Mi Ramen Kemasan Lebih Sulit Dicerna Lambung
Foto: AFP/SAM YEHKonsumsi mi ramen kemasan instan terkait dengan masalah kesehatan. Studi terbaru menyebutkan mi semacam ini sulit untuk dicerna oleh lambung dibandingkan dengan mi segar.
Mi ramen kemasan instan atau kadang disebut dengan mi instan dipilih karena murah dan praktis. Harganya yang tidak lebih dari empat ribu rupiah per bungkus, kini mi ramen telah menjadi makanan pokok di banyak rumah. Di balik itu banyak studi yang menyebutkan, konsumen makanan ini memiliki implikasi negatif bagi kesehatan konsumennya.
Diawetkan secara kimiawi untuk umur simpan yang lama, bahan makanan ini memiliki kandungan garam atau sodiumnya yang tinggi. Kandungan garam ini bisa menimbulkan penyakit kardiovaskuler seperti darah tinggi, penyakit jantung, hingga mengganggu fungsi ginjal dan penipisan masa tulang.
Mi ramen juga susah untuk dicerna oleh lambung. Salah satu contoh dari dampak negatif mi ramen ditampilkan dalam sebuah video yang menjadi viral secara daring pada 18 Mei 2012. Hal ini bisa menjadi informasi bagi konsumen untuk memikirkan kembali mi ramen kemasan makanan mereka sehari-hari.
Sebelumnya, belum pernah ada yang memperlihatkan video proses pencernaan mi ramen di lambung, sampai Rumah Sakit Umum Massachusetts menemukan beberapa subjek uji yang mau menjadi relawan untuk makan makanan olahan itu dengan meletakkan kamera kecil di dalamnya.
Direktur GI Motility Lab di Rumah Sakit Umum Massachusetts, Dr Braden Kuo, mengatakan bahwa dia terkejut dengan reaksi tersebut dan apa yang dia sebut sebagai ketertarikan yang mengerikan dari proyek tersebut. Kamera seukuran pil multivitamin, merekam para peneliti video 32 jam yang belum pernah terjadi sebelumnya dari lambung ke usus kecil.
Sebelum uji klinis ini, kamera semacam itu hanya digunakan untuk mempelajari bagian dalam seseorang ketika perut kosong. Kuo mengatakan, video tersebut mengejutkan, memperlihatkan perut yang berkontraksi bolak-balik saat mencoba menggiling mi ramen.
Sebagai perbandingan, subjek penelitian juga makan mi buatan sendiri yang segar pada hari yang berbeda. Dari hasil penginderaan kamera yang ditampilkan secara bersama antara memproses mi ramen dan mi segar untuk dilihat secara berdampingan dengan hasil yang berbeda secara signifikan.
"Hal yang paling mencolok tentang percobaan kami adalah ketika Anda melihat pada interval waktu, katakanlah satu atau dua jam, kami melihat mi ramen yang diproses lebih sedikit rusak daripada mi buatan sendiri," kata Kuo. "Saya menyadari bahwa videonya ada di luar sana dan itu provokatif," imbuh Kuo.
Namun demikian sampel penelitian ini terlalu kecil untuk dapat disimpulkan tentang apapun. Oleh karenanya ia dan tim sedang merencanakan lebih banyak studi penelitian. Dia berharap mereka akan mengungkapkan apakah pencernaan yang lebih lambat memengaruhi jumlah nutrisi yang diserap tubuh.
"Masih belum jelas dampaknya pada saluran pencernaan (GI)," kata Kuo. "Banyak hal yang baik dalam jumlah sedang. Saya pikir makanan olahan masih perlu diteliti lebih lanjut," tuturnya.
Sindrom Kardiometabolik
Sementara itu sebuah penelitian di Korea Selatan yang dipublikasikan oleh National Center for Biotechnology Information, menyatakan peningkatan konsumsi mi instan berhubungan positif dengan obesitas dan sindrom kardiometabolik. Kasus tersebut di negara yang memiliki konsumsi mi instan per kapita tertinggi di dunia tergolong tinggi.
Sindrom kardiometabolik adalah konstelasi disfungsi metabolik yang ditandai dengan resistensi insulin dan gangguan toleransi glukosa, dislipidemia aterogenik, hipertensi dan adipositas intra-abdominal.
Sindrom ini menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di Amerika Serikat dan banyak negara lain di seluruh dunia karena prevalensinya yang meningkat.
Dalam penelitian di tersebut menggunakan subjek penelitian terdiri dari 3.397 mahasiswa (1.782 laki-laki; 1.615 perempuan) berusia 18-29 tahun yang mengikuti pemeriksaan kesehatan. Informasi konsumsi mi ramen diperoleh dari jawaban partisipan atas pertanyaan tentang frekuensi rata-rata konsumsi mi ramen mereka selama periode 1 tahun sebelum survei.
Hasil analisis statistik menggunakan model linier umum yang disesuaikan dengan usia, indeks massa tubuh, jenis kelamin, pendapatan keluarga, perilaku terkait kesehatan, dan faktor diet lain yang penting untuk risiko kardiometabolik. Penelitian ini menunjukkan hubungan positif antara frekuensi konsumsi mi ramen dan kadar trigliserida plasma, tekanan darah diastolik, dan kadar glukosa darah puasa pada semua subjek.
"Hasil kami menunjukkan bahwa konsumsi mi instan yang sering dapat dikaitkan dengan peningkatan faktor risiko kardiometabolik di antara mahasiswa yang tampak sehat berusia 18-29 tahun," kata penulis studi In Sil Huh dari Seoul National University Medical Research Center.
Kardiometabolik merupakan sekumpulan kelainan metabolisme. Pada penelitian ini kelainan tersebut ditandai dengan lima kriteria yaitu obesitas abdominal, peningkatan kadar trigliserida, penurunan HDL-kolesterol, peningkatan kadar glukosa darah puasa, dan peningkatan tekanan darah.
Dibandingkan dengan kelompok dengan frekuensi konsumsi mi ramen paling rendah 1 per bulan, tingkat ratio hipertrigliseridemia pada kelompok dengan asupan kurang dari 3 kali per pekan adalah 2,639 atau 95 persen, untuk siswa laki-laki dan perempuan. Pada siswa perempuan, tekanan darah diastolik juga lebih tinggi di antara konsumen mi instan yang lebih sering.hay/I-1
Berita Trending
- 1 Kampanye Akbar, RIDO Bakal Nyanyi Bareng Raja Dangdut Rhoma Irama di Lapangan Banteng
- 2 Dharma-Kun Berjanji Akan Bebaskan Pajak untuk Pengemudi Taksi dan Ojek Online
- 3 Kasad Hadiri Penutupan Lomba Tembak AARM Ke-32 di Filipina
- 4 Cegah Jatuh Korban, Jalur Evakuasi Segera Disiapkan untuk Warga Sekitar Gunung Dempo
- 5 Masyarakat Perlu Dilibatkan Cegah Gangguan Mental Korban Judol