Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Meski Dikritik, Koruptor Tetap Berdendang

A   A   A   Pengaturan Font

Judul : Tikuse Pada Ngidung

Penulis : Mohamad Sobary

Penerbit : KPG

Tahun : Februari 2018

ISBN : 978-602-424-740-9

Tebal : viii+282 halaman

Berbagai cara telah dilakukan KPK untuk memberantas korupsi, di antaranya memberi kesempatan kepada para seniman turut mengkritik atau menyindir lewat karikatur, grafiti, puisi, dan pementasan monolog maupun drama. Faktanya, tren korupsi tak juga menurun. Miris rasanya melihat para koruptor masih dapat menebar senyum sembari melambai di depan kamera TV. Rompi oranye tak sedikit pun membuat malu atau takut. Mungkin para koruptor memang bebal, tanpa hati nurani. Kritik, termasuk yang disampaikan para seniman, terlalu halus, kurang tajam menohok.

Keprihatinan serupa dipaparkan Mohamad Sobary dalam Tikuse Pada Ngidung sebagai tanggapan atas pementasan lakon teater Pesta Para Pencuri, pada Juli 2017. Lakon untuk menyindir para koruptor ini dianggap kurang mengena. Idealnya, cerita diolah lebih nakal, jangan tanggung-tanggung. Misalnya, pentas digelar di Gedung Kejaksaan Agung, Mabes Polri, atau Gedung MPR/DPR. Semua pejabat diundang. Sajian cerita harus menggigit karena kenakalan koruptor sudah keterlaluan. "…di negeri ini kritik hendaknya landepe pitung penyukur, ketajamannya setara tujuh silet digabung menjadi satu agar terasa oleh pihak yang dikritik…." (hal 4)

Ada kutipan bait Dandanggula (tembang Jawa) karya Ki Ranggawarsita (1802-1873) dua abad lalu. Bunyinya, "Tikuse pada ngidung. Kucing gering kang njagani". Tikus-tikus berkidung mewakili para koruptor yang menyanyi jejingkrakan: tak merasa malu, tak pernah merasa hina dina. Mereka selalu berusaha menyerang dan memperlemah lembaga yang mengawasi polah tingkah mereka. Metafora tikuse pada ngidung ini lebih simbolis dibanding para pencuri yang berpesta pora. Kucing gering kang njagani, kucing sakit-sakitan tak berdaya, dan tak pernah berani menerkam si tikus (hal 6).

Tikuse Pada Ngidung menjadi esai pembuka buku yang memuat 50 tulisan yang dikelompokkan menjadi empat bagian ini. Bagian Pertama mengangkat tema "Moral dan Dunia Politik". Bagian II bertema "Makna Revolusi Mental." Selanjutnya, Bagian III berisi "Dari Dunia Kaum Tani" dan terakhir beragam "Kebudayaan, Seni, dan Rohani."

Tulisan "Revolusi Mental" mengajak pembaca introspeksi, sudah semestinya seorang pemimpin melayani, pelayan rakyat. Inilah hakikat revolusi mental. Pemahaman ini penting, agar revolusi mental yang digaungkan dari waktu ke waktu bukan sebatas wacana. Bagi para pemimpin, revolusi mental menanggung tugas melunasi utang kepada rakyat. Bagaimanapun rakyat memiliki hak konstitusional untuk dibikin makmur. "Membayar utang itu kini merupakan kewajiban pemimpin yang menyadari bahwa memimpin bukan sekadar dilakukan dengan omong dan memberi janji berupa kata-kata, tetapi melayani dengan tindakan nyata untuk membikin rakyat merasa punya pemimpin (hal 61).

Disinggung pula masalah petani sebagai negara agraris. Sejak era kolonialisme Belanda hingga reformasi, petani diteror. Bukan teror hama, tapi kebijakan pemerintah yang mengancam hidup petani. Di antaranya, pembebanan pajak berlebihan, penguasaan tanah, penerapan regulasi/UU, dsb (hal 125). Buku juga mengkritik kerusuhan berlatar agama atau pergeseran iman dan agama menjadi barang dagangan. Para pemimpin agama tak lagi hidup seturut kotbah-kotbahnya.


Diresensi Margareta Dwi Prihatining K, Alumna Unika Soegijapranata Semarang

Komentar

Komentar
()

Top