dan narasi ketidakadilan ekonomi, dikhawatirkan emak-emak hanya dipergunakan untuk kepentingan politik lima tahunan saja, Setelah itu mereka dilupakan. Suara emak-emak dalam pemilu dengan segala kegigihan dan perhatian bagi rumah tangga, tak berdampak banyak bagi kemajuan ekonomi keluarga dan negara. Mereka hanya diperlat untuk mendulang suara.


Penulis Dosen Binus University Lulusan Master of International Law and Politics University of Canterbury, New Zealand

Komentar

Komentar
()

Top