Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Bandung Lautan Api 1946

Mengenang Peristiwa Heroik melalui Stilasi

Foto : foto-foto: koran jakarta /teguh rahardjo
A   A   A   Pengaturan Font

Pada 24 Maret 1946, Bandung memerah karena semua bangunan saat itu terbakar. Peristiwa itu kemudian dikenal dengan Bandung Lautan Api (BLA).

Peristiwa BLA, yang akan diperingati pada 24 Maret ini, menjadi momen penting bagi rakyat Indonesia khususnya Bandung dalam mempertahankan kemerdekaan. Peristiwa ini menunjukan jika warga lebih rela harta bendanya dibakar daripada dikuasai penjajah.

Sedikitnya ada 10 prasasti atau stilasi yang dibuat Pemkot Bandung yang bekerjasama dengan komunitas pelindung bangunan sejarah, Bandung Heritage. Stilasi ini dibangun sejak 1997.

Stilasi-stilasi tersebut di antaranya penanda tempat pertama kalinya pembacaan teks proklamasi oleh rakyat Bandung, lokasi peristiwa perobekan bendera Belanda maupun markas para pejuang BLA.

Namun memang kesadaran sebagian warga terhadap sejarah masih kurang. Sejumlah stilasi yang dibuat ada yang rusak dan menjadi korban vandalisme. Misalnya yang ada di persimpangan Jalan Lengkong Kecil dan Lengkong Dalam, terdapat ornamen yang hilang.

Tapi masih banyak yang juga sadar akan peristiwa sejarah BLA yang harus tetap diingat untuk anak cucu nantinya. Misalnya ada yang secara khusus menjaga, meski tidak diberikan honor. Misalnya yang berada di SD ASMI. Menurut Keamanan Sekolah SD ASMI, Yaya Sunarya (54), Tugu BLA masih terawat dan tidak banyak tangan jahil yang merusak tugu tersebut.

"Tugu di sini selalu terjaga, apalagi masuk di lingkungan sekolah pasti tugu ini di jaga baik-baik oleh semua warga sekolah khususnya," kata Yaya.

Beberapa Penanda Sejarah

Jalan Dago atau di persimpangan Jalan Ir H Juanda dengan Sultan Agung terdapat sebuah bangunan kantor berita Jepang. Sebuah stilasi dibangun di depan gedung tersebut. Gedung bekas kantor berita Jepang, Domei itu sendiri sudah beroperasi sejak 1937. Menurut catatan sejarah, di kantor berita inilah untuk pertama kalinya teks proklamasi dibaca oleh rakyat Bandung. Kondisi saat ini bangunan tersebut sebagai Kantor Bank BTPN.

Beralih ke Jalan Braga, di daerah ini ada dua buah stilasi. Tepatnya persimpangan Jalan Braga dan Jalan Naripan terletak gedung Bank Jabar yang dahulu bernama Gedung Denis. Di gedung ini, pada Oktober 1945, pejuang Bandung Moeljono dan E. Karmas merobek bendera Belanda.

Di Jalan Asia Afrika terdapat Gedung Asuransi Jiwasraya. Dahulu, gedung ini digunakan sebagai markas resimen 8 yang dibangun pada 1922. Di bangunan yang kini menjadi gedung komersil itu terdapat stilasi yang menceritakan perjuangan warga saat Bandung terbakar habis.

Stilasi berikutnya berada di sebuah rumah yang terletak di Jalan Simpang Lima Kota Bandung. Di tempat inilah dilakukan perumusan serta diambilnya keputusan pembumihangusan Kota Bandung.

Catatan sejarah dalam bentuk stilasi dapat juga ditemui di persimpangan Jalan Oto Iskandardinata dengan Jalan Kautamaan Istri, tepatnya depan SDN Dewi Sartika. Tidak jauh dari sana juga ditemukan stilasi BLA, letaknya di Jalan Ciguriang sebelah pusat perbelanjaan Yogya Karapitan.

Stilasi berikutnya ada di persimpangan Jalan Lengkong Tengah dan Jalan Lengkong Dalam, tepatnya belakang kampus Universitas Pasundan. Tidak jauh dari sana ada stilasi lain, yakni di Jalan Jembatan baru yang merupakan salah satu garis pertahanan pejuang saat terjadi pertempuran Lengkong.

