Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Menghentikan Sikap Radikal dalam Beragama

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

Judul : Ateisme Sigmund Freud

Penulis : Hans Kung

Penerbit : Labirin

Terbit : April 2017

Tebal : xxiv + 284 Halaman

ISBN : 978-602-6651-00-6

Kekerasan demi kerasan atas nama agama semakin merebak. Bahkan, akhir-akhir ini politik menggunakan agama sangat kentara. Tindakan ini sangat mengkhawatirkan keberlangsungan negeri. Lantaran fondasi bangsa merupakan kerukunan antarsesama manusia, suku bahkan agama. Ironinya, beberapa kalangan kelompok menginginkan pergantian falsafah berbangsa Pancasila menjadi ideologi kelompok tertentu.

Tatkala keadaan ini makin dibiarkan, keberagaman bangsa terancam. Yang lebih mengkhawatirkan ketika perubahan bangsa dilakukan oleh kelompok radikal suatu golongan agama. Hal ini bisa menyulut perang saudara atas nama agama. Kita bisa lihat beberapa negara yang alih-alih mendirikan "khilafah", tetapi cara yang digunakan sangat mengerikan. Darah dan senjata sebagai jalannya.

Secara tegas, Freud menjelaskan agama merupakan sebuah ilusi, pemenuhan harapan-harapan manusia sangat primitif, kuat, dan penting. Rahasia keanehan mereka terdapat dalam keanehan harapan-harapan mereka (halaman 33). Harapan-harapan ini terbangun dari "realitas pendidikan" seseorang memeluk agama.

Meminjam kata William James, the suffering, mereka yang pernah mengalami penderitaan terkadang secara mendadak dapat menunjukkan sikap yang taat hingga fanatik terhadap agama yang diyakini. Tidak jarang, mereka akan menerjemahkan cara beragama secara keras, seperti dirasakan.

Penderitaan yang dialami karena faktor internal dan eksternal. Atau dalam ilmu psikologi agama dikenal the sick soul dan the suffering. Tipe pertama dilatarbelakangi faktor internal (dalam diri), sedangkan kedua karena eksternal (penderitaan).

Dalam faktor internal, ada beberapa penyebab seseorang bertindak kekerasan, terutama atas nama agama. Seperti, konflik dan keraguan dalam diri manusia. Konflik kejiwaan yang terjadi pada diri seseorang mengenai keagamaan memengaruhi sikap. Misalnya, saat berdoa, kemudian doa tidak dikabulkan akan menimbulkan keguncangan jiwa mengenai agama tersebut.

Ketika keraguan berhenti mencari dan belajar, seseorang akan mudah memilih salah-satu agama atau doktrin, bahkan bisa meninggalkan sama sekali. Keyakinan agama berdasarkan pemilihan yang matang lebih baik. Tetapi konflik dan keraguan kemudian akan mengubah sikap seseorang terhadap agama yang mengakibatkan fanatik, agnostis hingga ateis.

Keraguan atas keyakinan ini kemudian dibumbui faktor internal. Salah satunya pemahaman agama ortodoks. Mereka menganggap bahwa tafsir atau pemahaman agama tidak bisa diubah sesuai dengan zaman. Mereka akan menganggap, zaman lahirnya agama sampai saat ini sama.

Ketika ini tidak disikapi dengan bijaksana dan humanis, mereka menghalalkan kekerasan atas nama agama. Sebagai sifat pesimistis dan introvet kehidupan jiwa menjadi pasif. Hal ini lebih mendorong mereka untuk menyenangi paham keagamaan yang lebih konservatif dan ortodoks.

Lantas, orang-orang ortodoks, tidak hanya menerapkan hukum-hukum Tuhan secara ketat, tetapi menghukum keras semua yang mengajak berubah. Bagi mereka, tak masalah mencederai agama, tetapi terpenting sistem politik. Tidak ada posisi karena ini kehendak Tuhan yang tidak bisa diganggu.

Melihat fenomena ini dan memutus cara pandangan yang radikal dalam beragama, salah satu cara ampuh memutus cara berpikir beragama radikal dengan pendidikan. Anak-anak harus diberikan pengalaman menyenangkan, bukan pahit, terlebih dalam memahami agama. Doktrin-doktrin agama harus diterjemahkan ulang secara humanis dan nasionalis.

Tindakan ini tidak serta merta memutus radikalisme secara langsung, tetapi dampak yang ditimbulkan akan lama kemudian. Tetapi, tindakan ini memberi harapan kepada generasi mendatang, keutuhan bangsa, serta kerukunan dalam naungan negara berfalsafah Pancasila.

Diresensi Ngarjito Ardi Setyanto, Alumnus Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga

Komentar

Komentar
()

Top