Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Parade Monolog

Merajut Asa Keseharian di Panggung Teater

Foto : KORAN JAKARTA/Wachyu Ap

Arswendo Atmowiloto (kiri), sastrawan, sekaligus penulis naskah 25 Parade Monolog foto bersama sejumlah pemain seusai mementaskan drama panggung berjudul “Tiga Cerita Prita” di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia, Jakarta.

A   A   A   Pengaturan Font

Gemuruh tawa memuncak ketika sosok Prita, tokoh monolog ciptaan Arifin C Noer yang gemulai, cerewet dan pecicilan itu kembali dipentaskan untuk kesekian kalinya. Pementasan ini seperti kembali "menyadarkan" kita, betapa kuat dan menghiburnya seni pentas teater, meski geliat keseniannya mulai menurun.

Di tengah keringnya pementasan teater, terutama pentas monolog, 25 Parade Monolog karya Arswendo Atmowiloto merupakan tawaran dan oase yang menyejukan seni pentas teater ini. "Memang begitu adanya. Mudahnya, yah sekarang kan orang lebih menarik dan untung ke sinetron ketimbang tampil di pentas teater seni monolog yang musti latihan 3 bulan untuk persiapan," papar Arswendo kepada Koran Jakarta, belum lama ini.

Arswendo, yang terkenal sebagai penulis skenario dan memproduksi sejumlah sinetron untuk televisi, antara lain serial Keluarga Cemara, yang sampai 300 episode. Baru-baru ini menuliskan 25 naskah monolog. Angka 25 digunakan, sekaligus untuk menyambut ulang tahun ke-25, London School of Public Relation (LSPR), Jakarta, tempatnya mengajar mata kuliah Creative Writing dan Directing.

"Sekitar 1967, Arifin C. Noer membuat cerita 'Prita Istri Kita' dan yang kemudian dipersembahkannya sebagai mahar kawin untuk istrinya, sampai saat ini masih terus dimainkan. Untuk sebuah karangan tentu sangat bagus, jadi untuk memperkaya naskah monolog saya mengembangkannya menjadi 25," jelasnya.

Pengembangan cerita dari karya Arifin C. Noer selain untuk memeriahkan ulang tahun LSPR, ternyata juga sebagai tindak lanjut kerja sama antara dua patner kerja, Arswendo dan Arifin.

"Ini semua murni karya-karya saya yang dikembangkan melalui naskah Arifin C. Noer. Proses kreatifnya dulu saya pernah bekerja dengan beliau. Waktu sedang membuat naskah bercerita tentang detektif, beliau meninggal. Jadi saya yang menyelesaikannya. Saya mengerti lah apa yang dimaui beliau, karena saya pernah melakukan kerja bareng, seperti film dan lain sebagainya," ceritanya.

Dalam pola pengembangan naskah monolog gubahan Arswendo ini memang menarik, terkesan ada informasi sepurat isu-isu kekinian. Dalam pementasannya, nampak terselip pesan-pesan moral yang sepertinya musti diingatkan kembali, seperti selalu mengedepankan petuah orang tua, mensyukuri hidup, tidak berprasangka buruk dan juga penggalan fenomena sosial mulai dari teknologi sampai ke persoalan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).

Secara keseluruhan, pesan yang ingin disampaikan dalam 25 naskah monolog ini ialah untuk melebur suasana menjadi lebih bermakna melalui berkesenian monolog. "Ini bentuk ekspresi kita lah bersenang-senang, bersandirawa tapi kita sadar sedang melakukannya. Gak usah tenggang, maki-maki. Biar lah ada orang begitu, kita tidak perlu ikut-ikutan," ungkapnya. ima/R-1

Berkesenian untuk Belajar

Sejak 2015, Arswendo bersama para murid dari konsentrasi studi Performing Arts Communication (PAC) LSPR, memunyai program menulis naskah, melatih, mementaskan, dan mendiskusikan yang diwujudkan dalam produksi dengan judul "Kami Berteater" (PAC Batch 17, 2015), "Kisah Ruang Tunggu" (PAC Batch 18, 2016), serta "Parade 25 Monolog Karya Arswendo Atmowiloto" (PAC Batch 19, 2017).

Untuk tahun ini, sebagai bentuk upaya memperlancar kelulusan serta melanggengkan cerita 25 Monolog karya Arswendo, para murid LSPR itu menggelar pementasan monolog. 25 naskah monolog karya Arswendo sebelumnya sudah dipentaskan seluruhnya di LSPR, pada Senin (17/7). Dan dilanjutkan pertunjukan Monolog 'Tiga Cerita Prita' yang digelar Sabtu (29/7) di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia West Mall, Jakarta oleh kelompok yang sama, yaitu PAC batch 19, LSPR.

Ke-3 penampil monolog di Galeri Indonesia Kaya dari PAC batch 19, diwakilkan oleh Allyana Maghfira yang memainkan cerita Prita Sebelum Menjadi Istri, Elhaq Latief memainkan kisah Prita Putri Cacing dan Cedric Louise, yang memerankan kisah Prita Istri Kita Selamanya.

Ketiga penampil yang membawakan kisah Prita ini, terlihat sangat mendalami perannya. Sesekali raut ekspresinya berubah tak menentu, kadang menunjukan kegirangan yang luar biasa, marah bahkan sedih.

Perputaran dan pergantian ekspresi ini begitu cepat, dan belum lagi si penampil harus memerankan beberapa karakter sekaligus, yang secara otomatis penampil juga musti mengikuti ekspresi, gestur tubuh dari karakter yang diperankan.

"Sepengamatan saya, anak-anak sangat antusias belajar kesenian, tapi jika tidak diberi panggung atau kesempatan, minat ini akan surut lagi, makanya rangkaian acara festival kesenian seperti ini harus diselenggarakan terus untuk menjadi penyemangat dan memupuk keterampilan mereka," papar Arswendo.

Sejauh ini LSPR mempunyai tradisi pementasan dan festival seni pertunjukan hampir setiap tahun. Melalui penyelenggaraan ini, dapat dilihat beberapa seniman monolog yang masih konsen terhadap kesenian ini. "Bahkan mereka ada yang rela datang dengan biaya sendiri ke sini dari Bali dan Medan, untuk menunjukan kecintaannya terhadap kesenian ekspresif," pungkasnya.

Sementara itu, seni pentas teater monolog dengan kemasan cerita mendidik seperti ini, menurut Prita Kemal Gani selaku pendiri LSPR sangat penting untuk dipertontonkan. "Ini bisa menjadi salah satu cara, berteater itu sebagai penumbuh rasa nasionalisme kepada generasi muda saat ini. Karena kisah yang dibawakan juga kental dengan kebangsaan. Ada cerita tentang Cirebon, cerita tentang Mandalika dari Lombok, kisah ayah Prita yang tukang sate tapi memiliki pesan penting untuk anaknya, ada juga kisah suami seperti Mas Broto (Suami Prita), ini kan kisah kehidupan sederhana yang memilki kesan baik, dan perlu diketahui generasi penerus," jelasnya di sela acara pertunjukan Monolog 'Tiga Cerita Prita'.

Kemudian, lanjut Prita, anak-anak ini sebenarnya sangat cinta Indonesia. "Hanya saja mereka kan memiliki sudut pandang dan cara berfikir yang berbeda. Sehingga musti diarahkan, dengan bantuan pengajar seperti Arswendo dan Jose Rizal Manua, yang juga suka mengajar dan menjadi juri di LSPR bisa memberikan arahan dengan kebijaksanaan dan pengalamannya," tutup Prita. ima/R-1

Komentar

Komentar
()

Top