Sebuah markas pemuda pejuang tidak jauh dari Lengkong, tepatnya di Jalan Asmi terdapat sebuah stilasi lainnya. Bangunan utama gedung tidak banyak mengalami perubahan. Tempat ini digunakan sebagai markas pemuda pejuang, PESINDO dan BBRI sebelum terjadinya peristiwa BLA.

Terakhir adalah gedung pemancar yang ada di Jalan M. Toha. Letaknya di depan Gereja Gloria. Dahulu merupakan gedung pemancar NIROM yang digunakan untuk menyebarluaskan Proklamasi Kemerdekaan ke seluruh Indonesia dan dunia. Di seberang stilasi inilah, di Taman Tegallega, sebuah tugu kokoh berdiri di tengah taman luas, bernama Tugu Bandung Lautan Api.tgh/R-1

Cerita Heroik Idi Djuhana

Menyusuri peninggalan BLA melalui stilasi sudah cukup menggelorakan semangat untuk tetap berjuang mempertahankan NKRI, khususnya bagi para pemuda. Dan cerita pembakaran Bandung ini memang benar adanya.

Idi Djuhana, salah satu veteran perang, anggota LVRI Kota Bandung, yang mengalami secara langsung peristiwa ini.

Usianya kini sudah 91 tahun, namun memorinya masih kuat untuk menceritakan peristiwa terbakarnya Bandung pada 24 Maret 1946 itu. Kini ia tinggal bersama istrinya di rumah sederhana di Gang Margalaksana Nomor 30/25 Kelurahan Tamansari, Kecamatan Bandung Wetan, Kota Bandung.

Saat itu usianya baru 19 tahun. Pada malam 23 Maret 1946, bersama tiga kawan yang kebetulan sedang berjaga di Stasiun Bandung, ia mendapat perintah untuk meninggalkan lokasi. Tapi harus membumihanguskan semua yang dilewati, dibakar.

Stasiun Bandung malam itu sangat sepi. Ia berjaga-jaga dengan hanya mengandalkan dua buah granat dan empat bom molotov. Tidak kebagian pistol atau sejata api lainnya. Dengan logistik senjata yang seadanya, mereka wajib mengamankan stasiun dari serangan Belanda dan sekutu.

Sebab, malam tersebut seluruh negeri mendapatkan ultimatum dari pasukan Belanda untuk segera meninggalkan pos penjagaan karena mereka akan datang dengan pasukan lengkap.

"Ada ultimatum dari Belanda, katanya tentara yang di utara harus pindah ke selatan. Batasnya itu rel kereta api, itu batas kekuasaan," jelasnya menerawang kejadian saat itu.

Menjelang tengah malam, ada suara dentuman yang sangat dahsyat. Langit bagian utara tampak memerah. Ia dan kawan-kawannya masih tetap berjaga, sebab tidak ada perintah yang jelas dari atasan. Semua alat komunikasi rusak. Dengan perasaan campur aduk, mereka pun mencoba mencari tahu apa yang terjadi, dengan keluar pos penjagaan.

Ia melihat ada beberapa pasukan Belanda mendekat. Dilemparnyalah granat yang dimiliki. Namun ternyata tidak meledak.

Ia lantas melemparkan bom molotov yang tersisa ke sejumlah bangunan pertokoan dan rumah meski ada perasaan ragu, karena bangunan itu milik pribumi. Setelah semuanya terbakar, pasukan kemudian berkumpul di Tegalega. Setelah mendapatkan komando, mereka lalu bergegas dengan tugasnya masing-masing. Idi Djuhana membantu para pengungsi di berbagai pos.

Tak hanya di peristiwa BLA, Idi juga ditugaskan dalam misi-misi lainnya, seperti pemberantasan PKI, dan DI/TII. Ia sempat dibawa ke Blora untuk ikut berjuang bersama pasukan di Jawa Timur.

"Saat kami mendapat panggilan untuk kembali ke satuan masing-masing, kami pulang ke Bandung dengan berjalan kaki. Hanya dibekali beras satu liter dan garam satu gandu," pungkasnya. Mereka menempuh perjalanan selama 41 hari. tgh/R-1

Komentar

Komentar
()

Top