Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Muhammadiyah dan Politik

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Dua organisasi kemasyarakat Islam terbesar di Tanah Air; Nachdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah menegaskan, secara institusi organisasi, tidak terlibat politik praktis. Dalam konteks Pilpres 2019, baik NU maupun Muhammadiyah tidak masuk dalam tim sukses kedua pasangan calon petarung.

Dalam sejarah perjalan Muhammadiyah, sejak didirikan KH Achmad Dahlan 18 November 1912 di Yogyakarta untuk memajukan pendidikan dan kesejahteraan sosial anggotanya. Dalam rentang waktu lebih seabad, hiruk pikuk politik memang sempat menarik-narik Muhammadiyah terlibat politik, tetapi mampu dihalau. Begitu pun ketika Pilpres 2019 akan digelar, kembali Muhammadiyah dicoba untuk ditarik ke gelanggang politik praktis. Tak tanggung-tanggung yang mencoba menarik kali ini tokoh Muhammadiyah sendiri, Amien Rais. Protes pun terus berdatangan.

Begitu pula dengan NU, organisasi besar yang didirikan pada 31 Januari 1926 di Surabaya oleh KH Wahab Hasbullah dan Hasyim Asya'ari (kakek Gus Dur), telah lama menetapkan khittah organisasinya pada 1984 tidak berpolitik praktis. Khittah atau kembali dimaknai NU ingin seperti tujuan awal, membangun umat dengan basis pendidikan (pesantren) dan kegiatan sosial. Sebelumnya, NU memang aktif dalam politik, bahkan pada Pemilu 1971, mendapat suara cukup besar.

Kita menghargai garis yang telah ditarik dengan tegas para pemimpin kedua organisasi yang tak terlibat dalam politik prtaktis. Tetapi kedua organisasi ini membebaskan anggotanya secara pribadi di berbagai partai, untuk menjalankan peran politiknya.

Jika diamati dalam Pilpres 2019 ini, meski secara organisasi NU dan Muhammadiyah tidak berpolitik, tetapi dari para pemimpin dan anggotanya, terlihat preferensi pilihan. Kita bisa melihat banyak ulama dan kyai Nu secara pribadi mendukung pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin. Begitu juga di kalangan Muhammadiyah yang kader dan pengurus banyak aktif di Partai Amanat Nasional, secara institusi partai PAN,mendukung pasangan Prabowo-Sandi.

Nah, dalam konteks dukungan, Amien Rais yang sudah sejak awal bersimpati pada Prabowo, berusaha menarik gerbong Muhammadiyah untuk mendukung Prabowo-Sandi. Sebelumnya dia berhasil mempengaruhi PAN untuk mendukung Prabowo-Sandi. Niat Amien bahkan secara terbuka diungkapkan agar Muhammadiyah mengambil sikap politik dalam Pilpres 2019. Tentu harapan Amien sikap politik yang akan diambil Muhammadiyah mendukung Prabowo-Sandi. Untungnya Muhammadiyah melalui Ketua umumnya Haedar Nasir menjawab dengan tegas, tidak berpolitik.

Haedar mengatakan, Muhammadiyah secara institusi tetap istiqomah tak masuk ke politik praktis agar bangsa ini ada kartu pengaman. Kalau semua instansi keagamaan rebutan dalam kepentingan politik, nanti bangsa ini makin mengalami politisasi. Biar cukup politik dalam sistem moderen dilakukan parpol dan elite partai.

Dalam situasi dan tensi politik yang semakin panas akibat kampanye dan ucapan para tim kampanye, sikap para pemimpin NU dan Muhammadiyah yang tak mau memperkeruh keadaan dengan dukung mendukung sangat baik. Jalan yang ditempuh kedua ormas Islam sangat elegan. Tetapi, keduanya juga memahami hasrat politik pada anggotanya, sehingga bisa menyalurkan dukungan atas pasangan pilpres melalui partai, bukan melalui organisasi keagamaan.Memang sebaiknya para ulama, kyai, dan tokoh yang berpengaruh di NU dan Muhammadiyah lebih menahan diri tidak terlibat langsung dalam pertarungan politik praktis. Sebab imbasnya ke bawah, ke umat, akan cukup besar dan berpotensi menimbulkan gesekan.

Sebaliknya para ulama atau kyai mereka lebih menganjurkan kader dan anggotanya aktif dalam pemilu baik dalam memperkuat pelembagaan demokrasi maupun sebagai anggota/panitia KPU dan Bawaslu. Para tokoh agama ini juga harus menganjurkan agar kader tidak mengambil sikap golput.

Komentar

Komentar
()

Top