Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Menggugat UU MD3

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materi Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3) Kamis (8/3). Proses lanjutan sidang itu terganjal persoalan objek gugatan, yakni UU MD3 yang belum diberi nomor. Majelis hakim memberi waktu 14 hari hingga 21 Maret 2018, agar para pemohon memperbaiki gugatannya dan mencantumkan nomor UU MD3.

UU MD3 yang disahkan DPR Februari lalu, memang belum diberi nomor karena belum ditandatangani Presiden Joko Widodo. Meski begitu, berdasarkan ketentuan, UU tersebut tetap bisa berlaku setelah 30 hari pascapengesahan DPR, meski tidak ditandatangi Presiden.

Pasal-pasal dalam UU MD3 menuai polemik lantaran dinilai mengancam kebebasan berpendapat dan demokrasi. Di antaranya, Pasal 73 soal menghadirkan seseorang ke rapat di DPR dengan bantuan kepolisian. Kemudian, Pasal 245 mengatur anggota DPR tidak bisa dipanggil aparat hukum jika belum mendapat izin MKD dan izin tertulis Presiden. Terakhir, Pasal 122 huruf k yang mengatur kewenangan MKD menyeret siapa saja ke ranah hukum jika merendahkan martabat DPR dan anggota DPR.

UU MD3 memang pantas digugat karena cenderung membawa demokrasi ke era kegelapan. Sebab Pasal 73 bisa memanggil paksa dibantu polisi. Pasal 122 mengenai langkah hukum MKD kepada orang yang merendahkan DPR dan anggota DPR. Pasal 245 mengenai pemanggilan dan permintaan keterangan penyidikan kepada anggota DPR harus mendapat persetujuan tertulis presiden dan pertimbangan MKD.

Politisi Senayan ini ingin berkuasa tanpa batas. Mereka mau mempersulit proses hukum. Mereka mau memperoleh kekebalan hukum serta antikritik. Watak otoritarian sepertinya sedang dibangun. Ini menyebar dan menjangkit di Kompleks Parlemen. Wakil rakyat ini secara bersama-sama membunuh demokrasi yang sudah dibangun sejak reformasi. Pantas, publik tidak mau berdiam diri dan menggugat UUMD3.

Proses pembahasan revisi UUMD3 pun berjalan sangat aneh. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengaku lupa memberitahu Jokowi tiga pasal krusial tadi. Seharusnya pemerintah menjadi penyeimbang hal-hal yang tidak layak. Bukan malah meloloskan begitu saja pasal-pasal yang ditentang publik.

Anehnya, Pasal 73 tentang pemanggilan paksa justru menjadi usulan pemerintah untuk mengganti frasa pejabat negara, badan hukum, dan masyarakat menjadi setiap orang sesuai usulan pemerintah. Sehingga, pasal ini berubah bunyi "DPR dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya dapat memanggil setiap orang secara tertulis untuk hadir dalam rapat DPR."

Kesalahan lain Yasonna tidak melaporkan kepada Presiden Jokowi keseluruhan pasal yang berubah. Harus ada jalan tengah kepada Presiden untuk mengambil langkah cepat dan tepat. Salah satunya menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-ndang (Perppu) terhadap pasal-pasal yang ditolak rakyat dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD hasil revisi itu. Tentu harus diawali dengan menandatangani UUMD3 tersebut.

Jika Jokowi tidak menandatangani, tidak otomatis Presiden dianggap prorakyat. Presiden malah bisa saja dinilai tidak tertib ketatanegaraan. Betul, Presiden memang harus aspiratif terhadap kehendak publik yang keberatan terhadap beberapa pasal dalam UUMD3. Namun, hendaknya sikap itu diwujudkan dengan tetap mengacu kepada konstitusi. Dampak lain jika presiden Jokowi tidak menandatangani UUMD3 akan menghambat warga menguji ke MK. Sebab yang dapat menjadi objek gugatan ke MK hanya UU yang telah diundangkan.

Adapun mengenai pengujian ini nantinya dikabulkan MK bukan bergantung pada sikap Presiden yang tidak menandatangani. MK hanya menilai apakah pasal-pasal dalam UUMD3 yang kontroversial tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Dengan tidak menandatangani UUMD3 akan mengesankan Presiden tidak mau ikut bertanggung jawab bersama DPR. Padahal, UUMD3 produk DPR dan pemerintah. Sikap cuci tangan Presiden akan berpengaruh pada relasi Istana dan DPR dalam berbagai pembahasan RUU ke depan.

Komentar

Komentar
()

Top