MK Tolak Uji Formil Syarat Usia Capres-Cawapres Denny Indrayana cs
Sidang uji formil tentang pemilu.
Foto: antarafotoJAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji formil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum (pemilu) sebagaimana dimaknai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Permohonan perkara uji formil tersebut diajukan oleh Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana dan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar.
"Mengadili: dalam provisi, menolak permohonan provisi para pemohon; dalam pokok permohonan, menolak pokok permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan di Gedung MK RI, Jakarta, Selasa (16/1).
Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar mengajukan petitum provisi dan petitum pokok permohonan pada perkara yang teregistrasi dengan Nomor 145/PUU-XXI/2023 ini.
Dalam provisi tersebut, di antaranya para pemohon meminta MK menyatakan menunda berlakunya ketentuan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana yang telah dimaknai dengan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Kemudian, menyatakan menangguhkan tindakan atau kebijakan yang berkaitan dengan pasal dimaksud.
Berikutnya, dalam pokok permohonan, para pemohon meminta MK menyatakan pembentukan pasal digugat tidak memenuhi syarat formil berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman dan bertentangan dengan UUD Negara RI 1945.
Selain itu, Denny dan Zainal juga meminta MK memerintahkan penyelenggara pilpres 2024 untuk mencoret peserta pemilu yang mendaftar berdasarkan ketentuan Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang dimaknai Putusan MK Nomor 90 atau menetapkan agenda tambahan khusus bagi peserta pemilu yang terdampak untuk mengajukan calon pengganti.
Namun, menurut MK, permohonan provisi dan pokok permohonan Denny dan Zainal tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
"Permohonan provisi para pemohon tidak beralasan menurut hukum; pokok permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," ucap Suhartoyo membacakan konklusi.
Para pemohon mendalilkan bahwa norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang dimaknai dengan Putusan MK Nomor 90 tidak memenuhi syarat formil karena ada kecacatan formalitas dalam penyusunan dan pemberlakuan sebuah norma.
Terkait dalil tersebut, mahkamah menegaskan bahwa MK tidak mengenal adanya putusan yang tidak sah meskipun dalam proses pengambilan putusan terbukti salah seorang hakim yang ikut memutus perkara tersebut melanggar etik.
"Hal tersebut tidak serta-merta mengakibatkan putusan tersebut tidak sah atau batal," kata Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah.
Selanjutnya, para pemohon mendalilkan agar MK dapat melakukan judicial activism dan menggunakan hukum progresif sebagai pendekatan utama dalam mengadili perkara yang diajukan. Terhadap dalil ini, MK juga menolaknya.
"Permohonan para pemohon berkenaan dengan Pasal 169 huruf q UU 7 Tahun 2017 sebagaimana telah dimaknai oleh Putusan MK Nomor 90 tidak mengandung kecacatan formil, sehingga tidak bertentangan dengan UUD 1945," ujar Guntur.
Terhadap putusan tersebut, Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Enny Nurbaningsih menyatakan memiliki alasan berbeda (concurring opinion).
Berita Trending
- 1 Cagub Khofifah Pamerkan Capaian Pemprov Jatim di Era Kepemimpinannya
- 2 Ini Klasemen Liga Inggris: Nottingham Forest Tembus Tiga Besar
- 3 Cagub Luluk Soroti Tingginya Pengangguran dari Lulusan SMK di Jatim
- 4 Cagub Risma Janji Beri Subsidi PNBP bagi Nelayan dalam Debat Pilgub Jatim
- 5 Sekjen PDIP Hasto Tegaskan Kepemimpinan Risma dan Gus Hans di Jawa Timur Lebih Berakar pada Prestasi
Berita Terkini
- Hadapi Musim Hujan, BPBD Bantul Ajukan Status Siaga Banjir dan Longsor
- Pemprov DKI Siapkan Mobil Pompa di Area Cekungan Guna Atasi Genangan
- KAI Tanjungkarang Sediakan 2.340 Tempat Duduk pada Natal-Tahun Baru
- BPBD OKU Selatan Imbau Masyarakat Waspadai Cuaca Ekstrem
- Bantai Myanmar 5-1, Pelatih Timnas Futsal Indonesia Sangat Puas