Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Menjelang Pemilu 2024, Perebutan Simbol Tidak Akan Lagi Efektif

Foto : Istimewa

Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Antonius Benny Susetyo pada diskusi media bertajuk Membahas Isu Politik Aktual,yang digelar Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), di Jakarta, Jumat (6/10).

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Strategi politik pencitraan,yang mengetengahkan identitas dan symbol-simbol dalam Pilpres 2024, kemungkinan besar tidak akan efektif lagi. Ini dikarenakan masyarakat kini memiliki pola pikir yang berubah.

"Politik citra akan habis dengan sendirinya, karena rakyat punya kecerdasan luar biasa dan rakyat bosan akan pengagungan identitas tanpa hasil yang jelas dan bermanfaat bagi rakyat," kata Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Antonius Benny Susetyo pada siaran persnya yang diterima Koran Jakarta, Jumat (6/10).

Benny mengatakan itu pada diskusi media bertajuk Membahas Isu Politik Aktual, yang digelar Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), di Kantor Formappi Matraman, Jakarta, Jumat.

Acara ini bertujuan membahas isu-isu politik terkini dan berbagai dinamika dalam proses menuju Pesta Demokrasi di 2024. Dalam acara ini diharapkan terjadi diskusi media yang relevan dan mendalam hingga masyarakat mengerti bagaimana seharusnya bersikap dalam menghadapi persaingan politik yang semakin menghangat.

Dalam diskusi yang diselenggarakan secara hybrid, luring dan daring melalui media chanel youtube Formappi ini, Benny sebagai pembicara utama menyoroti tentang fenomena perubahan dalam cara masyarakat memilih pemimpin.

Lebih lanjut Benny mengatakan ada satu tolak ukur yang sangat dalam dalam menentukan pemimpin, yaitu pentingnya pemimpin yang memiliki roso, yang berarti rasa atau empati terhadap rakyat.

"Pemimpin yang punya roso adalah mereka yang berusaha untuk bersama rakyat. Mereka memiliki kedekatan, komunikasi yang tidak kaku, dan tidak ada resistensi dalam interaksi mereka," ungkapnya.

Benny mengajak masyarakat untuk mempertimbangkan roso dalam memilih pemimpin. Ia percaya bahwa pemimpin yang memiliki roso akan lebih mampu memahami dan merespons kebutuhan serta aspirasi rakyat dengan lebih baik.

"Karena itu yang harus dilihat rakyat kecil, yaitu roso. Bongkar budaya kepalsuan. Pemimpin itu lahir dari sebuah gagasan, tentang apa yang menjadi keluh kesah rakyat. Di situ ada semacam daya magis," tambah Benny.

Menutup paparannya, Benny Susetyo menegaskan kesadaran rakyat untuk menjadi pemilih yang kritis semakin terbentuk melalui informasi yang mereka peroleh melalui media digital dan dialog publik.

Ia menyimpulkan masyarakat akan lebih cenderung memilih pemimpin yang memiliki akar dan kedekatan emosional dengan rakyat, serta memiliki kemampuan untuk membaca kebutuhan dan keprihatinan mereka, memberikan solusi yang tepat, dan menarik hati serta mendapatkan simpati rakyat.

Diskusi ini menjadi ruang berharga untuk mendalami pemahaman tentang bagaimana masyarakat Indonesia seharusnya memilih pemimpin yang akan memimpin mereka ke masa depan yang lebih baik.

Melalui pemahaman yang lebih dalam tentang roso dan kepemimpinan yang autentik, diharapkan Indonesia dapat terus bergerak maju sebagai negara demokratis yang kuat dan memiliki daya saing.


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Marcellus Widiarto

Komentar

Komentar
()

Top