Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
GAGASAN

Merindukan Kartini Masa Kini

Foto : KORAN JAKARTA/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

Kartini menjadi pahlawan nasional bukan lantaran ketangguhan fisiknya memimpin pasukan gerilyawati melawan tentara kolonial atau nyalinya untuk turun jalan menggemakan revolusi, tetapi gagasan progresif. Cita-citanya melampaui zamannya.

Perempuan yang lahir (21 April 1879) di kota ukir dengan motif wayang, Jepara itu sangat dihargai karena citacitanya membebaskan kaum perempuan dari belenggu budaya melalui pendidikan. Sutan Takdir Alisjahbana dalam Kebesaran dan Tragedi (1979) mengatakan, dalam sejarah Indonesia, Kartini adalah suatu mukjizat.

Sebab dalam usia semuda itu mampu melihat dengan terang kekuatan kebudayaan Eropa berkat kemajuan ilmu, teknologi, dan ekonominya yang menguasai dunia. Pemikirannya sangat berbeda bukan karena berasal dari kalangan bangsawan anak Raden Mas Sosroningrat, Bupati Jepara, dan Ibu MA Ngasirah, seorang guru agama di Teluwakur Jepara.

Kartini justru menegasikan kelas bangsawan itu. Ketika pada tahun 1899 Stella (Estelle Zeehandelaar) menanyakan asal-usulnya, Kartini, "…bagiku hanya ada dua jenis kebangsawanan: kebangsawanan jiwa (akal) dan kebangsawanan budi (perasaan). Menurut perasaanku tak ada yang lebih gila dan menggelikan daripada orang-orang yang membanggakan keturunannya.

Apakah sebenarnya jasanya dilahirkan sebagai seorang bangsawan? Dengan otakku yang kecil ini, aku tidak dapat menangkapnya…." Kartini justru ingin beranjak dari feodalisme itu. Cita-citanya membebaskan perempuan dari ketimpangan budaya. Hal itu sangat tampak dalam suratsuratnya terhadap Rosa Abendanon, salah seorang temannya di Belanda.

Dalam suratnya, tertanggal Jepara, 25 Mei 1899, dia menulis, "Aku sungguh ingin mengenal seseorang yang kukagumi, perempuan modern dan independen yang melangkah dengan percaya diri dalam hidupnya. Dia ceria, kuat, antusias, dan punya komitmen. Dia bekerja tidak hanya untuk kepuasan diri, namun juga memberikan dirinya untuk masyarakat, bekerja untuk kebaikan sesamanya...."

Kartini memperjuangkan pendidikan bersama kaum perempuan agar mereka cerdas dan mandiri. Karena ia sadar bahwa perempuan pondasi pendidikan anak-anak. Kartini menginginkan perempuan pintar dan cerdas karena perannya dalam mendidik anak sangat utama. Pada 1903, Kartini menulis surat catatan yang diterbitkan di berbagai surat kabar dengan judul "Berikanlah pendidikan kepada Bangsa Jawa." Dalam catatan itu antara lain disebutkan, "Siapakah yang akan menyangkal, wanita memegang peranan penting dalam pendidikan moral masyarakat.

Dialah orang yang sangat tepat pada tempatnya. Ia dapat menyumbang banyak untuk meninggikan taraf moral masyarakat. Alam sendirilah yang memberikan tugas itu padanya. Sebagai seorang ibu, wanita merupakan pengajar dan pendidik pertama. Dalam pengkuannyalah seorang anak pertama- tama belajar merasa, berpikir, dan berbicara.

Dalam banyak hal pendidikan pertama ini mempunyai arti besar bagi seluruh hidup anak.…" Pernyataan tersebut menurut Ki Soeratman dalam "Kartini dan Pendidikan" (1979) menegaskan, Kartini sangat menghargai pendidikan dan peranan perempuan sebagai peletak dasar watak serta kepribadian anak. Pendidikan harus dimulai sedini mungkin dan itu berarti dari keluarga.

