Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Kamis, 16 Jan 2025, 16:00 WIB

Mewariskan Pengetahuan Kebencanaan ke Generasi Muda Perlu Usaha Berkelanjutan

Banda Aceh dan Aceh Besar, dua daerah yang mengalami dampak terparah Tsunami 2004.

Foto: The Conversation/Herims/Shutterstock

Muhammad Arifin, Tsunami and Disaster Mitigation Research Center - Universitas Syiah Kuala

Banda Aceh dan Aceh Besar adalah dua daerah yang mengalami dampak terparah dengan 96 ribu korban jiwa pada Tsunami 2004. Sementara di Simeulue, pulau yang terletak kurang lebih 150 km dari lepas pantai barat Aceh, korban jiwa hanya 5 orang. Bahkan ada sumber lain yang menyebutkan korban jiwa hanya 3 orang.

Ini disebabkan, salah satunya, karena masyarakat Simeulue memiliki pengetahuan tentang smong (tsunami dalam bahasa Simeulue) yang diwariskan oleh nenek moyang mereka berdasarkan pengalaman tsunami 1907.

Kondisi ini menunjukkan pentingnya pengetahuan tentang bencana dan bagaimana merawat dan mewariskan pengetahuan tersebut.

Sejauh ini, pemerintah dan masyarakat sudah melakukan berbagai upaya untuk mewariskan pengetahuan mitigasi bencana. Dari segi pendidikan, misalnya, berbagai universitas semakin serius menekuni bidang kajian bencana alam, bahkan membangun pusat studi untuk meningkatkan ketahanan masyarakat Aceh atas bencana.

Sebut saja, Universitas Syiah Kuala (USK) dengan pusat risetnya yang bernama Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC), Universitas Negeri Islam Ar-Raniry Banda Aceh (UIN Ar-Raniry) yang menawarkan mata kuliah kebencanaan di sepuluh program studi. Ada juga Universitas Muhammadiyah Aceh yang membuka program studi S1 Manajemen Bencana, dan Universitas Teuku Umar Meulaboh yang membangun Gedung Pusat Edukasi Tsunami Aceh sebagai tempat edukasi bencana gempa bumi dan tsunami di Meulaboh.

Pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan peraturan terkait upaya pencegahan dan pengurangan risiko bencana pada satuan pendidikan melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 33 tahun 2019 Tentang Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB).

Namun, upaya-upaya di atas tidak berjalan mulus karena masih bergantung pada pihak eksternal dan cenderung tidak berkelanjutan. Penelitian yang kami lakukan di Banda Aceh tahun 2024 (belum dipublikasikan) menunjukkan bahwa simulasi bencana hanya dilakukan ketika pihak eksternal seperti NGO lokal maupun NGO internasional masih berada di Banda Aceh.

Dari 66 sekolah dasar yang kami teliti, mereka sering melakukan latihan simulasi gempa bumi dan tsunami selama 5 tahun pasca tsunami 2004 yaitu rentang 2005–2010. Setelah itu, mereka sangat jarang melakukan simulasi bencana lagi.

Integrasi pengurangan risiko bencana dalam kurikulum

Pemerintah berkewajiban mengintegrasikan materi terkait pengurangan risiko bencana (PRB) ke dalam kurikulum nasional, muatan lokal, kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler. Sejauh ini, pemerintah telah mengintegrasikan materi PRB ke dalam beberapa mata pelajaran.

Dalam pelajaran Agama, misalnya, integrasinya tampak pada pembelajaran terkait ayat-ayat Al-Qur'an tentang bencana, seperti Surat Ar-Rum ayat 41, Surat Al-Zalzalah, dan lain sebagainya. Ini dapat menentukan dan membentuk sikap siswa dalam menyikapi bahaya bencana, sehingga terbentuklah sikap tangguh bencana.

Contoh lain, dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, siswa belajar tentang bagaimana mencintai lingkungan dan melindungi alam dengan mengetahui dan memahami bahaya pencemaran, bahaya penjarahan hutan, bahaya alih fungsi lahan, teknologi yang tidak tepat hingga wabah penyakit.

Untuk kegiatan ekstrakurikuler, integrasi pendidikan PRB dapat dilihat pada kegiatan pramuka yang melatih peserta didik untuk menjadi agen perubahan di lingkungannya dalam pengurangan risiko bencana dan membangun kesiapsiagaan bencana.

Namun, penelitian kami menemukan bahwa meskipun integrasi pendidikan PRB sudah dilaksanakan di sekolah, upaya tersebut belum memiliki perspektif kerangka keselamatan sekolah yang komprehensif. Ini mencakup aspek fasilitas sekolah yang aman bencana dan manajemen bencana di sekolah.

Kendala pendidikan risiko bencana di Aceh

Dalam hal simulasi, tersendatnya praktik pendidikan risiko bencana, disebabkan oleh beberapa hal.

1. Ketergantungan pada pihak luar

Pihak sekolah kurang memiliki kesadaran untuk melakukan simulasi kebencanaan secara mandiri. Mereka cenderung berharap ada pihak eksternal yang membantu mereka melakukan simulasi.

