Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Menunggu KPK Pidanakan Korporasi pada Kasus E-KTP

Foto : KORAN JAKARTA / Muhaimin A Untung
A   A   A   Pengaturan Font

Penyidik KPK hampir setiap hari memeriksa mereka yang diduga mengetahui kasus dugaan koropsi e-KTP. Mereka yang diperiksa ini, baik sebagai saksi maupun tersangka dalam kasus e-KTP, termasuk sejumlah pejabat di perusahaan yang terlibat dalam proyek tersebut.

Masyarakat menunggu kiprah KPK memidanakan korporasi yang terlibat dalam tindak pidana korupsi dalam kasus e-KTP. Mungkinkah pidana korporasi diterapkan untuk yang kedua oleh KPK dalam kasus e-KTP. Untuk pertama kalinya KPK memidanakan korporasi dalam kosus korupsi, yaitu PT Duta Graha Indah.

Jaksa penuntut umum KPK, Kresno Anto Wibowo, dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (31/7), mengatakan PT Duta Graha Indah didakwa mendapatkan keuntungan 67,496 miliar rupiah dari dua proyek. Kedua proyek tersebut adalah pembangunan RS khusus infeksi dan pariwisata Universitas Udayana tahun anggaran 2009 dan 2010 serta Wisma Atlit dan gedung serbaguna Sumatera Selatan tahun 2010-2011.

"Terdakwa Dudung Purwadi bersama-sama dengan Muhammad Nazarudin dan Made Meregawa melakukan kesepakatan dalam pengaturan proyek pembangunan RS khusus infeksi dan pariwisata Universitas Udayana TA 2009 dan 2010 dalam rangka memenangkan PT Duta Graha Indah sebagai rekanan sehingga memperkaya PT Duta Graha Indah pada 2009 setidaknya sebesar 6,78 miliar rupiah," kata Kresno.

Dengan menetapkan PT Duta Graha Indah sebagai tersangka pidana korporasi, KPK semakin percaya diri untuk menetapkan perusahaan lain yang melakukan kecurangan dalam bisnisnya. Tidak menutup kemungkinan hal serupa akan digunakan untuk mengusut dalam kasus korupsi e-KTP.

"Itu tidak menutup kemungkinan kami menjerat korporasi yang terlibat dalam dugaan korupsi, termasuk perusahaan yang terlibat kasus e-KTP.

Namun, kami tidak mau gegabah, akan diselidiki dahulu dengan saksama baru diambil keputusan," kata Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif, di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Landasan Hukum

Terkait banyak pihak yang mempertanyakan landasan hukum KPK untuk menjerat korporasi yang nakal, Syarif menjelaskan bahwa itu semua telah diatur melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13/2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi. Perma tersebut bakal membantu lembaga penegak hukum, termasuk KPK untuk menjerat korporasi.

Menurut Syarif, ada sejumlah sanksi pidana yang bisa dijatuhkan kepada korporasi dalam kejahatan korupsi. Berbeda dengan perseorangan, hukuman pidana korporasi berupa denda atau membayar uang pengganti, atau jenis hukuman tambahan lain yang ditetapkan dalam Perma Nomor 13/2016.

Syarif menyebut hukuman tersebut bisa berupa penetapan perusahaan yang bersangkutan di bawah pengampunan, melarang perusahaan ikut tender proyek yang dilakukan pemerintah, sampai putusan yang paling tinggi membubarkan perusahaan tersebut.

"Oleh karena itu, KPK yang juga berdasarkan para ahli antikorupsi di negara-negara maju, mengejar orang itu enggak terlalu punya dampak besar. Mengejar perusahaannya itu yang paling besar dampaknya," katanya.

Anggota tim penyusun pedoman penanganan pidana korporasi, Rasamala Aritonang mengatakan Perma Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi ini sebagai bagian dari judicial activism, upaya MA menafsirkan dan menyusun pedoman yang jelas dan tegas terhadap penanganan kejahatan korporasi patut diapresiasi.

Rasamala menilai media juga memublikasikan bagaimana KPK berkolaborasi dengan MA serta melibatkan kejaksaan dan kepolisian merumuskan langkah strategis untuk menangani kejahatan korporasi. Substansi perma menjelaskan korporasi dapat dijerat pidana apabila kejahatan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki hubungan kerja atau hubungan lain dengan korporasi dan perbuatan tersebut dilakukan untuk kepentingan korporasi.

Singkatnya, tambah Rasamala, bila penegak hukum menemukan bukti bahwa pemegang saham, atau anggota direksi atau komisaris bahkan pegawai rendahan sekalipun melakukan tindak pidana untuk kepentingan korporasi dan korporasi menerima keuntungan dari tindakan tersebut maka dapat diindikasikan korporasi telah melakukan tindak pidana.

Kesungguhan memberantas kejahatan korporasi, tambah Rasamala, tidak saja dinilai dari semangat penyusunan peraturan, namun diukur dari banyaknya korporasi yang dapat dipidana karena kejahatan yang dilakukannya. Akhirnya, tidak salah juga bila publik menuntut komitmen penegak hukum, terutama KPK untuk bekerja lebih berani menjerat korporasi. mza/Ant/N-3


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Mohammad Zaki Alatas, Antara

Komentar

Komentar
()

Top