Penguatan peran keluarga berarti harus mencerdaskan wanita. Akan menjadi anomali apabila wanita yang mempunyai peran vital terhadap pendidikan anak ternyata tidak berpendidikan. Kartini meyakini, perempuan kunci ketahanan keluarga, sehingga berkomitmen menyelenggarakan pendidikan bersama kaum perempuan.

Ketika perempuan menjadi seorang ibu, maka disitulah peranannya sangat berarti untuk menanamkan nilai moral anak. Kartini mengatakan, "Tangan ibulah yang dapat meletakkan dalam hati sanubari manusia unsur pertama kebaikan atau kejahatan, yang nantinya sangat berarti dan berpengaruh pada kehidupan selanjutnya. Tidak begitu saja dikatakan, kebaikan ataupun kejahatan diminum bersama susu ibu. Bagaimanakah ibu Jawa dapat mendidik anak kalau dia sendiri tidak berpendidikan?"

Kebablasan

Cita-citanya tentang kemerdekaan perempuan kini mendapat tantangan serius dalam keluarga dan masyarakat, terutama dengan ragam gerakan feminisme. Banyak kaum perempuan yang lebih memilih keluar dengan mengorbankan tugas-tugas dalam wilayah privat-domestik. Perempuan yang terbius hingar-bingar industri ternyata harus mengeluarkan 'ongkos mahal'.

Irwan Abdullah (1997) mengatakan, proses migrasi dari domestik-publik, perempuan harus mengeluarkan "biaya ideologis yang begitu besar". Tugas perempuan atau ibu di wilayah domestik harus ditinggalkan ketika terjun ke publik. Ironisnya, publik menghargai ibu dan perempuan secara umum bukan karena kualitas intelektual, apalagi moral, tetapi lebih pada aspek biologis dan kemolekan.

Mereka bisa masuk dalam dunia kerja baik televisi maupun sekretaris perusahaan atau menjadi SPG karena tubuh moleknya. Rendahnya tingkat pendidikan perempuan menjadi salah satu penyebab penghargaan terbatas darai sisi fisik. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise, mengatakan (2017) penduduk Indonesia sekitar 255 juta di mana hampir 50 persennya perempuan.

Ada 65 persen pada usia produktif, tetapi belum berperan optimal karena kualitas hidup dan tingkat pendidikan yang rendah. Dalam ranah privat, perempuan masih selalu menjadi korban. Indonesia negara dengan angka kematian ibu (AKI) tertinggi di Asia Tenggara. Pada tahun 2007, Laporan Survie Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan dari setiap 100 ribu kelahiran hidup di Indonesia, terdapat 102 ibu meninggal saat melahirkan.

Tahun 2012 angka tersebut naik menjadi 359 per 100 kelahiran. Pemahaman dan perhatian yang minim pada kesehatan kaum perempuan menjadi faktor dominan sehingga menjadi korban. Begitu juga dengan pola intraksi antara orangtua dan balita menunjukkan kualitas yang buruk. Berdasarkan kajian PPPA bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (2016) menunjukkan, aktivitas balita bersama orangtua lebih banyak untuk makan. Kegiatan untuk membaca buku cerita hanya13,48 persen.

Sebagian besar untuk menonton televisi (66 persen). Dengan demikian, cita-cita Kartini untuk memerdekakan kaum perempuan masih butuh perjuangan panjang. Meneruskan cita-citanya berarti melaksanakan impian untuk perempuan yang cerdas, mandiri, dan kreatif. Dengan begitu mampu menanamkan nilai-nilai moral bagi anak.

Dia mampu berkontribusi moral intelektual bagi publik. Cita-cita paling prinsip Kartini mengasah jiwa dan budi perempuan melalui pendidikan. Sebab pendidikan, bagi Kartini, adalah modal utama yang akan mengantarkan perempuan pada kemandirian dan kemerdekaan sejati.

Fitri Wijayanti, Penulis Alumna Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

Komentar

Komentar
()

Top