Memang, masih ada beberapa sekolah yang melakukan simulasi bencana. Namun, frekuensinya tidak serutin yang diamanatkan oleh Permendikbud Nomor 33 tahun 2019, yaitu minimal sekali dalam satu semester.

Biasanya, sekolah yang melakukan simulasi adalah sekolah-sekolah yang dibina oleh pemerintah atau organisasi kebencanaan di Banda Aceh. Sifat pelatihannya pun lebih seremonial, seperti memperingati hari pengurangan risiko bencana yang biasanya dilaksanakan setiap tahun di bulan November, atau dalam rangka memperingati Tsunami 2004.

2. Sosialisasi belum maksimal

Informasi terkait Permendikbud Nomor 33 tahun 2019 Tentang SPAB juga tidak menjangkau semua kepala sekolah dan guru di Aceh. Salah satu informan menyebutkan,


“Saya belum pernah membaca Permendikbud tentang SPAB”. (Kepala sekolah SD Negeri 69 Banda Aceh)

Hal serupa juga disampaikan oleh salah satu guru di SD Negeri 13 Banda Aceh yang mengaku tidak tahu isi Permendikbud.

Ini terjadi karena kurangnya pelatihan-pelatihan terkait SPAB. Penelitian kami menemukan bahwa sekolah-sekolah sudah jarang sekali mendapatkan pelatihan-pelatihan terkait SPAB. Rata-rata informan menyebutkan, mereka sering mendapatkan pelatihan dan melakukan simulasi kebencanaan di rentang tahun 2005-2010 pasca tsunami. Sementara setelah tahun-tahun tersebut, sekolah sangat jarang mendapatkan pelatihan. Kalaupun ada, hanya beberapa sekolah yang dilibatkan dalam pelatihan tersebut.

3. Fokus ke program lain

Faktor lain yang menyebabkan pihak sekolah tidak melaksanakan simulasi bencana adalah kesibukan sekolah dengan program-program lain seperti program sekolah ramah anak, atau sekolah antiperundungan, sehingga pendidikan kebencanaan ditinggalkan.


“Pendidikan bencana ini sudah terlupakan, kalau ada bencana baru nanti ada lagi, sekarang pemerintah lagi gencar-gencarnya sosialisasi program sekolah ramah anak dan sekolah antiperundungan.” (Guru SD Negeri 13 Banda Aceh)

Bagaimana seharusnya mewariskan pengetahuan bencana

Ada beberapa cara yang bisa menjadi solusi untuk meningkatkan edukasi kebencanaan di Banda Aceh, yaitu:

1. PRB menjadi bagian dari akreditasi

Sebenarnya peraturan dari pemerintah terkait pengurangan risiko bencana pada satuan pendidikan sudah ada, tapi efeknya belum kuat. Berdasarkan hasil penelitian kami, salah satu cara untuk memperkuatnya adalah dengan menjadikan PRB sebagai bagian dari akreditasi.

Hal ini berkaca dari hasil wawancara yang menemukan bahwa semua sekolah memiliki Alat Pemadam Api Ringan (APAR). Namun, pengadaan APAR sebenarnya hanyalah upaya sekolah untuk memenuhi syarat penilaian akreditasi—bukan timbul dari kesadaran pencegahan bencana.

Artinya, dengan menjadikan PRB sebagai salah satu indikator penilaian akreditasi, sekolah bisa terdorong untuk melaksanakan pendidikan PRB. Penerapan ini berpeluang menjadi alat kontrol kepatuhan sekolah, yaitu jika tidak dilaksanakan, sekolah akan mendapatkan akreditasi rendah.

2. Menyediakan anggaran untuk pendidikan PRB

Penelitian kami menemukan bahwa salah satu alasan tidak dilakukannya pendidikan PRB adalah ketiadaan anggaran dalam rencana tahunan sekolah.


“Pendidikan aman bencana tidak ada dimasukkan dalam anggaran, tapi nanti kalau ada kegiatan dari dinas pendidikan, maka kami akan revisi anggarannya.” (Tenaga Kependidikan SD Negeri 13 Banda Aceh)

Oleh karena itu, dinas pendidikan perlu mewajibkan dan memastikan setiap sekolah menyediakan anggaran pendidikan PRB setiap tahun.

3. Edukasi PRB untuk guru

Berdasarkan pengakuan guru dan kepala sekolah, pelatihan terkait PRB sangat jarang ditemukan di Aceh setelah NGO selesai melaksanakan programnya. Kalaupun ada, hanya beberapa sekolah yang dilibatkan. Alhasil, para guru kurang memiliki kapasitas terkait PRB.

Ini berarti, pemerintah perlu mengadakan pelatihan khusus PRB untuk guru-guru. Harapannya, mereka bisa menggantikan peran NGO dalam melakukan mitigasi bencana, termasuk melakukan simulasi secara rutin.The Conversation

Muhammad Arifin, Peneliti, Divisi Pengembangan Penelitian Pendidikan Kebencanaan, Tsunami and Disaster Mitigation Research Center - Universitas Syiah Kuala

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Redaktur: -

Penulis: -

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.