Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Mewaspadai "Game" yang Berbahaya

A   A   A   Pengaturan Font

Permainan dalam jaringan atau game online yang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, kini menjadi bahan pembahasan setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengemukakan akan mengeluarkan fatwa haram. MUI berpandangan, sebagian game online yang ada sekarang, khususnya PlayerUnknowns Battlegrounds (PUBG) terindikasi unsur kekerasan, radikalisme, hingga terorisme di dalamnya.

MUI beranggapan wacana fatwa haram dipicu teror penembakan dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, yang disebut terinspirasi game baku tembak PUBG. MUI mengaku telah melakukan kajian bersama sejumlah lembaga untuk memutuskan fatwa tersebut.

Sikap MUI patut didukung. Sebab, bukan PUBG saja yang berpotensi memicu kekerasan, sejumlah game lainnya juga mengandung kontens berbahaya. Artinya, kita satu suara mesti ada pembatasan terhadap game yang memberi pengaruh terhadap penggunanya. Pembatasan yang dimaksud bukan sekadar melarang, namun terkait dengan pembatasan usia, konten, waktu, dan dampak yang ditimbulkan.

Sebenarnya, sudah banyak studi membuktikan keterlibatan yang terlalu dalam pada sebuah game kekerasan akan menyebabkan para pemain terbius dan tidak lagi bisa membedakan kehidupan nyata dan virtual. Bagi anak-anak yang terbiasa mengembangkan perilaku imitatif, misalnya, mereka niscaya dengan cepat akan mencontoh mentah-mentah yang mereka mainkan. Hal ini hingga pada titik tertentu teman merekalah yang kemudian akan menjadi korban. Seorang anak yang terbiasa bermain game dan memainkan instrumen kekerasan untuk membunuh lawannya, tanpa sadar akan membawa permainan itu ke kehidupan nyata. Akibatnya, mental mereka jadi salah kaprah dan gagal membangun interaksi sesuai dengan norma.

Anak-anak memang memiliki kebutuhan bermain yang tidak mungkin dihilangkan. Untuk itu, orang tua dan sekolah mesti mampu menciptakan suasan bermain yang kontekstual. Di samping pembatasan, perlu juga pelarangan beberapa jenis game yang secara nyata berkonten pornografi, perjudian, perilaku seksual menyimpang. Tentu saja yang berkonten terlarang secara agama dan undang-undang. Jadi, wacana yang berkembang bukan pemblokiran game namun pembatasan melalui klasifikasi, seperti umur dan penjelasannya.

Sebaiknya keluarga mesti dilibatkan. Di sinilah pentingnya orang tua membangun komunikasi yang baik. Selain mau didengar anak, orang tua juga harus mau mendengarkan anaknya. Orang tua juga harus pintar menggambarkan dampak ketika anak ingin melakukan sesuatu. Dengan kata lain, orang tua juga harus pintar menggambarkan, kalau melakukan kekerasan, orang lain yang sakit.

Untuk menghindarkan anak-anak kecanduan game, apalagi terlibat dalam tindak kekerasan, dibutuhkan pengawasan orang tua dan masyarakat. Tak kalah penting mengalihkan energi anak-anak dalam permainan lain yang memiliki nilai edukatif. Selain peran orang tua, keterlibatan komunitas terlatih yang peduli ranah daring juga harus diberdayakan.

Keberadaan komunitas bisa memberikan edukasi dan penyuluhan dampak baik dan buruk game online. Di sinilah pentingnya pemerintah melalui Siberkreasi dan jaringan di Kementerian Komunikasi dan Informatika seperti ICT Watch. Sejauh ini pemerintah mengaku selalu mengawasi peredaran game dengan mengajak Asosiasi Game Indonesia.

Terpenting lagi, selain pengawasan ketat, pemerintah mesti mengajak kalangan kreatif untuk membuat game yang memiliki nilai edukatif dan sesuai budaya bangsa. Jadi, dalam menghadapi perubahan zaman, kita mesti membekali generasi penerus dengan ilmu masa depan, bukan masa lampau.

Komentar

Komentar
()

Top